Sumarsih hanya perempuan biasa. Pegawai dan ibu rumah tangga menjadi rutinitas kesehariannya. Setelah Wawan, anaknya, tewas dalam Peristiwa Semanggi, wanita bertubuh kecil ini menjadi sosok pembela HAM. Bukan hanya untuk mencari kebenaran atas tewasnya Wawan tetapi juga untuk korban-korban lainnya.
MENERAWANG ingatan ke tahun 1998; Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, tewas diterjang timah panas saat berlangsung demonstrasi yang menuntut reformasi pada Jumat, 13 November 1998. Sumarsih kehilangan putranya yang menjadi korban dalam peristiwa yang terkenal sebagai Tragedi Semanggi itu.
Saat mengawali perbincangan, raut wajahnya tampak tegar. Rambutnya sudah memutih. Dengan intonasi bernada tegas, Sumarsih mulai menuturkan kisahnya.
Jauh sebelum tragedi 1998 terjadi, Sumarsih adalah seorang aktivis Gereja, bersama suami dan kedua anaknya, Wawan dan Rosa. Mereka melayani di Gereja Maria Bunda Karmel Tomang. “Kami serumah pernah menjadi lektor di Gereja MBK, sebelum ada pengembangan gereja. Akhirnya, kami ikut paduan suara di Sangtemus (MKK).” Selama hampir tiga tahun, ia pernah menjadi pengurus sebelum Wawan meninggal.
Setelah tragedi itu terjadi, ia memutuskan untuk berhenti dari semua aktivitas gerejani pada bulan April di tahun setelah Wawan berpulang.
Memperjuangkan Kebenaran
Maria Katarina Sumarsih adalah pegawai Sekretariat DPR RI. Ia menjadi staf di salah satu partai terbesar kala itu. Ia pensiun pada tahun 2005, namun memperoleh perpanjangan masa kerja hingga tahun 2008.
Sangat jelas ingatannya akan peristiwa yang mengubah hidupnya. Jumat sore, 13 November 1998, dia, suaminya, adiknya, dan adik iparnya bergegas menuju Rumah Sakit Jakarta setelah mendapat kabar bahwa Wawan tertembak. Sesampainya di sana, ia langsung menuju ke lantai dasar. Ia mendapati tubuh Wawan berada di keranda terbuka.
Sejak itu, ia bertekad ingin mencari dan memperjuangkan kebenaran. Tekad itu yang membuatnya terjun dan terus bergerak tiada henti, mencari kebenaran dan keadilan.
Untuk itu pula, ia pernah berkeinginan langsung berhenti dari pekerjaannya.
Semuanya serba mengalir. Februari 1999, pada waktu cuti, tiba-tiba muncul keinginan yang kuat untuk mencari hasil otopsi Wawan, sampai di Pomdam Jaya. Ia bertemu dengan salah satu warga Gereja yang mau membantunya hingga ia terus melanjutkan aktivitasnya ini. Ia mulai ikut melakukan aksi damai bersama para aktivis perempuan.
Keingintahuannya mengapa Wawan ditembak membuatnya terus-menerus turun ke jalan. Begitu ada info akan diadakan aksi damai di Bundaran HI, ia sudah siap berada di sana untuk bergabung. Demikian pula di berbagai tempat di mana ada aksi, ia siap bergabung. Berbagai pertemuan sampai peringatan Tragedi Semanggi, ia tidak ketinggalan hadir. Dalam pencariannya akan kebenaran dan keadilan, terkadang ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi.
Upaya mencari keadilan terus dilakukannya. Pada 18 Januari 2007, ia bersama anggota keluarga korban pelanggaran HAM lainnya bergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan (JSKK). Mereka sepakat melakukan aksi setiap Kamis pukul 16.00-17.00. Aksi diam ini kemudian dikenal sebagai aksi Kamisan atau aksi Payung Hitam Menolak Diam. Lokasi berlangsungnya tetap di depan Istana Negara, Jakarta. Hingga tulisan ini dibuat, aksi ini sudah memasuki Kamisan ke-485.
