IBLIS, si penyesat, tak henti-hentinya menghasut, merasuki pikiran seorang tuan tanah bernama Aldaric.

“Yang Mulia ‘kan seorang bangsawan terhormat di Alsace. Tidak malukah mendengar ejekan-ejekan tetangga karena mempunyai  bayi perempuan yang buta sejak lahir? Sadarkah Yang Mulia, bahwa bayi itu menjadi petaka yang dapat merendahkan martabat keluarga Yang Mulia?  Jangan percaya omong kosong Nyonya bahwa kebutaan itu mungkin kehendak Ilahi yang kelak menjadi berkat bagi orang lain!  Mana mungkin orang buta dapat menolong orang lain? Anak celaka itu cuma menyusahkan saja. Satu-satunya jalan, harus dilenyapkan…!”

Aldaric bimbang.  Ia sulit menerima kenyataan bahwa  anak buta  yang dilahirkan di Obernheim, sebuah desa di Pegunungan Vosge,Perancis, pada  tahun 660,  adalah keturunannya.  Dia ingin  bayi itu dibunuh!

Kalau bukan karena dikuasai iblis, mana ada ayah yang tega membunuh darah dagingnya sendiri?

Mendengar niat suaminya, Bereswinda tak rela. Demi keselamatan, putrinya yang malang itu dilarikan ke tempat yang jauh. Lebih baik ia dijadikan anak angkat ibu petani, mantan pembantunya.

Pelarian itu terendus oleh Aldaric.

Bereswinda segera menyuruh pengasuh itu untuk melarikan bayinya lebih jauh lagi.

Tempat yang paling aman adalah biara suster-suster di Baume-les-Dames, di dekat Besacon. Para biarawati di sana iba.  Dengan ikhlas, mereka  merawat dan mengasuh bayi malang itu.

Mereka menumbuhkan iman serta cinta kasih kepada anak tersebut seiring pertumbuhannya.

 

Tuhan Tidak Buta!

Seturut rencana-Nya, Tuhan menggerakkan hati Uskup Regensburg,  Erhart, yang tersentuh mendengar kisah pilu putri bangsawan tersebut.

Erhart  pergi ke Biara Baume-les-Dames untuk  menemui anak itu. Karena sampai umur 12 tahun, anak itu belum dibaptis maka Uskup berkenan membaptisnya.

Anak itu dibaptis dengan nama Odilia.  Tidak diketahui, apakah nama itu diilhami oleh nama St.Odilia dari Cologne, martir, pelindung masalah mata, yang hidup pada abad keempat atau hanya kebetulan saja.

Di sinilah rencana Tuhan diwujudkan dengan curahan kuasa-Nya. Ketika Uskup menyentuh Odilia dengan minyak krisma, Odilia dapat melihat!

Mukjizat  itu disampaikan Uskup Erhart kepada keluarga Aldaric. Alih-alih bersukacita, sang ayah malah berkeras hati menolak Odilia sebagai anaknya.  Pengaruh iblis masih merasukinya.

Namun, kakak Odilia, Hugh,  nekat mempertemukan Odilia dengan ayahnya di sebuah bukit dan disaksikan oleh sejumlah orang.  Aldaric berang bukan main hingga  tega membunuh Hugh.

Namun, Tuhan menyentuh nurani Aldaric sehingga ia sangat menyesali kekejiannya. Dengan terharu, akhirnya, ia menerima Odilia sebagai putrinya.

Odilia tidak silau terhadap gemerlap kehidupan bangsawan. Daripada hidup sebagai putri bangsawan yang anggun, ia lebih tertarik menjadi pelayan yang mengabdikan diri membantu orang miskin, papa, dan sakit dengan semangat kasih yang besar.

Bersama kawan-kawannya, ia berkarya di Obernheim.

Lagi-lagi, ayahnya merintangi niat mulianya dengan mencoba menikahkan Odilia dengan seorang pangeran.

Tentu saja Odilia menolak rencana ini.  Ia telah bernazar menjadi biarawati dan menjalani kehidupan yang sudah sangat diakrabinya  di dalam biara.

Odilia melarikan diri,  jauh dari tempat ayahnya. Meskipun dikejar-kejar dan dipaksa oleh ayahnya, ia tetap teguh pada pendiriannya.

Akhirnya, sang ayah mengalah dan menghadiahkan sebuah kastil di Hohenburg untuk dijadikan  biara.

Odilia menjadi kepala biara dengan misi yang sama, yaitu melayani mereka yang malang.

Ia juga mendirikan Biara Odilienberg di Niedermunster.

Di situlah pada 13 Desember 720, Odilia wafat secara alamiah.Ia  dimakamkan di sebuah biara di Bukit St. Odile, Jerman. Banyak mukjizat terjadi di makamnya. Ia dinyatakan sebagai Pelindung Mata yang Baik.

St. Odilia mengajarkan kepada kita untuk melihat segala kegiatan kita dengan mata iman dan percaya bahwa bersama Tuhan, segala sesuatu mungkin.

Hari Raya St.Odilia dari Alsace adalah 13 Desember, namun tidak secara resmi diperingati oleh Gereja.

 

Ekatanaya, dari berbagai sumber