Oleh Surtinah

“MBAK, tanggal 10 nanti aku mau pergi sama Dimas. Ibu bagaimana ya? Masa sendirian saja di rumah?”  Dwi, adikku, dan anaknya akan pergi ke luar kota selama beberapa hari.

“Kau pergilah. Ibu akan kubawa ke rumahku. Tak apa-apa, dia berlibur di sini barang seminggu,” jawabku.

Seminggu yang lalu, kujemput ibu. Kami tak mungkin membiarkan ibu yang telah berusia 73 tahun tinggal sendirian selama berhari-hari.  Fisiknya masih sehat, akan tetapi  ibu sudah sangat pelupa. Kompor sering ditinggalkannya dalam keadaan menyala. Ia sering kelabakan mencari barangnya yang dia tinggalkan entah di mana. Namun, ia tersinggung bila dikatakan pikun.

Selama bermalam di rumahku, aku sering memperhatikannya diam-diam. Aku jadi terbayang sosok dan wajahnya ketika aku masih kanak-kanak. Ibuku adalah perempuan yang gesit. Cekatan dalam mengerjakan segala urusan rumah tangga. Banyak akalnya dan jarang sekali jatuh sakit biarpun sedang kecapaian.

Ibu selalu tampil tegar. Masalah apa pun yang menghadangnya, ia hadapi dengan tangguh dan rasional. Ayahku malah lebih beremosi,  berbuat sesuatu karena dorongan  perasaan.  Aku tak pernah melihat air mata mengalir di wajah ibuku,  padahal hatinya sedang tertekan atau dilanda kesedihan hebat.

Urusan rumah tangga dia tangani sendiri. Mulai dari masakan, tanaman, hingga perawatan rumah yang membutuhkan keahlian tukang. Genteng bocor, dialah yang naik dan menambalnya sendiri. Hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan hasil pekerjaan tukang. Maka itu, dahulu ia jarang sekali memanggil tukang.

Pernah ada seekor tikus mati di atas eternit kamarnya. Tanpa ragu, diambilnya tangga, lalu ia dorong salah satu plafon yang bisa dilepaskan agar ia bisa masuk ke atas. Tanpa rasa jijik, diambilnya bangkai itu, lalu dibersihkannya tempat bekas tikus itu tergeletak.

Rumah tua itu telah menaungi dua pertiga bagian hidupnya. Di dalam rumah itu, aku dan adikku tumbuh dewasa.  Begitu menikah,  aku pindah rumah mengikuti suamiku.  Sedangkan adikku tetap menghuni di situ. Hidup bersama mereka.

Rumah tua itu telah menyaksikan perjalanan panjang kehidupan perkawinan ayah ibuku. Dalam kebisuannya, ia mencatat lengkap segala suka dan duka, segala kedamaian dan pertengkaran yang terjadi. Rumah tua itu mendengarkan pembicaraan mereka berdua, yang aku dan adikku tak pernah tahu.

“Bu, kalian sudah tua, ikut aku saja ya. Pindah ke rumahku saja ya,” ajakku pada suatu hari, sepuluh tahun lalu.

“Aku mau saja pindah. Tapi ayahmu ini lho yang susah,”  jawabnya, dulu… ketika ayah masih hidup.

“Sekarang, Ibu sudah mau ikut aku belum?” tanyaku,  satu tahun setelah ayah tiada.

“Aku mau. Tapi,  aku masih harus memperbaiki rumah ini. Kau tak tahu? Pipa saluran air ke WC dan kamar mandi sudah bocor parah. Genteng-genteng sudah pecah, harus diganti. Kerangka wuwungan ternyata sudah hampir habis dimakan rayap. Untung aku memeriksanya. Kalau tidak, tahu-tahu runtuh bagaimana?”  celotehnya.

“Ibu jangan naik-naik genteng lagi. Suruh Dimas saja yang naik,” kataku.

“Dimas mana ngerti urusan genteng bocor? Harus aku yang naik dan periksa sendiri. Tukang mana boleh dibiarkan kerja tanpa kuawasi. Harus ditunggui, baru hasilnya beres,”  jawabnya.

Renovasi rumah tua itu berjalan sekitar empat bulan dengan memanggil tiga tukang. Semuanya di bawah pengawasan ibuku, yang tak mempedulikan gerutuan mereka. Aku memahami jalan pikiran masing-masing. Bagi ibu, tukang tak boleh kerja seenaknya tanpa diawasi. Bagi tukang, bekerja dikomando nenek-nenek cerewet adalah hal yang  sangat menjengkelkan. Namun, aku tak ikut campur. Biar saja ibu menghadapi urusan ini. Lumayan buat mengasah otaknya agar jangan lekas pikun.

