SUDAH berbulan-bulan, aku terkapar di ruangan ini. Menanti detik demi detik berlalu dengan sangat membosankan.  Entah, masih bisa berapa ribu atau juta detik  lagi hidung ini dapat bernapas. Empat  bulan yang lalu, suster mencolokkan selang panjang ke salah satu lubang hidungku.

“Teguk,  Mamah! Teguk seperti orang minum. Memang rasanya tidak nyaman ya!” kata suster memberi instruksi.

Aduuuhh…  benar-benar tidak enak. Kata perawat, selang ini untuk menarik cairan lambungku agar aku tidak muntah terus-terusan.

Sakit apakah aku?

Anak-anakku dan saudara-saudaraku kelihatan berhati-hati sekali bila memberikan penjelasan tentang keadaanku. Mereka tidak pernah menyebutkan langsung nama penyakitku.  Tetapi, rasanya aku tahu. Ini pasti penyakit  yang paling ditakuti seluruh  manusia.  Begitu menyerang, ia akan menyiksa tubuh yang dihinggapinya tanpa ampun hingga mati. Rupanya penyakit kejam itu mendatangiku.

Bila aku tidak diberi obat peredam nyeri,  gila…!  Sakitnya bukan main! Entah  botol apa saja yang tergantung di tiang-tiang infus di kanan  kiri ranjangku. Aku enggan melihatnya.

“Kak, maukah kau dibaptis? Kalau mau, kami akan lebih mudah mendoakanmu. Kau  sendiripun dapat berdoa memohon kesembuhan kepada-Nya. Syaratnya, kau harus percaya dengan sepenuh hatimu,”  tanya Lia, adikku yang bungsu.

Aku mengangguk.

Ketiga adikku sudah Katolik semua. Selama ini, aku tidak pernah berpikir untuk mengikuti mereka meski aku telah beberapa kali ikut  mereka pergi ziarah dan Jalan Salib.

Anggukanku segera menggerakkan Siska, adikku yang satunya lagi.  Siska menyodorkan beberapa nama yang terdengar cantik-cantik di telingaku.

“Mana yang paling kau suka sebagai nama baptismu, Kak?” tanyanya.

Aku bingung. “Ulangi lagi,” pintaku.

Siskapun menyebutkan lagi nama-nama indah itu.

Hatiku tertambat pada salah satu nama. “Veronika. Siapa itu Veronika?” tanyaku.

Siska bercerita tentang Veronika. Seorang wanita yang mengusap wajah Yesus yang  berlumuran darah dengan kain kerudungnya.  Belas kasih Veronika  kepada Yesus telah meringankan   penderitaan-Nya ketika Ia memanggul salib hingga ke Golgota. Yesus  memberi kenang-kenangan berupa gambar wajah-Nya di kain itu.

Veronika. Aku suka. Maka, aku memberi isyarat kepada Siska, bahwa aku memilih nama itu. Lalu, mataku terpejam kembali. Obat penenang membuatku selalu ingin tidur.

Romo datang bersama Lia. Sebelumnya, Siska telah mempersiapkan salib dan lilin di atas kain putih. Aku hanya termangu saja menonton dari pembaringanku. Aku tidak mengerti, namun aku percaya adik-adikku sedang mengusahakan keselamatan imanku.

Aku tak begitu tahu perjalanan upacara pembaptisanku. Kumiringkan  kepalaku ketika Romo mengucurkan sedikit air di dahiku. Rasa sejuk menyegarkan hatiku.  Aku paham inilah tanda bahwa aku sudah diterima menjadi anak-Nya.

Romo menunjukkan sekeping roti putih, sambil berkata,  “Tubuh Kristus.”  Lalu, ia meletakkannya di atas lidahku.

Kutarik napas panjang pelan-pelan. Mengapa aku baru menjadi pengikut-Nya pada saat sakratul maut menjemputku?  Mataku terpejam  sambil menelan roti putih suci ini. Terlambatkah aku?

Aku merasa Romo menorehkan tanda salib di kedua telapak tangan dan kakiku. Berbaring dikelilingi anak-anak dan adik-adikku sambil didoakan bersama seperti ini, pasti  ajalku sudah tiba.

Sayup-sayup kudengar Romo berpamitan pulang. Aku hanya dapat mengangguk sambil bergumam, ”Terima kasih, Romo. Tolong doakan aku.”   Sedetik berikutnya aku tidak ingat apa pun.

Kali ini, aku terbangun dan merasa sedang berada di suatu tempat yang asing. Aneh…. Ruangan ini putih semua! Di manakah aku?

“Veronika.  Namamu kini adalah Veronika. Sudah siapkah kamu untuk pergi jauh meninggalkan anak-anakmu?”  terdengar sebuah suara bertanya kepadaku.

Ohh… belum pernah kudengar suara begitu sejuk di telingaku selama ini. Siapakah dia?

“Ya, Tuan! Kasihan anak-anakku. Mereka tidak bisa bekerja karena aku telah merampas waktu dan tenaga mereka hanya untuk mengurusku, Tuan,” jawabku sambil mencari-cari  pemilik suara itu.

