“Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di pelabuhan udara Tulamarine, Melbourne. Waktu setempat saat ini menunjukkan pukul 5.30. Suhu udara sepuluh derajat Celcius, …. (dan seterusnya) ……..” Terdengar suara berwibawa Kapten Pilot pesawat terbang yang ditumpangi Diah mengumumkan para penumpang untuk bersiap.
Mata Diah langsung terbuka segar. Dilipatnya selimut dan mencari sepatunya yang ia lepaskan di bawah kursi. Penerbangan dari Jakarta menuju Melbourne telah menghabiskan waktu selama hampir tujuh jam, semalam suntuk.
Begitu roda pesawat menyentuh tanah, Diah membuat tanda salib berterima kasih karena Tuhan telah melindungi perjalanannya.
Untunglah pagi hari ini antrian di imigrasi tidak terlalu panjang. Diah ditegur oleh seorang petugas ketika hendak menjawab whatsapp anaknya. Rupanya selain kamera, menggunakan telepon genggampun tidak diperbolehkan sewaktu menjalani prosedur imigrasi.
Diseretnya kopernya dengan tergesa-gesa. Diah tak sabar ingin segera bertemu Rio, anak sulungnya. Anak itu sudah berdiri di bagian penjemputan sambil melambaikan tangannya. Mengenakan jaket penahan dingin berwarna hitam, Rio nampak sehat sekali dan baik-baik saja.
Diah memeluk putranya erat-erat, “Anakku! Anakku!”
Bagaimana tak rindu, sudah hampir tiga tahun lamanya Diah tak menatap langsung wajahnya.
Di mobil ibu dan anak itu saling bercerita. Diah bercerita tentang sang ayah dan sibungsu adik Rio yang akan pergi ke Amerika dua hari lagi. Sedangkan Rio bercerita tentang rencananya setelah ia diwisuda beberapa hari lagi.
“Aku sudah melihat-lihat lowongan pekerjaan di internet, Ma. Tapi belum ada yang kulamar.” Katanya.
“Kenapa?” tanya Diah.
“Aku bimbang. Di satu pihak, bekerja disini memang cukup besar imbalannya. Tapi aku bagaimana nanti, bila teman-temanku sudah kembali semua ke Indonesia. Sekarang saja, aku sudah merasa kehilangan si Gembul, si Jangkung, Mita, Juli dan Rizal. Untung masih ada Jackson, Agung, dan Chris. Bayangkan bila mereka semua sudah tak lagi disini. Aku bakalan sebatang kara. Tak ada keluarga, tak ada teman.” Jawabnya perlahan.
Diah terdiam sejenak. “Kau sudah urus visa ijin kerja?” tanyanya.
“Sudah. Tinggal menunggu jawaban via email.” Jawab Rio sambil melirik ke kaca spion sebelah kanan.
Komplek perumahan pondokan Rio terletak di daerah Clayton, pinggiran kota Melbourne. Sebetulnya perumahan ini nyaman sekali. Sayang, tak ada tempat bermain selain Taman Perumahan. Mau jalan santai kelilling komplek dimalam hari, namun tak ada lampu jalanan barang satupun. Biarpun kota ini sangat aman, tapi takut juga berjalan sendirian di dalam gelap gulita.
Sebenarnya di jalan raya ada komplek pertokoan dan beberapa restoran kecil, namun Diah tidak tahu arah sama sekali. Benar-benar buta! Diah tak berani pergi sendirian kemana-mana.
Maka di hari pertama di Melbourne, Diah hanya terkurung di kamar karena Rio harus bekerja sampai jam 10 malam. Tak ada televisi. Jaman sekarang anak-anak muda sudah tak butuh televisi besar lagi. Cukup buka youtube di telepon genggam, mau nonton apa saja pasti ada.
Di dekat Clayton hanya ada satu mal besar dan bagus sekaliber Senayan City. Chadstone Mall namanya. Ada pula mal lainnya di pusat kota Melbourne, namun toko-tokonya sudah pada tutup jam enam sore. Tidak seperti di Jakarta, buka sampai malam.
Menunggu Rio pulang kerja menit demi menit rasanya lama sekali. Diah sampai terkantuk-kantuk menonton youtube, dan membaca aneka berita dari Indonesia mulai dari berita penting sampai berita tak bermutu yang cuma bikin jengkel hati saja.
Merasa kesepian begini, Diah teringat pertanyaan Rio, tiga tahun silam ketika masih di Jakarta.
“Mama yakin tak butuh anak dikemudian hari? Siapa yang kelak mengawasimu berbaring tak berdaya, memberimu berbagai macam obat dan vitamin selama hari-hari jompomu? Bagaimana kalau harus bolak balik ke dokter, seperti nenek dahulu? Yakinkah mama bisa pergi berobat sendirian tanpa anak?” tanyanya.
Waktu itu, Diah belum memahami makna pertanyaan itu. Dikiranya Rio bertanya begitu hanya sebagai alasan agar tak usah pergi jauh-jauh melanjutkan studinya.