Setiap hari selama  ibu di rumahku,  aku terus mendengarkan  kisahnya  yang selalu berkisar tentang  masa lalu. Ketika aku dan adikku masih kecil, masa kanak-kanak kami dalam asuhannya. Tentang semasa dirinya aktif bekerja, dan mengulang  untuk kesekian puluh kalinya bagaimana susahnya kehidupan di kala  ayahku tak menghasilkan uang.

Sebanyak lima sore berturut-turut, kuajarkan  bagaimana memakai handphone  yang kubelikan untuknya beberapa bulan lalu. Sekadar membuka WhatsApp dan BBM, menjawab telepon masuk, atau mencari  nama dalam daftar kontak kenalannya.

Baginya, benda itu sangat ajaib. Jadi, sulit sekali menghafalkan ikon yang tertera di layar.  Ia bertanya terus berulang-ulang. Tiba-tiba, ia teringat bahwa ia pun belajar komputer pada tahun 1980-an. Langsung!  Ia beralih cerita  bahwa ia bisa cepat sekali menguasai komputer pada jaman itu.  Akhirnya…  pelajaran  tentang bagaimana  memakai telepon pintar jadi melenceng ke kisah komputer pada abad yang lalu.

Pada hari keempat, kuajak ibu ke pasar. Ia terkagum-kagum menyaksikan betapa bersihnya pasar di sini. Lantainya kelihatan putih. Pedagang sayuran, buah-buahan, berderet rapi.  “Waaaah… di sana sih jorok banget! Malahan banyak kios tutup,” katanya.

Kami tak mempunyai pembantu. Suamiku sangat cekatan membersihkan rumah. Ibu menyaksikan dengan takjub bagaimana suamiku menggulung celana panjangnya, menggosokkan  pel tongkat  mondar-mandir menyeka lantai. Ibu berbisik kepadaku bahwa ia ingin ikut aku. Rupanya keinginan  itu yang saat ini sedang terlintas di dalam pikirannya.

Kujawab, “Ok. Tapi, apakah Ibu sudah siap berpisah dengan Dimas, teman-teman gereja, dan grup senam di sana? ‘Kan berarti Ibu tidak bisa sering bersama lagi dengan mereka semua?”

Ia terdiam.  Aku tahu, hatinya mendadak berat begitu mendengar kata “berpisah” dari mulutku. Walaupun ibu sayang sekali pada anak-anakku, tapi Dimas yang sejak lahir tinggal seatap dengannya pastilah yang paling banyak mengisi hidupnya. Belum lagi teman-teman sesama lansia yang selalu pergi bareng  untuk acara mereka.

“Kupikirkan lagi nanti,”  jawabnya.

Sedetik kemudian,  ia berkata ingin beli televisi karena televisi di rumahnya sudah tak patuh lagi pada perintah remote. Suaranya sering tiba-tiba menjerit tak karuan.

Satu minggu lebih sehari telah terlewati. Tibalah waktunya aku dan suamiku mengantarkannya pulang.

Di depan pintu kamarnya,  ibu tergopoh membuka tasnya lebar-lebar, mencari kunci, lalu segera masuk.  Kuperhatikan dia dari luar. Ia mendongakkan kepalanya, lalu memutarkan pandangan  ke sekeliling kamar tidurnya sambil meletakkan tas pakaiannya.   Ia duduk di kasurnya, termenung sejenak. Kelihatan sekali,  ia rindu pada bau kamarnya.

Tak lama, ibu keluar sambil membawa meteran gulungan.  Ia mengukur lebar bufet yang rencananya akan diletakkan televisi baru nanti.

Suamiku berkata, “Ibu nanti ajak Dimas saja ke toko, supaya penjualnya bisa langsung menerangkan kepada Dimas bagaimana menyetel channel-channel-nya dan mempergunakan remote-nya.”

Ibu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil terus merentangkan meteran di bufetnya itu.

Kami memeluk dan menciumnya,  lalu pamit pulang.

Sambil berjalan tertatih mengiringi kami keluar, ibu berkata, “Aku bahagia di rumah ini.  Aku tak berpikir lagi ingin pindah ke rumah yang baru dan bagus.”

Aku paham. Rumah tua itu telah mengayominya selama 50 tahun. Setiap jengkal telah dikenalnya, lebur menyatu bersama jiwanya. Ibuku telah berbahagia menghabiskan sisa hidupnya, bernapas di dalam rumah tua itu, dan bergaul dengan komunitasnya selama ini.

Barangkali, kelak ia akan menutup mata  di dalam kamarnya.  Di atas ranjang  yang telah setia menyangga tubuhnya semenjak ia menikah, 50 tahun yang lalu.

Kulambaikan tanganku dari jendela, lalu mobil kami  melaju meninggalkannya.

 

Jakarta, 20 Juni 2016