“SELAMAT sore!” sambut Ruddy Suhartono dengan ramah, ketika MeRasul baru tiba di kediamannya di daerah Puri Indah. Ia sedang menggendong cucunya yang belum genap berusia satu tahun. Lalu, ia menyerahkan cucunya kepada istrinya, Vivi Stefani. Selanjutnya, ia mempersilakan MeRasul duduk.
“Saya mau ditanyain apa saja sih? Saya ini cuma veteran kok,” katanya seraya duduk santai.
“Justru yang veteran harus digali pengalaman hidupnya, Pak. Agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus,” jawab MeRasul.
Ibarat Keledai
Ruddy mulai berkisah. “Dulu, saya pernah beberapa kali menjadi Ketua Lingkungan. Lalu, menjadi Ketua Wilayah. Kemudian saya ditunjuk menjadi Ketua Panitia Evangelisasi (KEP) angkatan ketiga. Waktu itu kira-kira tahun 1998. Peserta KEP angkatan itu sampai 200 orang lho!”
Kemudian, ia menjadi Panitia Pembangunan Gereja Matias Rasul Kosambi. “Sebetulnya, tidak pantaslah saya dijadikan Ketua PPG. Saya ini ‘kan cuma pedagang tekstil di Tanah Abang, bukan insinyur, bukan konglomerat. Saya ibarat seekor keledai yang dipilih Tuhan Yesus untuk ditunggangi-Nya saja. Hehehe….”
Ruddy adalah panitia ketiga. Sebenarnya, yang menjadi Ketua Panitia adalah Candra Wijaya. “Saya hanya ikut-ikutan mendampingi Romo Hadiwijoyo. Karena Candra akan mengikuti Olimpiade di Sidney, dia tidak sanggup menjadi Ketua PPG.”
Maka, Candra meminta kepada Ruddy untuk melanjutkan tanggung jawabnya itu. “Puji Tuhan, pas saya yang menjadi PLT alias Pelaksana Tugas , keluarlah Surat Ijin Pinsip dari Pemerintah untuk mendirikan Gereja Matias. Yang paling susah ‘kan Surat Ijin Prinsip ya! Nah, setelah Surat Ijin Prinsip keluar, pembangunan gereja bisa langsung terlaksana.”
Dalam pelaksanaan pembangunannya, ya biasalah… bila ada perbedaan pendapat tentang desain bangunan gereja, teknis pelaksanaan kepanitiaan, dan lain-lain. Namanya juga teamwork.
“Saya mendapat banyak dukungan dari Romo Hadi beserta para umat. Panitia bekerja selama kira-kira tiga tahun. Waktu itu, saya mengikuti Romo Hadi ke mana-mana untuk berkampanye menggalang dana. Syukurlah, persoalan dana bukanlah masalah yang terlalu berat karena banyak sekali umat Katolik yang dermawan.”
Waktu itu, panitia mengadakan Arisan Bombay. “Anda tahu apa itu Arisan Bombay?” tanyanya.
Ruddy menjelaskan, dalam arisan itu, tiap orang membayar iuran Rp 200 ribu setiap bulan. Target minimal 300 orang. Tak disangka, ternyata panitia berhasil mendapatkan seribu orang yang berminat ikut arisan ini! “Bayangkan, 1.000 orang dikalikan Rp 200 ribu selama tiga tahun. Dana yang terkumpul segitu sangat lumayan sebagai modal awal, bukan?”
Kemudian, setiap bulan panitia mengadakan undian. Pemenangnya mendapat hadiah bebas uang iuran selanjutnya sampai arisan berakhir. Satu bulan satu orang. Lumayan ‘kan! Tapi, pada akhirnya banyak juga pemenang arisan yang tidak mengambil hadiahnya. Dengan sukarela, mereka mengembalikan hadiah itu kepada panitia sebagai sumbangan. “Luar biasa sekali! Banyak umat kita yang murah hati. Sebelumnya, di Purwokerto pernah juga diadakan arisan seperti ini,” kata Ruddy.
Selain Arisan Bombay, Tuhan memberkati usaha panitia melalui kebaikan hati manajemen Metropolitan Development. Perusahaan kontraktor itu memberikan harga tanah sangat murah. “Kita diberi keringanan harga sampai 50 persen.”