Tapi sekarang Diah mulai sadar, lambat laun pasti akan tiba waktunya ia butuh anak. Inilah contohnya! Berada di tempat asing saja sudah tak bisa apa-apa. Padahal tubuhnya masih sehat sempurna.
Walaupun hanya bekerja paruh waktu, Rio cukup sibuk. Diah harus menunggu Rio sempat membawanya berkeliling kota Melbourne. Betapa tenang dan damainya kota ini! Diah betul-betul berharap agar Rio dapat bekerja secara resmi dan hidup menetap disini selamanya.
Hari kelulusan yang mereka nantikan tiba! Airmata Diah mengambang saat nama anak sulungnya itu dipanggil. Diperbesarnya fokus kameranya ketika Rio menerima gulungan ijasahnya. Lalu ia kirimkan pada suaminya yang sedang berada di belahan bumi bagian utara sana.
Dua dari tiga anak mereka diwisuda. Satu di Utara dan satu di Selatan, hanya selisih waktu satu hari saja. Mau tak mau Diah dan suaminya harus berbagi kehadiran.
Diah menyaksikan wisuda S2 Rio di Australia. Sedangkan suaminya dan sibungsu Dinda menghadiri kelulusan S1 Dwi, sipenengah, di negeri Uncle Sam.
Semua orangtua pasti ingin hadir menyaksikan anaknya mengenakan toga hitam dan topi kesarjanaan. Mereka sangat bahagia sekaligus kebingungan sewaktu akhirnya memutuskan untuk berpencar.
Malam harinya, Diah berlutut di tepi ranjang untuk berdoa, “Betapa luar biasa hari ini, ya Bapa. Terima kasih banyak. Kumohon terangilah selalu jalan hidup anak-anak kami.”
Namun…….
Dua hari kemudian, Rio membangunkan ibunya. “Ma! Permohonan visaku ditolak! Aku tak bisa tinggal disini lagi.”
Diah terhenyak. “Mengapa? Tak ada alasankah?” tanyanya.
“Anakku tak pernah neko-neko disini. Dia terpelajar, siap bekerja dan membayar pajak, tidak sekedar ingin menumpang hidup yang menjadi beban negara. Kenapa ditolak?” pikirnya.
Rio mengerutkan keningnya membaca email. “Tidak ada penjelasan. Lebih baik aku pergi ke kantor imigrasi untuk bertanya supaya jelas.”
Mereka bergegas pergi ke Kantor Imigrasi Australia di down town.
Petugas membuka data Rio. Ya memang. Pengajuan ijin kerja Rio ditolak dengan penjelasan yang tak Diah pahami. Selanjutnya Rio masih bisa tinggal paling lama tiga puluh hari setelah pemberitahuan ini.
Sambil tersenyum pada petugas imigrasi, Rio menyerahkan formulir persetujuan untuk angkat kaki dari Melbourne dalam waktu satu bulan. Kemudian ia melangkah dengan tenang menuju mobil.
Diah tak terima anaknya dideportasi! Harapannya adalah Rio mendapat ijin tinggal dan bekerja seumur hidup disini. Terbayangkah bagaimana kecewanya Diah?!
Di dalam mobil, dipandanginya anak itu lekat-lekat. Rio membalas tatapannya… lalu meringis.
“Aku sengaja mengisi formulir yang kurang tepat, agar aku ditolak, Ma! He..he.. he…
Aku heran kenapa mama begitu silau melihat negara ini sampai tak ingin aku pulang? Memangnya begitu suramkah masa depanku di negaraku sendiri?
Aku punya teman-teman seperantauan yang sangat kukenal baik. Selama beberapa tahun disini kami memupuk rasa setiakawan, saling percaya, dan saling membantu bila ada yang sedang kesulitan.
Tidakkah mama lihat mereka itulah kekayaanku yang sangat berharga? Mereka semua ada di Indonesia. Lain dari itu, aku tak punya apapun yang berharga disini.
Aku yakin , papa mama pasti akan sangat membutuhkan kehadiranku. Maka itu, aku senang sekali diusir dari sini. Pokoknya, AKU MAU PULANG!”
…
Sehari sebelum pulang ke Jakarta.
Di dalam gereja St. Francis di pusat kota Melbourne, Diah berlutut dan berbicara pada Bunda Maria. “Ya Bunda, betapa kubodoh luar biasa! Ada begitu banyak orangtua yang merana kesepian karena tak dihiraukan anaknya. Namun ternyata Allah Bapa sudah menyediakan anak yang siap berbakti untuk kami. Ternyata Bapa di Surga tahu benar apa yang kami butuhkan, bukan yang kami inginkan.”
Diah mengusap rambut si sulung-keras kepala-nya berulang kali sebelum masuk ke bagian imigrasi di Tulamarine Airport. Tangannya ringan sekali melambaikan anaknya. Kekecewaannya telah sirna tak berbekas sedikitpun.
Satu bulan lagi, Rio menyusulnya pulang ke Indonesia. Ke habitat terindah dengan segala lika liku perjalanan hidupnya nanti. Sambil menjaga kedua orangtuanya yang dari hari kehari akan semakin uzur.
Xu Li Jia