Oleh Penny Susilo

NURI adalah gadis kecil yang periang sesuai dengan namanya. Ia suka berceloteh dan bernyanyi namun sedikit manja. Maklumlah, Nuri tidak memiliki kakak maupun adik. Ia adalah putri tunggal dari keluarga berada.

Usianya sepuluh tahun, duduk di kelas 5 Sekolah Dasar “Bunda Kudus” yang berada di sebuah kota besar. Papa dan mamanya sangat menyayanginya. Apa pun keinginan Nuri selalu dikabulkan oleh mereka.

Walaupun sekolah Nuri tidak seberapa jauh dari rumahnya, papa dan mamanya tidak mengizinkan Nuri memakai bus sekolah. Sebuah mobil mewah dengan supir, Pak Usman, selalu siap mengantar Nuri ke sekolah, ke tempat les, ke mana saja sesuai dengan keperluan Nuri. Demikian juga dengan Kak Mira yang selalu menemaninya di rumah maupun pada waktu bepergian.

Di sekolah, Nuri selalu menjadi pusat perhatian teman-temannya. Mereka senang berteman dengan Nuri yang periang walaupun kadang-kadang sifat manjanya terbawa juga. Misalnya, ketika sedang bermain bersama. Tetapi, itu tidak menjadi masalah bagi teman-teman Nuri.

Hari ini liburan sekolah dimulai karena semua kelas dipakai untuk ruang ujian murid kelas 6. Papa dan mama sudah mempersiapkan liburan ini jauh-jauh hari. Mereka akan berlibur ke daerah pantai.

Papa sudah menyewa kamar di sebuah hotel berbintang dengan panorama laut yang sangat indah. Pantai yang bersih dan berpasir putih dengan ombak yang mengalun tenang, menambah keindahan suasana di sekitar hotel.

Pagi hari, Nuri berjalan-jalan bersama papa dan mamanya untuk melihat matahari terbit. Seperti biasanya Nuri berceloteh dengan gembira. Sekali-sekali ia bernyanyi dengan riang. Papa dan mama senang melihat putri tunggalnya begitu gembira menikmati liburan.

Tapi, tiba-tiba… celotehan dan nyanyian riang Nuri terhenti seketika. Nuri tampak tertegun. Matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan yang sangat mengharukan. Tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdiri, tampak seorang kakek sedang membantu seorang gadis kecil seusia Nuri yang berjalan tertatih-tatih menyusuri pantai.

Beberapa kali gadis kecil itu terjatuh. Dengan sabar, kakek tersebut membantunya berdiri kembali. Kedua kaki gadis kecil itu terlihat sangat lemah. Papa, mama, dan Nuri sangat terharu melihatnya. Lalu, perlahan-lahan Nuri menghampiri mereka. Dengan senyumnya yang ceria, Nuri menyapa kakek dan gadis kecil itu.

“Selamat pagi, Kakek dan Temanku. Namaku, Nuri. Bolehkah aku berteman dengan kalian? ”

“Oh tentu saja,” jawab mereka berbarengan.

“Namaku, Elis. Kakekku sedang melatih kedua kakiku yang lemah ini agar dapat berjalan sedikit demi sedikit. Hampir setiap minggu kami datang ke sini. Kamu sedang berlibur ‘kan?” tanya Elis tak kalah riangnya dengan Nuri.

“Ya,” jawab Nuri.

“Aku datang berlibur ke sini bersama papa dan mamaku. Mari kuperkenalkan kalian dengan kedua orang tuaku.”

“Nuri, kamu sangat beruntung memiliki papa dan mama. Kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku selamat dalam kecelakaan itu, tapi kedua kakiku lumpuh. Sekarang ini, aku hanya memiliki seorang kakek yang selalu memberikan semangat kepadaku,” papar Elis dengan suara tersendat.

Nuri termenung mendengarnya.

Sejak saat itu, Nuri dan Elis menjadi teman karib yang saling mengasihi. Sifat manja Nuri hilang sudah. Meski memiliki kaki cacat, Elis tidak menjadi manja karenanya. Elis sudah memberikan contoh yang baik bagi Nuri. Dengan kursi rodanya, Elis sanggup mengerjakan semua hal bagi keperluan dirinya sendiri. Dan kakek selalu menyemangati Elis untuk terus berlatih berjalan meski ia harus jatuh berkali-kali.

Kata Elis kepada Nuri, “Semua orang berkata, aku tidak dapat berjalan lagi. Akan kubuktikan pada suatu hari nanti, aku bisa berjalan kembali sehingga usaha kakekku tidak akan sia-sia.”

Hal itu terbukti. Setelah sekian lama berlatih berjalan di pantai bersama kakeknya dan sekali-sekali dibantu oleh Nuri, Elis mengikuti lomba berjalan bagi penyandang cacat seperti dirinya. Elis menjadi pemenangnya. Sambil menahan isak tangis, Elis memeluk Nuri dan berkata,  “Terima kasih, Nuri. Kaulah sahabatku yang sejati.”

“Terima kasih juga Elis, kau pun telah menyadarkan aku untuk tidak manja walaupun aku anak tunggal,” sahut Nuri terbata-bata. Elis maupun Nuri percaya bahwa rancangan Tuhan selalu indah pada waktu-Nya.