Koordinator Prodiakon
Pengalaman menjadi Ketua Panitia Pembangunan Gereja memang sungguh berkesan. Namun, tidak hanya itu saja pengalaman yang memperkaya hidup pria yang lahir pada 29 November 1947 ini.
Setelah selesai menjadi Ketua Panitia Pembangunan Gereja, Ruddy ditunjuk menjadi Koordinator Prodiakon selama dua periode, tepatnya persis sebelum Purnomo Budiharjo mengetuai Prodiakon. Jadi, antara tahun 2005 sampai 2011 (Ruddy tidak begitu ingat).
Ada satu pengalaman yang menyentuh hatinya. Ruddy menyaksikan ada orang yang kaya dalam hal materi, namun miskin dalam kasih. Ia mengunjungi seorang ibu yang sudah sangat tua, sedang menunggu saat-saat terakhirnya untuk menghadap Tuhan di sebuah rumah sakit yang cukup mewah. Namun, anak-anaknya tidak berada di dekatnya. Mereka semua sangat sibuk. Ketika Ruddy memegang tangan ibu itu untuk berpamitan, genggaman tangannya tak mau dilepas. Kelihatan sekali, ibu itu sangat kesepian dan membutuhkan kehadiran orang lain yang memberikan sentuhan kasih kepadanya.
Impian Sang Veteran
Perkawinan Ruddy Suhartono (70 tahun) dengan Vivi Stefani (67 tahun) dikaruniai dua anak, Yanto dan Yanti. Kedua anaknya disekolahkan di Regina Pacis, Palmerah dari SD hingga tamat SMA. Setamat SMA, Yanti pergi ke Swiss untuk belajar ilmu perhotelan. Kemudian, Yanti mendapat beasiswa untuk meneruskan ilmunya ke Atlanta, Amerika Serikat. Ia menetap di Amerika karena bertemu jodohnya di sana. Yanti mempunyai dua anak laki-laki yang sudah berusia 17 tahun dan 12 tahun.
Sedangkan Yanto menikah belakangan. Ia dikaruniai tiga anak laki-laki berumur 13 tahun, tujuh tahun, dan sembilan bulan. Yanto tinggal bersama Ruddy. Jadi, Ruddy dan Vivi memiliki lima cucu laki-laki. Ketika bercerita tentang Yanto dan Yanti, di wajah Ruddy terpancar kasih terhadap anak-anak dan cucu-cucunya.
“Saya hobi bermain basket. Dulu, saya main basket sampai tiga kali seminggu. Tapi, sekarang, hanya seminggu sekali saja. Kita harus menyesuaikan diri dengan usia. Lapangan basketnya di depan rumah saya,” ceritanya sambil membuka galeri di ponselnya untuk mencari foto-foto tim basketnya.
“Kegiatan saya sekarang sudah tidak banyak. Saya hanya ikut latihan Koor St. Lusia. Selain itu, walaupun tidak rutin, saya cukup sering hadir dalam pendalaman iman yang dipimpin Romo Robby Wowor pada hari Selasa.”
Ruddy menyampaikan pesan kepada para pengurus Gereja. Walaupun sibuk sekali dalam berorganisasi, tetaplah sempatkan diri untuk berolah raga. “Saya melihat banyak aktivis yang kurang memperhatikan kesehatan karena begitu sibuk bekerja. Dulu, ketika masih menjadi Koordinator Prodiakon, saya selalu membatasi rapat sampai pukul 21.30 saja.”
Sedangkan kegiatannya sebagai seorang kakek yang mencintai cucu-cucunya adalah mengantarkan anak-anak Yanto– Janos dan Seann– ke sekolah setiap pagi. Sepulang sekolah, kedua anak itu dijemput oleh Yanto.
Meski menyatakan dirinya sebagai veteran, Ruddy masih punya keinginan atau tepatnya sebuah impian. Ruddy ingin ikut berpartisipasi membangun gereja di Puri Indah.
Memang rencana pembangunan gereja di Puri Indah sudah lama terdengar. Namun, terkendala oleh harga lahan yang sangat mahal di daerah ini. Sekarang, di Notre Dame sudah ada tempat untuk dijadikan stasi. Jadi, rencana tersebut belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.
Tuhan tidak akan diam bila umat-Nya memiliki semangat dan usaha untuk memuliakan nama-Nya. Suatu hari kelak, impian “sang veteran” pasti akan menjadi kenyataan.
Sinta