Berita edisi 33, Seminar ZAT ADIKTIF
GKP Sathora, 30 November 2019
NARKOTIKA adalah bagian dari gaya hidup kaum milenial!
Begitulah kampanye yang digembar-gemborkan oleh kalangan pengedar narkoba. Pernyataan itu sangat menyudutkan perasaan kaum muda yang sedang berusaha menemukan jati dirinya. Karena apabila mereka tidak memakai narkotika, berarti mereka bukanlah milenial kekinian.
Nah…. apakah selama ini kita semua sudah mengetahui kampanye tersebut?
Melihat data pengguna dan peta peredaran narkoba di Indonesia, memang sudah mendesak sekali dinyatakan bahwa INDONESIA DARURAT NARKOBA.
Seminar tentang ZAT ADIKTIF yang diselenggarakan di GKP Sathora, Sabtu 30 November 2019 lalu dijabarkan oleh tiga narasumber yang berpengalaman di bidangnya masing-masing. Mereka adalah Drs. Ali Johardi, SH, MH Inspektur Jenderal Polisi (purnawirawan), Dr. Herbert Sidabutar, SPKJ (dari Kementrian Kesehatan), dan Rm. Markus Reponata MSC (Romo pendamping korban narkoba dari Yayasan Kasih Mulia).
Narkoba adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika & Bahan Adiktif.
Definisi Narkotika : Berdasarkan UU no. 35 thn 2009 tentang Narkotika : adalah Zat atau Obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi / menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Mengubah struktur dan cara kerja otak pada sistem saraf pusat sehingga mengganggu daya pikir, daya ingat, konsentrasi,, persepsi, perasaan dan perilaku.
Ada banyak sekali jenis-jenis zat adiktif yang termasuk sebagai narkoba. Hingga saat ini BNN telah menemukan 71 jenis zat NPS (New Psychoactive Substances) terbaru yang beredar di Indonesia. Sayangnya dari 71 jenis itu, baru 65 yang diatur oleh Menteri Kesehatan. Sedangkan keenam sisanya belum ada peraturan.
Berhubung kita masih memegang warisan Undang-Undang kolonial, maka segala sesuatu yang tidak ada dalam UU, berarti hal tersebut boleh saja dilakukan dan tidak bisa dianggap melanggar hukum.
Jadi bayangkanlah keenam jenis zat NPS yang masih belum disahkan peraturannya oleh DPR! Para pengedarnya bisa dengan bebasnya melakukan transaksi tanpa perlu takut terjerat oleh hukum.
Menurut Drs. Ali Johardi, pengedar narkoba memang harus dihukum mati, karena 80% peredaran narkoba dilakukan para napi di dalam penjara. Jadi tidak akan ada efek jera kalau tidak dihukum mati, bahkan akan terus bertambah banyak.
Pendapat Ali Johardi tersebut berbeda pandangan dengan Gereja Katolik yang tidak menghendaki hukuman mati bagi siapapun.
“AKU datang, agar mereka semua mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh.10.10b) Itulah alasan mengapa Gereja menentang hukuman mati. Yang bisa dilakukan Gereja adalah bekerja sama dengan BNN untuk menjadi APEM (Agen Pemulihan), merehabilitasi para korban narkoba.
Harus diingat bahwa Gereja Katolik sangat melarang penggunaan narkoba karena dalam narkoba itu terdapat unsur-unsur yang dapat merusak organ saraf manusia. Bila saraf telah rusak, daya pikir otomatis merosot drastis. Seseorang yang daya pikirnya tidak dapat bekerja lagi dengan baik, ia tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merendahkan/menghinakan martabatnya sendiri.
Romo Markus Reponata MSC dari Yayasan Kasih Mulia menjelaskan bahwa Gereja tidak boleh diam terhadap kejahatan penyalahgunaan narkoba di negeri kita ini. Maka Gereja menanamkan kesadaran iman bahwa kesehatan tubuh manusia adalah milik Allah yang harus dipelihara dengan baik. Manusia harus bertanggung jawab untuk memelihara kesehatan tubuhnya melalui gaya hidup yang sehat sehingga terbebas dari segala penyakit.
Menurut Dr. Herbert Sidabutar, SPKJ, ciri-ciri jiwa yang sehat adalah
1. Senang dan bahagia,
2. Mampu menyesuaikan diri dengan keadaan sehari-hari,
3. Dapat menerima kelebihan dan kekurangan baik dirinya maupun orang lain,
4. Mampu melakukan kegiatan yang berguna, serta
5. Mampu melakukan aktivitas yang menyumbangkan tenaga, pikiran dan kepedulian pada keluarga dan masyarakat.
Tekanan hidup sebagai pelajar, pekerja profesional, bahkan pengangguran sangatlah besar pengaruhnya dalam jiwa manusia sehingga menyebabkan stres.
Cara menghilangkan stres yang sehat adalah dengan rekreasi. Namun untuk berekreasi secara sehat, membutuhkan effort yang tidak sedikit pula berupa biaya, waktu dan fisik yang memadai. Sedangkan dengan menenggak NAPZA (Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif) , cukup membeli satu butir saja dengan harga terjangkau, perasaan dan pikiran sudah terbang melayang ringan sekali (fly). Lepaslah stres dari alam pikiran yang membebani.
Inilah godaan NAPZA yang sangat kuat. Murah, mudah dicari dan memberikan efek yang sangat nikmat. Maka itu banyak orang yang jadi kecanduan, dan tanpa disadarinya orang itu telah menjadi orang yang sakit.
Adalah tugas kita semua bila melihat seseorang atau tetangga kita terindikasi tidak sehat jiwanya, segera laporkan. Jangan diam saja, karena orang itu sangat perlu untuk ditolong, supaya dia tidak sakit semakin parah.
Seminar yang berlangsung selama empat jam itu memberikan banyak informasi penting untuk kita semua yang tidak pernah melihat atau berhubungan dengan dunia narkoba. Dengan diperlihatkannya jenis-jenis NAPZA oleh Ali Johardi, maka kita bisa waspada bila ada orang yang menawarkan butiran atau bubuk yang mirip atau sama seperti gambar-gambar tersebut. (Sinta Monika)
Foto-foto yang lain lihat di Facebooknya Sathora, klik disini