Adalah seorang yang bernama Yusuf. Ia anggota Majelis Besar, dan seorang yang baik lagi benar. Ia tidak setuju dengan putusan dan tindakan Majelis itu. Ia berasal dari Arimatea, sebuah kota Yahudi dan ia menanti-nantikan Kerajaan Allah. Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus. Dan sesudah ia menurunkan mayat itu, ia mengapaninya dengan kain lenan, lalu membaringkannya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat. (Luk 23:50-53)

 

PADA Jumat Agung, kita hadir dalam kerinduan akan salib Tuhan Yesus sebagai tanda sengsara, penderitaan, penghinaan, dan wafat-Nya yang menebus kita. Tubuh dan seluruh sosok-Nya dirusak oleh deraan dan luka-luka sampai Dia tidak dapat dikenali lagi, ”Lihatlah kayu salib tempat penyelamat dunia bergantung”, “Marilah kita sembah”.

Tokoh Yusuf dari Arimatea begitu dekat dengan salib Yesus. Dia tidak saja melihat, tetapi menyentuh tubuh yang penuh luka dan rusak. Apa yang terjadi? Tokoh  ini hadir dalam keempat Injil (Mat 27:57-61,Mrk 15:42-47,Yoh 19:38-42).

Dimulai dari penangkapan, orang-orang yang menahan Yesus, mengolok-olokkan-Nya, menutupi muka-Nya, dan mulai memukuli-Nya, lalu membawa ke sidang Mahkamah Agama di mana salah seorang anggotanya adalah Yusuf yang berasal dari Arimatea, sebuah kota Yahudi. Sidang mengambil keputusan menghukum mati Yesus, karena Ia telah menghujat Allah dengan menyatakan diri sebagai Anak Allah. Mereka bersepakat membawa Yesus kepada Pilatus. Hal ini mereka lakukan karena hanya Pilatuslah yang dapat menentukan hukuman mati, karena setiap keputusan hukuman mati harus datang dari otoritas Romawi.

Pilatus menanyakan apa yang menjadi kesalahan Yesus, tetapi tidak ditemukannya. Ia ingin membebaskan tetapi banyak orang menentangnya, berteriak, “Salibkanlah Dia!” Akhirnya, Pilatus menjatuhkan hukuman mati. Yesus diserahkannya kepada mereka untuk diperlakukan semau-maunya; dimahkotai duri, diludahi, dicemooh, disiksa, dan disuruh memanggul salib menuju Bukit Golgota.

Yusuf melihat semua penderitaan Yesus. Meskipun ia tidak setuju dengan putusan dan tindakan majelis, ia tidak dapat mencegah hukuman mati. Kematian Yesus di salib dilihatnya dengan penuh pergolakan hati. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah Yesus wafat, tidak ada orang yang berani menurunkan jenazah Yesus dari atas kayu salib, karena Yesus bukanlah mati atas tuduhan sebagai penjahat semata, melainkan dituduh sebagai pemberontak dan penghujat Allah. Siapa saja yang berani dapat terseret dan dianggap sebagai lawan pemerintah Romawi maupun otoritas Agama Yahudi.

Keadaan saat itu pasti mencekam. Para tua-tua, imam-imam kepala, orang-orang Farisi, ahli Taurat, dan juga bangsa Yahudi sendiri bisa jadi saling curiga dan mencari aman dengan menjauh dari Bukit Golgota. Selain itu, untuk menurunkan jenazah Yesus harus dengan izin Pilatus, karena Yesus sebagai pemberontak terkait dengan pemerintah Romawi. Bagaimana harus menerangkan kepada Pilatus, karena penyaliban Yesus atas kehendak mereka sendiri.

Belum lagi persiapan Hari Sabat. Mereka tidak boleh melakukan pekerjaan/kegiatan (menurunkan jenazah dari salib) setelah matahari terbenam, juga menyentuh jenazah yang menyebabkan najis (menurunkan, mengapani, membaringkan) selama tujuh hari, sehingga tidak dapat mengikuti perayaan Paskah (Bil 19:11-16). Jika begitu, akankah jenazah Yesus dibiarkan bergantung di atas salib?

Yusuf dikatakan seorang yang baik lagi benar; baik hati dan benar dalam perbuatannya. Ia menanti-nantikan Kerajaan Allah. Tetapi, ia tidak melihat takhta kerajaan, selain tubuh yang penuh luka dan darah, tidak ada mahkota selain anyaman duri yang menyiksa. Yusuf yang awalnya hanya diam, sembunyi-sembunyi, kini tampil menjadi berani.

Yesus yang bergantung di atas salib membawa cinta begitu besar baginya. Luka-luka yang selama ini menjadi penghambat bagi dirinya untuk mencintai Yesus,  disembuhkan melalui luka-luka Yesus yang tersalib. Rahmat cinta-Nya membuat Yusuf mampu melepaskan rasa takut.

Sebagai manusia lemah, kita pun tidak lepas dari luka-luka, kenangan pahit, takut, khawatir, dendam, dll yang menghambat perjalanan hidup kita kepada Allah dan sesama. Kita harus berani untuk menemukan sumber penderitaan dan membagikan luka-luka tersebut kepada Kristus. Dia sudah menderita, wafat, dan bangkit dari kematian sehingga semua luka-luka kita dapat disembuhkan-Nya. Atau ingatlah semua luka-luka itu dan ceritakanlah kepada Yesus dengan jujur. Mintalah agar Yesus menunjukkan di bagian mana kita terluka dan bagaimana kita bereaksi terhadap luka tersebut.

Undanglah Yesus untuk merangkul kita dalam penderitaaan luka-luka dan sakit kita. Ketika kita disembuhkan, seperti halnya Yusuf dari Arimatea, kita pun akan bergerak untuk meminta jasad Yesus dalam rupa sesama yang penuh luka, yang tertindas, dan yang dilupakan.