oleh Romo Ibnu Fajar Muchammad MSF

SUMBER utama spiritualitas keluarga Kristiani adalah Keluarga Kudus Nazaret. Karena dalam Keluarga Kudus Nazaret terwujud sakramentalitas keluarga (mereka menerima tanda kehadiran Allah dan sekaligus keluarga mereka mampu menjadi tanda bagi keluarga lain). Maka, kalau kita mau membicarakan keluarga sebagai sekolah yang pertama dan utama, terutama dalam keadilan, mau tidak mau sekolah utama dan pertama yang bisa kita pakai sebagai teladan pendidikan keadilan dalam keluarga kita adalah kehidupan Keluarga Kudus Nazaret.

Keluarga Kudus Nazaret-lah yang dipilih Allah yang menjadi seminari bagi Yesus. Dari hasil pendidikan mereka, Yesus muncul sebagai pribadi yang dewasa, yang sungguh concern terhadap keadilan. Tentu tidak pertama-pertama karena Yesus sebagai Putra Allah, namun juga karena kerjasama Maria – Yusuf dalam mendidik Yesus.

Kita akan membatasi pembicaraan kita pada pokok renungan tentang Keluarga Kudus Nazaret berdasarkan Kitab Perjanjian Baru.

 

  1. Keluarga Kudus Nazaret hidup seperti keluarga-keluarga lainnya.

Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mukjizat diadakan-Nya di situ. (Mat 13:53-58, dapat dibandingkan dengan teks paralel yakni dalam Mrk 6:1-6; Luk 4:14-30)

Kitab melihat reaksi orang-orang yang mendengar dan melihat pewartaan Yesus. Ada dua reaksi. Reaksi pertama dari orang-orang Nazaret yang notabene adalah tetangga Yesus dahulu, rasa heran, takjub, reaksinya positif atas pengajaran-Nya. Ditampakkan di sana  rasa bangga. Namun, tidak lama kemudian, disusul reaksi  kedua yang adalah rasa kecewa, ada sikap penolakan, reaksinya negatif. Sebagian dari mereka mengatakan, “Ia orang biasa yang sudah lama kita kenal”, “bagaimanakah Ia berani tampil ke muka seakan-akan Ia seorang yang luar biasa”.

Reaksi kedua hanya masuk akal jika ternyata Keluarga Kudus Nazaret (Yesus, Maria, dan Yusuf) selama puluhan tahun di Nazaret tidak pernah memberikan alasan bagi dugaan bahwa Yesus adalah manusia yang istimewa dan luar biasa. Maka, dapat diandaikan bahwa mereka sungguh hidup seperti semua keluarga lain di desa kecil Nazaret. Tidak ada hal yang menonjol yang bisa dibanggakan kecuali pekerjaan Yusuf sebagai tukang kayu.

Dari catatan penggalian arkeologi yang dilakukan di Nazaret, ditemukan suatu bukti bahwa kurang lebih tahun 70 M, Nazaret bukan suatu kota besar, namun hanya sutu desa kecil dan dihuni 400-an penduduk yang hidup sebagai petani sederhana. Dapat kita bayangkan suatu desa kecil yang dihuni oleh penduduk yang relatif homogen dengan mata pencarian sama, yakni bertani. Karena penduduk yang hanya sedikit maka mereka saling kenal satu dengan yang lain. Namun, yang menarik dari catatan penggalian itu adalah ditemukannya suatu situs rumah yang diyakini sebagai bekas rumah yang dihuni oleh Keluarga Kudus.

Dari situs rumah itu terlihat bahwa kondisi rumah tersebut cukup baik dan mempunyai ruangan kecil yang difungsikan menjadi semacam gudang. Ruangan yang difungsikan menjadi semacam gudang tidak mungkin dimiliki oleh keluarga miskin.

Hal lain yang menarik adalah sebutan Yusuf sebagai tukang kayu. Kita bayangkan kalau Yusuf sebagai tukang kayu, apakah dia bisa menghidupi keluarganya, padahal dia hanya melayani sedikitnya penduduk di Nazaret. Maka, harus dimengerti bahwa di samping sebagai petani seperti penduduk lainnya, Yusuf mempunyai keahlian khusus sebagai tukang kayu. Suatu keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Ada suatu kombinasi pekerjaan antara petani dan tukang kayu yang dapat menjamin kesejahteraan keluarga mereka.