“Kau benar-benar sudah tidak ingin bersama mereka lebih lama?  Aku mendengar permintaanmu kepada setiap dokter dan perawat yang memeriksamu agar memberimu injeksi mati saja.  Kau sudah tidak bersemangat sama sekali?”  tanya-Nya.

“Tuan.  Kemelut hidupku ruwet sekali, masih ditambah penyakit jahat yang menyiksa badanku ini. Manusia mana yang sanggup bertahan?  Namun….”  Tiba-tiba, hatiku menjadi sedih. Terbayang wajah anak- anakku yang  mengurusku siang malam.

“Namun… ternyata  aku masih ingin memandangi  anak-anakku beberapa waktu lagi, Tuan,” kataku takut-takut. Aku bersujud menghadap suara itu, tapi mataku masih belum dapat melihat bagaimana rupa pemiliknya.

Aku hanya melihat sinar putih yang terang sekali.

“Jadi apa maumu?” tanya Tuan Putih.

“Aku masih ingin bersama mereka sebentar lagi, Tuan,” jawabku.

“Hmm…. Baik… Kuberi kesempatan kepadamu untuk hidup lebih lama. Lalu,  apa yang akan kau lakukan?” tanya-Nya.

Hhh… aku bisa apa dengan badan layu begini? Makin hari semakin lemah karena tidak bisa makan dan minum sama sekali. Penyakit  ini bukan main sadisnya menggerogoti tubuhku tanpa kasihan. Jangankan beraktivitas, sekadar menggeserkan punggung saja harus dibantu. Belum lagi rasa perih luka di bagian belakangku, membuatku semakin takut bergerak.

Aku terdiam sangat lama.  Tuan itu sabar sekali  menunggu, sampai akhirnya aku menjawab lambat-lambat.

“Sebelum aku pergi… aku akan…   ehh… paling tidak aku akan menyemangati  dan menyeka air mata anak-anakku yang sedang menangis. Seperti nama Santa  yang kupilih, Veronika, yang menyemangati Yesus  walau hanya sekadar menyeka wajah-Nya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Terlambatkah aku, Tuan?”

Tuan Putih itu berkata dengan lembut, “Baik.  Kau boleh kembali. Pergilah dan gunakan waktumu untuk mempersiapkan anak-anakmu, Veronika!”

Aku menghela napas panjang sedalam mungkin. Mataku terbuka.  Anak-anakku tengah menangis di sekeliling  ranjangku.

“Aku lapar,” kataku.

Mereka semua tertegun.

“Mama!   Ohhh… kami semua sudah putus harapan melihat Mama  tidak bergerak sama sekali. Alat monitor sudah tidak bisa mendeteksi denyut nadi Mama!” kata anakku yang sulung.

“Aku lapar,” kataku berulang.

Selanjutnya, aku bisa makan selama beberapa hari walau hanya sedikit-sedikit.

Tuan Putih sedang memberiku kesempatan untuk bersama anak-anakku.

Selang-selang ini semakin deras mengisi nutrisi untuk tubuhku.  Aku sudah tidak bisa menelan apa-apa lagi. Aku sering melihat  dokter dan perawat  memanggil anakku yang sedang berjaga. Sering pula kulihat ibuku yang sudah tiada duduk di sampingku sambil memegangi telapak tanganku. Atau almarhum suamiku mengulurkan tangannya padaku.  Sekarang aku sering bingung, aku ini sedang sadar atau  bermimpi?

“Kalau aku sudah tiada nanti, kau ikutilah Dia sebagai  jalan hidupmu, Nak,” pesanku pada anak-anakku satu per satu.

“Aku akan selalu memohon kepada-Nya untuk melindungi kalian selalu.”  Mereka menganggukkan kepala.

Napasku semakin sesak.

Aku terbatuk-batuk payah sekali. Kupandangi lekat-lekat wajah tampan anak lelakiku yang tertidur kelelahan.

“Aku sayang padamu, Nak,” gumamku.

Kulihat sinar putih itu di depan ranjangku.

“Waktuku sudah habis.” Kutarik napas yang terakhir kali.

Tiba-tiba, aku  terlepas dari selang-selang ini, turun dari ranjang dan melangkah ringan mendekati anakku. Kubelai rambutnya yang sudah tak karuan karena berbulan-bulan ia tidak sempat memperhatikan dirinya sendiri.

Isak tangis anak-anakku mengiringi penutupan peti jenazahku. Baru kulihat  sendiri betapa buruk wajahku. Selama ini mereka tidak pernah memberiku cermin untuk menjaga perasaanku.  Kini, aku bersukacita karena  sudah tidak merasakan lagi sakit yang hebat di perut ini atau perihnya luka-luka di wajah dan punggungku. Aku berdiri di antara anak-anak, memeluk mereka satu per satu.

“Jangan sedih! Diriku sudah ringan. Tidak ada lagi siksaan yang  menderaku selama berbulan-bulan. Aku sudah letih memakai  tubuh itu.  Kalianpun sudah waktunya memulai hidup baru untuk masa depan kalian sendiri.”  Kuciumi pipi mereka seraya berusaha menghapus cucuran airmata mereka yang mengalir deras.

Aku  sama sekali tidak merasa sedih memandangi  peti itu meluncur masuk ke dalam oven.  Karena sudah waktunya aku, Veronika, pulang.

Xu Li Jia