Dari Wabah Penyakit di Athena sampai “Flu Spanyol” Dunia telah menyaksikan beberapa kasus dengan angka kematian yang cukup tinggi
Tercatat lebih dari 25 juta kasus positif Covid-19, dengan lebih dari 844.000 kasus kematian, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Banyak dari para ahli yang mengkhawatirkan bahwa pandemi ini akan menjadi jauh lebih buruk ketika memasuki musim gugur di belahan bumi bagian utara.
Karena semua orang telah sangat waspada terhadap pandemi ini, pandemi ini bukan hanya sekedar berapa orang yang tertular penyakit atau meninggal. Lockdown, karantina, berbagai peraturan untuk selalu mengenakan masker dan jaga jarak satu setengah meter telah mempengaruhi cara orang-orang berpikir dan berperilaku. Pengurangan mobilitas dan pembatasan-pembatasan pada kegiatan-kegiatan komersial telah memukul sektor ekonomi, baik di sektor makro dan di sektor dimana dampaknya paling dirasakan orang-orang – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengurangan pendapatan.
Karena itu, kekecewaan, keletihan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan bahkan depresi dari orang-orang dapat dimengerti.
Terkadang, rasanya seperti pandemi ini belum pernah terjadi dalam catatan sejarah di dunia.
Namun bersyukurlah, kita tidak hidup di masa Kematian Hitam (Black Death) yang diperkirakan orang telah merengut 200 juta nyawa manusia.
Melihat sekilas pada beberapa wabah penyakit dan pandemi terburuk dalam sejarah dapat membantu kita melihat situasi ini dari sisi yang objektif.
Kurang dari satu juta orang telah meninggal dunia akibat Covid-19. Tidak bermaksud untuk mengurangi atau meremehkan kematian satu orang pun – Setiap orang adalah anak, saudara atau saudari, atau teman dari seseorang – Namun satu juta orang dari seluruh populasi penduduk di dunia yang berjumlah tujuh miliar orang adalah salah satu persentase yang cukup kecil. Pandemi ini belum ada apa-apanya dibanding wabah Athena yang kita tahu dari seorang sejarawan Yunani Thucydides. Wabah tersebut, yang terjadi selama rangkaian perang dengan Sparta pada akhir abad ke-5 SM, beberapa ahli memperkirakan mungkin telah membunuh 25% populasi penduduk dunia.
Ketika novel virus Corona pertama kali menjadi berita utama di berbagai media pada bulan Januari, berbagai surat kabar memberitakan tentang sebuah penyakit “misterius” yang menyebabkan Pneumonia pada penduduk di Wuhan, China. Elemen misteri bahkan lebih sering disebutkan pada abad kedua di Roma. Para prajurit yang baru kembali dari Parthia setelah menang perang pada tahun 164 membawa sebuah “penyakit misterius” tulis Sarah K. Yeoman dalam surat kabar Bible History Daily. Berdasarkan catatan dari tabib Galen, para ilmuwan modern pada umumnya setuju bahwa penyakit itu adalah cacar air. Terlepas benar tidaknya penyakit tersebut, Wabah Antoine berakhir dengan hilangnya nyawa 7-8 juta orang – kurang lebih 10% dari seluruh populasi kerajaan Romawi.
Ketika tingkat kematian (yaitu persentase dari orang-orang yang terpapar dengan penyakit tersebut dan tidak dapat bertahan hidup dari Covid-19) naik sebesar 10% di New York City pada awal tahun ini, tingkat kematian dari wabah Antoine kira-kira mencapai 30%.
“Disamping konsekuensi-konsekuensi praktis dari wabah penyakit tersebut, seperti ketidakstabilan militer dan ekonomi kerajaan Romawi, dampak psikologis pastilah sangat penting. Mudah untuk membayangkan perasaan ketakutan dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh orang-orang Romawi kuno dalam menghadapi sebuah penyakit yang kejam, sangat menyakitkan, membingungkan, dan berulang kali menyebabkan kematian,” tulis Yeoman di dalam artikelnya yang lain dalam Bible History Daily, referensi yang tentu dapat kita kaitkan dengan situasi saat ini.
Pada abad berikutnya, uskup Cyprian dari Carthage mendeskripsikan sebuah pandemi antar benua yang diberi nama dari namanya. “Wabah Cyprian” berlangsung dari tahun 249 sampai 270, dan rekor tertingginya, sebanyak 5000 orang meninggal dunia setiap harinya, menurut seorang ahli sejarah Yunani.
