Malam itu hujan deras sekali. Angin bertiup kencang, kilat dan petir saling menyambar.
Tiba tiba lampu padam. Di dalam dan di luar rumah seketika menjadi gelap gulita.
Aku beranjak dari kursiku hendak mencari lilin. Setelah lilin menyala, keadaan jadi lumayan walaupun sinarnya hanya temaram.
Aku tak mungkin bisa meneruskan skripsiku. Jadi kuputuskan untuk tidur saja. Siapa tahu besok subuh lampu sudah menyala, dan aku bisa melanjutkannya lagi.
Ketika hendak menutup jendela, kulihat ada sesosok bayangan seperti orang berdiri di bawah pohon di seberang jalan.
Ada rasa takut menghalangiku untuk menghampirinya, tetapi aku tak tega. Maka kuambil payung, lalu berjalan mendatangi bayangan itu. Aku berdoa semoga mahluk itu memang benar adalah manusia.
Aku tiba persis di depan bayangan tersebut. Dengan bantuan kilat, aku melihat sekejap bahwa sosok itu adalah seorang perempuan. Tetapi, tua atau muda masih belum jelas.
Kusapa dia, “Selamat malam!”
Tiba-tiba perempuan itu memelukku. Kubalas pelukannya. Aku merasakan tubuhnya gemetar, mungkin kedinginan karena bajunya basah kuyup kehujanan.
Kurasa dia butuh bantuan. Karena aku yakin dia perempuan baik-baik, jadi kuajak dia masuk ke rumah.
Dari temaramnya cahaya lilin, samar-samar kulihat bahwa perempuan itu sudah tua. Usianya pasti sebaya dengan nenekku yang sudah tiada.
Aku ingin melepaskan pelukannya agar dia bisa mengganti bajunya yang basah kuyup. Namun dia tetap memelukku. Terdengar ia bersuara lirih, “Sayang, akhirnya kau pulang juga. Aku menunggumu.”
“Nenek siapa, ya?” Penasaran kutanya ia.
Baru kemudian dia lepaskan pelukannya, dan bertanya, “Sayang, kenapa kamu memanggilku nenek? Kamu melupakan aku ya? Aku selalu menunggumu disini.”
Aku tambah penasaran. “Nenek menunggu siapa?”
Dia sebutkan nama yang tak asing bagiku. Adhi, nama kakekku.
“Ada apa dengan kakekku? Nenek mengenalnya?” tanyaku.
Dia menangis, sampai akhirnya dia diam. Lalu ia bertanya tentang kakekku. Kuceritakan bahwa kakekku sudah dipanggil Tuhan setahun yang lalu di Jerman. Satu tahun setelah nenekku meninggal.
Aku suguhi nenek itu segelas susu hangat. Setelah agak tenang, ia mulai siap untuk bercerita.
“Kakekmu adalah cinta pertamaku.” katanya.
Semenjak mengenal kakek, hidupnya sangat bahagia. Sampai pada suatu hari kakek harus pergi kuliah ke Jerman.
Selama di Jerman kakek rajin menyurati nenek itu. Ia berjanji, begitu selesai kuliah ia akan kembali ke tanah air.
Empat tahun kemudian kakek sudah menyelesaikan kuliahnya. Namun ia bukannya pulang ke kampung halaman, tetapi malah bekerja di sana.
Setiap kali nenek minta kakek untuk pulang, selalu ada saja alasan kakek yang sibuk dengan pekerjaannya. Akhirnya kakek tidak pernah lagi membalas surat nenek itu.
Nenek itu terus saja menyurati kakek selama bertahun tahun, walaupun kakek tak pernah membalasnya.
Hingga pada suatu hari nenek menerima kembali suratnya itu dengan catatan “Nama tidak dikenal, kembali kepada sipengirim.”
Sinenek masih terus berusaha mengirim surat. Namun sayang, suratnya itu selalu datang kembali dengan catatan yang sama.
Kubayangkan betapa setianya nenek ini menunggu kakekku puluhan tahun lamanya sampai ia tak pernah menikah.
Kuajak nenek untuk makan malam , tetapi ia menolak dengan alasan sudah mengantuk.
Aku persilakan ia membaringkan tubuhnya di kamar tidurku. Kuawasi dia dengan penuh kasih. Dia menatapku dan tersenyum. Tak lama ia menutup matanya. Kulihat bibirnya tersenyum, wajahnya penuh damai. Kudengar napasnya mulai teratur, dia sudah tertidur.
Listrik sudah menyala. Aku kembali ke ruang kerjaku, meraih laptopku dan meneruskan bab terakhir.
Sambil mengetik aku membayangkan pertemuan dengan nenek itu. Rupanya tadi sewaktu Misa Sabtu Vigili di gereja, nenek melihat aku mirip sekali dengan kakekku. Hatinya penuh sesak oleh rasa rindu yang selama ini dipendamnya, dia tunggui aku pulang. Lalu sinenek mengikuti aku sampai di depan rumahku, dia hanya berdiri saja di bawah pohon karena aku menutup pintu.
Aku tak sampai hati menceritakannya bahwa waktu kuliah di Jerman, kakekku jatuh cinta dengan teman kuliahnya seorang gadis Jerman. Setelah mendapat pekerjaan, kakekku menikahi gadis Jerman itu, dan jadilah nenekku.
Aku tidak mengerti mengapa aku ingin sekali menyelesaikan skripsiku di Indonesia. Oleh karena itu, aku minta ijin pada ayah dan ibuku untuk berlibur ke tanah kelahiran kakekku ini sambil menyelesaikan skripsiku di sini.
Aku jadi merenung, misteri apakah ini?
Tak terasa sudah menjelang subuh. Aku teringat sinenek dan segera masuk ke kamar. Kulihat nenek sepertinya sedang sesak napas. Aku langsung menghampirinya. Dia memelukku dan berkata, “Sudah tiba waktuku.”
Nenek menarik nafas panjang, lalu menghembuskan napasnya yang terakhir. Nenek meninggal dalam pelukanku.
Walau hanya sempat beberapa jam saja, tetapi serasa bagaikan sudah bertahun-tahun aku mengenalnya.
Betapa besarnya cinta nenek itu kepada kakekku, sampai dia mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri untuk menunggu kakekku sampai mati. Nenek itu meninggal dihari Paskah.
Selamat jalan Nenek! Semoga kini kau dapat bertemu dengan kekasihmu, dan tentunya juga bertemu dengan Tuhanmu. (Samaria Purba)