SUATU hari, saya akan mengikuti rapat Dewan Pleno Paroki Bomomani Papua. Akan tetapi, pagi hari sebelum rapat, John, anak asrama kami, datang dan mengatakan “Romo, Marten ada pergi bawa pisau”.
“Oh ya, kenapa?” tanya saya.
“Tidak tahu Romo. Katanya, dia dipukul. Dia ada balas dendam di Moanemani.”
“Oh ya, kapan dia pergi?” tanya saya lagi.
“Belum lama, Romo,” jawabnya singkat dan meyakinkan. Segera saya pergi ke aula tempat rapat akan berlangsung. Saya meminta Ketua Dewan Paroki awam dan tokoh yang bekerja di pemerintahan untuk menemani saya mencari anak asrama kami di Moanemani. Mereka pun khawatir karena bermasalah dengan pendatang di Moanemani bisa sangat mengerikan akibatnya. Keterbatasan bahasa menyulitkan anak kami untuk menjelaskan kepada aparat penegak hukum nantinya. Ada rumor yang sudah umum, bahwa setiap ada masalah antara pendatang dengan orang asli Papua, pasti yang dipersalahkan oleh aparat adalah orang Papua.
Rapat pun terpaksa ditunda sampai masalah ini selesai. Kami menggunakan dua sepeda motor. Saya ngebut. Beberapa orang di jalan bertanya mengapa saya pergi padahal akan ada rapat. Saya tidak sempat menjawabnya karena tergesa-gesa pergi ke Moanemani. Akan tetapi, baru sepuluh menit berjalan, di tikungan jalan, saya melihat Marten bersama teman-temannya sedang menggotong-gotong kayu bakar. Saya kaget dan seakan tidak percaya pada apa yang saya lihat. Spontan dalam hati, saya merasa jengkel.
“Marten, kau tidak pergi ke Moanemani?” tanya saya segera.
“Ah tidak, Romo. Saya cari kayu sama teman-teman.”
Saya bingung antara jengkel sekaligus senang. Jengkel karena sudah tergesa-gesa dan mengorbankan rapat, senang karena masalah itu ternyata tidak terjadi.
Saya kembali ke pastoran dan mencari John.
“John, apakah kamu melihat sendiri Marten membawa pisau?” Tanya saya dengan suara agak berat.
“Tidak Romo, saya diberitahu Ableh, (anak asrama yang bernama asli Agus). Ableh tidak berani bicara sama Romo karena takut salah menyampaikan.”
“Lalu yang benar yang mana? Marten tidak pergi ke Moanemani. Dia cari kayu?” kata saya mengoreksi informasi dari John.
“Ah saya tidak tahu, Romo. Tanya Ableh saja.”
Bertanya pada Ableh akan membuat kepala tambah pusing karena dia memiliki keterbatasan dalam bahasa Indonesia. Pernah suatu hari dia datang dan ingin bertanya kepada saya. Setelah saya tanya tentang apa yang dia mau, dia hanya senyum-senyum dan mengulang kata “saya… saya…” Setelah dia bingung, tanpa diduga-duga dia langsung lari meninggalkan saya sendiri.
Singkat cerita, memang benar Marten ingin membalas dendam. Namun, di tengah perjalanan, teman-temannya menasihati untuk tidak pergi ke sana.
Menjadi saksi tidaklah mudah. Ia harus kredibel dan sungguh-sungguh menyaksikan peristiwa yang terjadi. Ia juga harus punya dasar dan bukti atas kesaksiannya. Datanya tepat dan bukan hanya “kata orang” atau hoax. Menjadi saksi pun harus bisa menyampaikan dengan baik kesaksiannya sehingga tidak disalahartikan. Ketika seorang saksi tidak bisa menjelaskan apa yang dilihatnya tentang kapan, siapa, dan bagaimana peristiwa itu terjadi –bahkan mengatakan tidak tahu– maka kesaksiannya diragukan.
John dan Agus sulit menjadi saksi. John tidak melihat langsung dan Agus sulit menyampaikan kesaksian.
Bagaimana dengan menjadi saksi Kristus? Kita tidak pernah melihat Yesus. Kita tidak melihat Yesus yang memberi makan kepada lima ribu orang. Kalau demikian, kita tidak bisa menjadi saksi Kristus. Akan tetapi dalam pengalaman saya, ketika ada doa penyembuhan yang dibawakan oleh seorang romo di Rumah Retret Samadi, saya melihat sendiri bahwa seorang romo yang stroke bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Ada seorang anak yang kesulitan bernapas sepanjang hari, lalu datang ke pastoran dan didoakan dalam Nama Tuhan Yesus, langsung bernapas dengan lancar.
Itulah pengalaman iman dan saya menjadi saksi atas karya Tuhan. Kita bisa menjadi saksi Kristus ketika kita menemukan pengalaman-pengalaman iman dalam kehidupan kita.