“Konsekuensi ekonomi dan sosio politik dari penyakit tersebut yang paling berkontribusi pada kondisi dunia pada saat itu sering disebut juga dengan “Krisis Abad ke-3”. Suatu periode yang penuh dengan pergolakan dan instabilitas pada Kerajaan tersebut dan berlangsung selama puluhan tahun, dan akhirnya membawa Kerajaan Roma menuju perpecahan di bagian barat dan merombak diri menjadi Kerajaan Kristen di sebelah timur,” tulis Yeomans.
Sejauh ini, kita telah merujuk kejadian-kejadian tersebut sebagai “Wabah” Sangat sering, dalam imajinasi modern, kita mengasosiasikan bahwa kata dengan nama penyakit khusus yang menghancurkan Eropa dengan beberapa wabah penyakit di abad pertengahan, khususnya wabah “Black Death”. Namun justru “Wabah Justinian”lah yang menandai kemunculan pertama kali bakteri Yersinia Pestis, yang terkenal saat ini dengan penyakit Bubonic, di Benua Eropa. Ini terjadi di pertengahan abad ke 6. Sumber-sumber resmi menempatkan angka kematian di suatu tempat berkisar 50 sampai 60 persen. Sekali lagi, angka itu adalah persentase orang-orang yang terekspos dengan bakteri tersebut yang akhirnya meninggal dunia.
Wabah Black Death pada abad ke 14 memiliki angka kematian yang serupa. Diperkirakan populasi di Eropa pada pertengahan abad ke 14 menurun dari 450 juta ke 350-375 juta orang.
“Wabah penyakit ini tiba di Eropa di bulan Oktober 1347, ketika 12 kapal dari Laut Hitam berlabuh di Pelabuhan Sicilian di Messina,” kata History.com. “Orang-orang yang berkumpul di dermaga menemukan kejutan yang menakutkan. Sebagian besar pelaut yang ada di kapal-kapal tersebut telah meninggal dunia dan para pelaut yang masih hidup ditemukan dalam keadaan sakit keras dan tubuh mereka penuh dengan bisul-bisul hitam bercampur darah dan nanah.”
Ada beberapa wabah pandemi di abad ke 20, termasuk yang paling terkenal, “Flu Spanyol” yang terjadi pada tahun 1918. Menariknya, “Flu Spanyol” adalah nama yang salah. Walaupun tentu saja penyakit tersebut pertama kali mewabah di Spanyol, pandemi tersebut tidak berasal dari sana. Spanyol adalah sebuah negara netral selama Perang Dunia I, dan persnya tidak tunduk pada sensor seperti negara lainnya. Jadi pemberitaan tentang pandemi tersebut yang keluar dari Iberian Penninsula memberi kesan pada orang-orang bahwa penyakit tersebut berasal dari Spanyol.
“Negara-negara aliansi dan kekuatan-kekuatan pusat memiliki badan sensor selama perang yang menutupi pemberitaan tentang flu untuk menjaga moral tetap tinggi.” kata History.com.
Meskipun demikian, dalam waktu dua tahun, sekitar 500 juta orang, atau sepertiga dari jumlah populasi dunia, telah terinfeksi virus tersebut, dan sedikitnya 50 juta orang di seluruh dunia meninggal, termasuk sekitar 675.000 orang di Amerika Serikat, menurut Badan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Beberapa orang yang masih hidup saat ini ingat pandemi tahun 1918, termasuk Biarawati Benedictine Suster Vivian Ivantic. Pada waktu itu ia berusia lima tahun dan tidak ingat banyak hal secara terperinci, tapi ia ingat ibunya menangis – karena ibunya meninggal karena flu. Vivian muda tidak jatuh sakit, namun seabad lebih kemudian ia terinfeksi virus Covid-19 dengan gejala ringan. Saat ini ia telah benar-benar sembuh dan merayakan ulang tahunnya ke 107 di Chicago hari Jumat yang lalu, menurut National Catholic Reporter’s Global Sisters Report.
Suster Vivian memiliki sebuah perspektif tentang umur. Kita semua dapat memperoleh sebuah perspektif yang serupa dari sejarah.
Penulis: John Burger
Penerjemah: Albert Santoso
Dari: Aleteia