Dalam setiap aksinya, terlihat jelas payung hitam sebagai maskot Kamisan. Warna hitam dimaknai sebagai simbol keteguhan mencintai; cinta akan korban termasuk Wawan, cinta pada perjuangan hak asasi, dan cinta akan kebenaran dan keadilan. Sedangkan payung melambangkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan lokasi di mana Istana Negara dimaknai sebagai simbol kekuasaan.
Sumarsih memiliki kegigihan untuk setia melakukan aksi ini. “Apabila kita tidak mendapatkan perlindungan dari negara, kita akan mendapatkannya dari Tuhan. Apabila kita tidak mendapatkan keadilan di dunia ini, kita akan mendapatkannya dari Tuhan,” demikian ia berkeyakinan.
Sumarsih terus gigih berjuang melakukan audiensi, advokasi, dan orasi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM. Dia fasih bercerita tentang kondisi saat itu. Bersama keluarga korban lainnya, semangatnya untuk terus memperjuangkan keadilan, memperoleh banyak dukungan.
Rapat Pleno di DPR RI tentang kasus Semanggi I dan II, serta kasus Trisakti menjadi cerita yang tidak dilupakannya. Pada tahun 2001, dalam pleno Panitia Khusus (Pansus) yang dihadiri oleh para anggota Pansus, telah diperkirakan bahwa keputusan awal dan sesudahnya tetaplah sama, yakni perbandingan tiga fraksi pendukung dan tujuh penolak untuk mengusut tuntas peristiwa ini.
Hal ini membuat Sumarsih berencana melakukan aksi lempar telur. Sebanyak tujuh telur mentah dipersiapkan untuk dilempar kepada peserta sidang tersebut. Ketujuh butir telur yang didapatnya dari kantin DPR, disimpannya rapi, lalu dibawanya ke lokasi sidang. Mengapa tujuh? Karena tujuh fraksi yang tidak setuju.
Rombongan terdiri dari lima wakil korban Semanggi hadir sebagai peninjau. Mereka berlima duduk di balkon, sedangkan anggota DPR berada di bawah. Momen lempar telur akhirnya berhasil dilakukan ke sasaran, yakni peserta dalam sidang tersebut.
Tahun 2008, tujuh tahun berselang, di suatu tempat dia bertemu dengan seseorang yang berasal dari salah satu fraksi, yang pernah menjadi sasaran lempar telurnya. Sumarsih tersipu mendengar pengakuan ini.
Penerima Yap Thiam Hien Awards tahun 2004 – penghargaan dari Yayasan Pusat Studi HAM bagi mereka yang berjasa bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia– ini tetap setia berada di lokasi aksi Kamisannya. “Wawanlah yang pantas menerima penghargaan ini. Tapi, setelah Wawan tidak ada maka saya sebagai ibu yang melahirkannya memiliki kewajiban untuk melanjutkan perjuangannya.”
Pada suatu acara Kamisan, MeRasul hadir dan melihat aksi Sumarsih, untuk mengambil gambar wajahnya dari sudut di mana Istana Negara terlihat di belakangnya. Hal ini menguatkan harapannya agar suara dan aksinya lebih didengar dan dilihat. Di lokasi aksi ini, dia begitu akrab dan terbiasa. Seolah lokasi ini menjadi tempat favoritnya. Maklum, selama tujuh tahun aksi Kamisan ini sudah berjalan.
Dengan menggamit tas hitam dan mengembangkan payung hitamnya pada saat matahari menyorotnya, Sumarsih terlihat bagai ikon aksi Kamisan.
Bersandar pada Bunda Maria
Saat itu, Wawan sebagai anggota Tim Relawan Kemanusiaan minta ijin kepada tentara untuk menyelamatkan mahasiswa yang terkapar di halaman kampus. Dengan kibaran bendera putih, Wawan berhasil meraih tubuh mahasiswa yang menjadi korban. Namun, sebutir peluru menembus tepat di dada kirinya. Rumah Sakit Jakarta menjadi saksi Wawan meninggal.
