MENGAWALI masa Prapaskah, warga Lingkungan Santa Katarina 2, Taman Permata Buana, menyelenggarakan ziarah dan rekreasi (ziarek) ke beberapa tempat di seputar Yogyakarta.

Acara yang digagas oleh kelompok arisan keluarga ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk persiapan Paskah, melainkan hanya keinginan untuk lebih mempererat hubungan di antara seluruh keluarga Katolik yang berada di Lingkungan St. Katarina 2. Maka, dibentuklah panitia ziarek yang diketuai oleh Rudy Wirawan.

Karena kesibukan masing-masing anggota panitia, ziarek baru terlaksana pada 3-5 Maret 2017, yang merupakan awal masa Prapaskah; sebuah kebetulan yang tidak direncanakan.

Acara dimulai pada 3 Maret, pukul 06.00. Para peserta sudah berkumpul di Bandara Soetta dengan semangat persaudaraan dan wajah ceria.  Pesawat yang ditumpangi berangkat tepat waktu, meskipun harus menunggu sekitar 30 menit untuk mendarat di Bandara Adi Sucipto karena kepadatan lalu-lintas pendaratan.

Di Bandara Adi Sucipto, peserta sudah ditunggu dengan bus wisata. Dari sinilah seluruh acara di Yogyakarta dimulai dan sudah dipersiapkan dengan sangat baik dan teratur oleh Ibu Murni dan Thomas Suliantoro, warga Lingkungan St. Katarina 2 yang asli Yogya, dibantu oleh kakak Ibu Murni, Bapak Doddy yang memang tinggal di Yogya.

 

Gua Maria Tritis

Perjalanan pertama langsung menuju Gua Maria Tritis, untuk Jalan Salib dan berdoa di gua Maria. Gua Maria Tritis adalah sebuah oase batin yang terletak di tengah ladang jati perbukitan kapur Gunung Kidul. Tempat ini sering dikunjungi para peziarah yang haus akan kedamaian dan ketenangan jiwa.

Gua alami ini pada mulanya merupakan tempat yang sepi. Tidak banyak orang yang berani memasukinya. Gua ini sering dijadikan tempat pertapaan dan persinggahan beberapa pangeran dari Kerajaan Mataram.

Dinamakan Tritis karena selalu ada air yang menetes (tumaritis) dari stalaktit yang ada di langit-langit gua.  Gua ini mulai dikenal oleh umat Katolik pada tahun 1974, yakni pada saat digunakan sebagai tempat Ekaristi Natal. Bunyi air yang menetes dari beberapa stalaktit menjadi melodi indah yang mengiringi permenungan diri. Ada rasa damai yang menelusuk di relung hati.  Nuansa alami dan sederhana begitu terasa di gua ini.

 

Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran

Dari Gua Maria Tritis, peserta melanjutkan perjalanan menuju  Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran, untuk mengadakan bakti sosial. Mereka menyerahkan sumbangan dari warga Lingkungan St. Katarina 2, sebagai wujud kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.

Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran secara resmi berdiri pada 1 Januari 1936 dan khusus diperuntukkan bagi anak putri.  Cikal-bakal PA ini adalah sebuah asrama yang didirikan pada tahun 1927 oleh Ny. Caroline Schmutzer untuk menampung gadis-gadis Jawa yang berasal dari desa-desa yang jauh yang akan bersekolah di Ganjuran.

Pada 4 April 1930, secara resmi RS St. Elizabeth Ganjuran dibuka dan merupakan awal para suster Carolus Borromeus mulai berkarya di Ganjuran.  Di antara mereka yang berobat, ternyata banyak anak miskin dan yatim-piatu. Selain itu, juga banyak bayi yang ditinggal pergi oleh ibunya yang meninggal setelah melahirkan.

Waktu itu, mereka semua ditampung di asrama putri yang didirikan oleh Ny. Schmutzer. Menanggapi situasi ini, Sr. Franka CB berinisiatif mendirikan panti asuhan sebagai jalan keluarnya. Maka, berdirilah PA ini.

 

Gereja dan Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran

Setelah menikmati jamuan makan siang sederhana dan tari-tarian yang dipersembahkan oleh anak-anak panti asuhan, peserta menuju Gereja Hati Kudus Yesus (terkenal dengan nama Gereja Ganjuran) yang berada dalam kompleks yang sama.

Gereja bernuansa Jawa ini adalah Gereja Katolik pertama di Kabupaten Bantul, yang didirikan oleh keluarga Schmutzer. Di dalam kompleks gereja juga terdapat sebuah candi bergaya Hindu-Buddha-Jawa sebagai tempat berdoa kepada Hati Kudus Yesus. Inilah keunikan Gereja Ganjuran. Nuansa Jawa yang digunakan oleh Schmutzer dalam membangun kompleks Gereja Ganjuran merupakan suatu bentuk proses inkulturasi.