Biasanya akan disusul dengan suatu pertanyaan tentang kemiskinan Keluarga Kudus Nazaret, yakni berkaitan dengan kendaraan yang dipakai saat perjalanan ke Betlehem, yakni menggunakan keledai dan bukan kereta atau gerobak. Juga tentang kelahiran Yesus di kandang.

Dengan bijak, kita harus membaca peristiwa kelahiran di kandang lebih sebagai keperluan akan privasi daripada kemiskinan ekstrem. Kalau semua penginapan berdesak-desakan tamu, sedangkan orang yang mau melahirkan membutuhkan suatu suasana yang lega, dan tempat yang sungguh privat, dengan tidak banyak orang yang lalu-lalang di tempat tersebut. Maka, proses kelahiran di kandang adalah suatu yang masuk akal demi tempat yang relatif lebih lapang, lega, dan terjaminnya privasi bagi sang ibu dan bayinya.

Sedangkan kendaraan yang dipakai adalah keledai demi keamanan mereka. Keledai adalah kendaraan yang dipakai orang-orang sederhana. Sementara daerah yang dilewati dari Nazaret menuju Betlehem adalah daerah yang penuh bahaya perampok. Perampok lebih mengincar kalifah kaya atau mereka yang dipandang mempunyai harta lebih. Alhasil, penampilan Keluarga Kudus Nazaret melalui daerah yang berbahaya itu tidak mengundang perampok untuk menyatroni mereka.

Pendek kata, Keluarga Kudus Nazaret hidup secara biasa seperti layaknya keluarga-keluarga lain  dengan hidup  tidak menyolok di Nazaret.

 

  1. Keluarga Kudus yang siap sedia melayani.

Dalam kutipan Magnificat yang terkenal (lihat Lukas 1:46-55), Maria digambarkan sebagai hamba Allah. Kita dapat membandingkan sosok Maria dengan tokoh bapa-bapa bangsa Israel. Misalnya, tokoh Abraham, Musa, dan para nabi yang menerima kedaulatan mutlak dari Allah atas mereka. Hamba Allah yang siap sedia melaksanakan semua rencana Allah sebagai tanda bahwa Allah yang berdaulat dalam seluruh hidupnya. Rencana Allah yang membuat kehidupan manusia dengan menomorsatukan keadilan dan secara konkret memposisikan diri pada mereka yang miskin dan lemah untuk mendapatkan hak diperlakukan adil. Seolah-olah Magnificat ini menjadi rencana pendidikan mereka untuk Yesus, terutama dalam membentuk Yesus menjadi Hamba Allah yang setia.

Hamba Allah mengandung dua unsur utama. Pertama, ada kebanggaan karena boleh menjadi hamba Allah. Bangga tidak berarti menyombongkan diri bahwa dirinya melebihi orang lain. Kedua, adalah kesadaran akan ketergantungan 100% dari Tuhan. Tanda bahwa Allah berdaulat dalam dirinya adalah membiarkan Allah berkarya menggunakan dirinya untuk menyapa dunia. Dalam hal ini, dibutuhkan aspek yang penting yang tidak boleh dilupakan, yakni kemampuan merasakan hati Allah. Seandainya Allah sekarang hadir hic et nunc (di sini dan kini) apa yang akan Dia kerjakan. Orang yang seperasaan dan sehati dengan-Nya akan melakukan hal sesuai dengan rencana-Nya. Tentu orang tersebut sudah kerap kali melakukan discernment terus-menerus. Misalnya, Ibu Teresa dari Kalkuta yang melihat ketidakadilan di sekitarnya. Tanpa berbuat kekerasan, ia mampu melakukan hal yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya. Dan yang jelas, tindakannya menjawab situasi pada saat itu.

Maria, ibu Yesus (yang dalam kaca mata iman mempunyai martabat lebih besar) justru dengan rela hati menawarkan diri untuk melayani Elizabet. Keteladanan yang dilakukan oleh Maria ini dapat kita lihat jelas dalam kehidupan Yesus selanjutnya terutama, bagaimana dia menyapa dan membantu mereka yang membutuhkan kehadirannya. Hal membantu dan menyapa ini justru menjadi tindakan kenabian dan sesuai dengan patokan yang berlaku bagi Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus.

Kerelaan Yusuf menjadi bapa bagi Yesus dan suami bagi Maria adalah suatu kerendahan hati dan sekaligus suatu kedudukan istimewa yang memberikan banyak kewajiban daripada hak kepadanya. Dalam seluruh hidupnya, dia rela menerima peran tersebut. Potret sosok atau pribadi Yusuf pun akhirnya terlihat dan terpancar jelas dalam diri Yesus.