Mendengar berita Wawan menjadi korban tembak, secara spontan dan refleks Sumarsih langsung menyebut nama Maria dan berdoa Salam Maria. “ Mendengar kabar Wawan ditembak, saya langsung berdoa rosario di perjalanan menuju rumah sakit. Anehnya, kata-kata yang muncul … bukan Bunda Maria tolonglah Wawan… tetapi Tuhan Yesus selamatkanlah Wawan. Tidak tahu, tiba-tiba kata-kata ini muncul,” ucapnya terharu. Di rumah sakit, ia memperoleh peneguhan dari Romo Andang dan Romo Susilo yang sudah berada di lokasi sebelumnya. Belakangan, seorang pendeta perempuan memberikan dukungan dengan mengirimkan ayat-ayat suci lewat telepon kepada Sumarsih hampir setiap hari.
Setelah peringatan arwah 1.000 hari Wawan berpulang, Sumarsih memutuskan untuk mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) ke-IV di Gereja Maria Kusuma Karmel, tahun 2002/2003. Ia diperkenankan mengikutinya melalui teman Arif Priyadi, sang suami.
Aktivitas doa dijalaninya setiap hari. Doa rosario sebagai doa harian. Pukul 12 siang, doa Rosario. Pukul 16.30, doa litani (Hati Kudus Yesus, Bunda Maria, dll). Malam hari, doa Bapa Kami dan Salam Maria. Setelah ikut pendalaman tentang meditasi, kadang doa dilakukannya dengan bernyanyi. Pada tahun-tahun berikutnya, variasi dalam doa dilakukan oleh Sumarsih.
Betapa ia mengagumi Bunda Maria sebagai wanita pilihan Tuhan. Maria adalah sosok yang harus diteladani dan dipercaya. Maria, perempuan yang sempurna, sebagai ibu, penasihat, sosok yang penuh cinta kasih.
“Semakin rendah hati adalah buah dari doa rosario. Berusaha berdoa setiap pukul 12 siang, sore, dan malam. Setiap hari saya berdoa rosario. Doa seperti punya hutang,” ungkap Sumarsih. Kala menghadapi masalah berat, Bunda Maria selalu menuntunnya, baik dalam peristiwa penembakan Wawan maupun dalam mengelola perasaannya.
Kembali Aktif
Sumarsih kembali aktif dalam kegiatan Gereja pada tahun 2016. Menurutnya, hidup seperti air mengalir. Ia tidak pernah berpikir bagaimana perannya sebagai umat. Kalau ada kegiatan Gereja, ia ikut saja. Di Lingkungan Yohanes Pemandi 4, banyak orang mendorongnya untuk segera bergaul kembali dengan masyarakat. Kegiatan yang bertahun-tahun tidak dilakukan, akhirnya kembali dilakukan oleh Sumarsih.
“Sebagai ungkapan syukur, karena banyak orang yang membantu membangkitkan semangat hidup saya. Tuhan menciptakan banyak bahu untuk menolong saya dan saya pribadi mengatakan, Tuhan Yesus bertanggung jawab terhadap kehidupan umat-Nya. Saya tetap mengikut aturan Gereja, apa yang saya lakukan sesuai dengan janji baptis saya,” ujarnya.
Keputusan pemerintah untuk penyelesaian masalahnya ini melalui rekonsiliasi, menurutnya, tidak masalah asal tetap melalui proses hukum. Berjuang melawan lupa dan melawan impunitas, terus dilakukannya hingga hari ini.
Bermodalkan semangat, Sumarsih tidak pernah berhenti melanjutkan perjuangan yang diyakininya bisa mendapatkan kebenaran dan keadilan. Dalam perjuangannya, Sumarsih telah melibatkan banyak unsur kepemimpinan, yakni memiliki komitmen, antusiasme, energi, dan keberanian, berupaya keras, percaya diri, sabar, cinta, dan perhatian.
Berto