Schmutzer mengangkat martabat penduduk Ganjuran dengan mendukung mereka untuk tetap melaksanakan adat-istiadat walaupun perlahan-lahan diberi nilai-nilai kristiani. Di gereja ini, peserta mengikuti Misa Jumat Pertama yang diadakan khusus untuk rombongan yang dipimpin oleh Romo G. Utomo Pr.

Daya ingat romo berusia 88 tahun ini masih tajam. Ia memiliki talenta khusus untuk mendoakan mereka yang sedang mempunyai masalah, baik masalah kesehatan maupun masalah lainnya.  Di akhir Misa, peserta mendapat kesempatan untuk didoakan secara khusus oleh Romo Utomo.

Acara hari pertama diakhiri dengan jamuan makan malam mi Jawa lezat dan wedang ronde di rumah Bapak Suliantoro di Yogya, sebuah kejutan bagi seluruh peserta ziarek.

 

Gereja Maria Assumpta Pakem, Kaliurang (Sumur Kitiran Mas)

Pada hari kedua, peserta mengunjungi Gereja Maria Assumpta atau disebut juga Gereja Pakem, untuk berdoa rosario. Gereja ini menjadi istimewa karena di dalamnya terdapat sumur yang disebut Sumur Kitiran Mas yang berjarak hanya beberapa meter dari altar gereja.

Ada dua sumur di dalam gereja ini. Yang pertama adalah sumur asli yang hanya berdiameter 20 cm, yang digali pada tahun 1985. Karena banyak peziarah yang mengambil air, sumur kecil itu menjadi kurang memadai. Maka, pada tahun 2002 digalilah di sampingnya sebuah sumur kedua yang lebih besar.

Sejarah sumur ini berasal dari sebuah jambangan berisi air yang diletakkan di bawah patung Bunda Maria. Tujuannya semula agar tercipta suasana sejuk pada saat orang berdoa. Namun, banyak umat yang kemudian meminum air tersebut setelah berdoa sehingga menjadi sebuah tradisi.

Dari kebiasaan tersebut, ternyata dijumpai beberapa orang yang mengalami mukjizat kesembuhan dari penyakit dan memperoleh ketenteraman batin. Maka, semakin banyak peziarah berkunjung ke gereja ini.

 

Rekreasi

Peserta juga diajak berekreasi ke beberapa tempat sebagai penyeimbang antara kebutuhan rohani dan jasmani. Mereka diajak mengunjungi  daerah Kaliurang di kaki Gunung Merapi;  dengan menumpang jeep-jeep untuk offroad. Mereka melintasi daerah-daerah bekas bencana letusan Gunung Merapi tujuh tahun lalu dan melihat sisa-sisa erupsi yang terjadi di sekitarnya.

Kini, daerah bencana ini sudah kembali ditumbuhi tanaman dan pepohonan, namun masih terlihat sisa-sisa dan bekas-bekas erupsi yang mengingatkan kita supaya selalu berusaha hidup dengan baik  karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita kemudian.

Peserta juga diajak mengunjungi tempat kerajinan keramik dan gerabah di Kasongan dan tempat kerajinan batik, untuk mengagumi betapa Tuhan memberikan bermacam-macam talenta yang harus kita kembangkan agar lebih berdaya guna.

Setibanya di hotel, peserta dipersilakan menikmati acara bebas pada waktu malam. Mereka berjalan-jalan di Malioboro dan sekitarnya dengan menggunakan becak atau beristirahat di hotel guna mempersiapkan diri untuk hari berikutnya.

 

Gua Maria Sendang Sono

Pada hari ketiga,  peserta mengunjungi Gua Maria Sendang Sono yang sudah tidak asing lagi bagi umat Katolik.  Tempat ini diresmikan oleh Romo J.B. Prennthaler SJ pada 8 Desember 1929.  Di sini terdapat sumber air yang mengalir di antara dua pohon Sono.  Dengan air dari sumber mata air ini, Romo Van Lith membaptis 171 warga sekitar, termasuk Barnabas Sarikromo yang merupakan katekis pertama di Kalibawang, yang dibaptis pada 14 Desember 1904.

Para peserta mengikuti perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Romo Ibn. Fajar MSF, dilanjutkan dengan berdoa masing-masing di gua Maria.  Ini adalah tempat peziarahan terakhir yang dikunjungi sebelum peserta kembali ke rutinitas hidup.

Di penghujung acara, sebelum kembali ke Jakarta, peserta diberi kesempatan untuk membeli oleh-oleh bagi pasangan dan anak-anak yang ditinggalkan di rumah selama tiga hari.

Ziarah dan rekreasi tiga hari ini terasa benar-benar diberkati karena semua acara berjalan dengan lancar. Semua yang sudah direncanakan diijinkan-Nya untuk terjadi. Cuaca sehari-hari yang biasanya hujan, pada saat itu betul-betul cerah sehingga tidak merepotkan.

 

Theresia  Sylvia