“Kamu adalah seorang calon dokter dan dia  (menunjuk ke arah Novi)  juga calon dokter. Kalian berdua pasti sangat cocok!”  gurau Romo Harry Liong, Pr pada Juanli.

Tuhan merestui gurauan itu.  Enam tahun kemudian, Romo Harry memberkati  dokter Juanli dan drg. Lina Noviyanti menjadi suami istri.

 

Juanli

Ia lahir pada 27 September 1979 di Desa Sungai Bakau Besar Laut, kira-kira dua jam perjalanan darat dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Ayahandanya bekerja sebagai nelayan dan ibundanya mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak-anak. Juanli adalah anak ketiga dari enam bersaudara; dua laki-laki dan empat perempuan.

Pada waktu Juanli masih balita, mereka sekeluarga pindah ke Cipanas, Puncak – Jawa Barat. Di kota yang berhawa sejuk itulah, Juanli kecil tumbuh dan dibesarkan.

Meski menganut agama Buddha,  kedua orang tuanya  mempercayakan pendidikan anak-anak mereka di sekolah Katolik Mardi Yuana, Sindanglaya, sejak TK, SD hingga SMP.

Ternyata, di kota Cipanas ada keluarga Katolik taat yang menjadi guru les privat Juanli, yang juga semarga dengan keluarganya, yaitu marga Lie. Singkat cerita, ketika Juanli duduk di kelas 4 SD, ia ikut tinggal di rumah keluarga Lie tersebut.

Dari keluarga itulah ia mengenal lebih dalam kehidupan rohani orang Katolik. Ia rajin ikut bertugas menjadi misdinar (pada hari Minggu sering kali ia bertugas dua kali; Misa pagi dan sore karena keterbatasan jumlah misdinar) walaupun ia baru dibaptis saat SMP kelas 1 di Gereja Maria Ratu Para Malaikat, Cipanas.

Juanli yang pertama masuk Katolik, diikuti  kelima saudaranya dan mamanya. Sekarang tinggal papanya yang berusia 73 tahun yang sebentar lagi akan dibaptis, bergabung  menjadi pengikut Kristus.

Karena sejak kecil Juanli  melihat  bagaimana pastor bekerja dan melayani, sempat terbersit dalam pikirannya untuk mengikuti jejak para romo pembimbingnya, berkarya dalam tarekat OFM. Akan tetapi Tuhan  menginginkan  Juanli  melayani-Nya  dengan cara lain.

Setelah tamat SMP Mardi Yuana,  Juanli meneruskan studi di SMA Regina Pacis, Bogor. Ia menyelesaikan pendidikan SMA dengan lancar  dan langsung melanjutkan di Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta.

Bertumbuh besar dalam lingkup pendidikan Katolik, karakter Juanli pun  terbentuk menjadi pemuda yang berjiwa Katolik.  Tak puas mengisi hidupnya  hanya di dalam gedung sekolah, Juanli banyak memupuk potensi dirinya dengan  aktif berorganisasi.

Ada banyak kegiatan organisasi  yang diikutinya, seperti Paksina (Paskibra SMU Recis Bogor), Medisar (Medical Search and Rescue), Pastoran Mahasiswa, Legio Maria, Senat Mahasiswa, BPM, Wushu, Dance FKUAJ, Kevinlo (Keluarga Vinsensian Louisan/ JMV Indonesia), dsb.

 

 Lina Noviyanti

Novi, demikian panggilan sehari-hari gadis  manis ini. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara perempuan. Ia lahir pada 5 November 1979.

Seperti Juanli, Novi juga berasal dari keluarga beragama Buddha. Neneknya yang paling dulu masuk Katolik dan terdaftar sebagai  umat di Gereja  St. Yosep Paroki Matraman.

Novi mengikuti agama neneknya dan belajar agama Katolik dari kelas 2 SD di Paroki Matraman.

Kemudian orang tua Novi pindah ke Kembangan, Jakarta Barat, yang pada waktu itu masih merupakan bagian Gereja MBK.

Karena belum tahu siapa pengurus lingkungan di tempat tinggalnya yang baru itu, Novi tetap terus belajar agama Katolik, ikut dengan gereja neneknya di Matraman. Ia khusus pergi ke sana bolak-balik. Di kelas 4 SD, barulah ia dibaptis di paroki tersebut.

Setelah dibaptis, keluarga Novi baru  mengetahui bahwa Kembangan termasuk dalam administrasi Lingkungan St. Antonius, Gereja Sathora.

“TK, SD, dan SMP saya di sekolah Katolik. Akan tetapi, di bangku SMA saya belajar di SMA Negeri 78, dan belajar Ilmu Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia. Jadi, saya ini dari bangku sekolah sudah bermasyarakat secara Bhinneka Tunggal Ika pula. Tidak hanya  dalam lingkup Katolik saja,” cerita Novi sambil tersenyum.

Novi adalah anak perempuan yang senang bergaul. Jiwa sosialnya sangat tinggi.  Sejak kelas 1 SMP,  ia sudah aktif di OMK Sathora, menjadi pengajar BIR di Lingkungan St. Antonius, bergabung dengan PDKK OMK, serta tak ketinggalan ia menyumbangkan suaranya pula di Paduan Suara Wilayah St. Antonius.

 

“Dijodohkan” oleh Romo Harry

Suatu hari pada tahun 2000, Juanli diajak oleh Sudibyo dari CSIS untuk melatih tali-temali/rappling dalam program pengkaderan OMK Sathora di salah satu vila di Coolibah, Puncak. Novi juga hadir sebagai peserta dari OMK Sathora.

Romo Harry Liong, Pr yang pada tahun itu menjadi pembimbing kawula muda di  Sathora,  melihat  keserasian paras  kedua calon dokter ini.  Tak ayal, selama  pelatihan berlangsung, ia menjodoh-jodohkan Juanli dengan Novi.   Ditambah lagi,  ada seorang teman dekat Juanli  ketika di SMU Regina Pacis Bogor,  menjadi teman Novi di Fakultas Kedokteran Gigi UI.

Selanjutnya,  Juanli dan Novi semakin mendekat dan saling menjajaki. Selama  pacaran, mereka aktif  mengikuti berbagai kegiatan baik yang diadakan Gereja maupun dari universitas masing-masing.

Masa penjajakan selama enam tahun terjalani sudah.  Akhirnya,  mereka berdua saling mengikat janji setia  dan diberkati oleh Rm. Harry  pada 27 Agustus 2006 di Gereja Sathora.

Sebagai hadiah perkawinan mereka, Tuhan menganugerahkan sepasang anak, yaitu Vincentius Alexander Lie  (11 tahun)  dan Louisa Anastasia Lie (8 tahun).

 

Tetap Ingat Cilincing

Sejak Juanli menjadi mahasiswa FKUAJ Semester 3, tahun 1999, ia sering pergi ke daerah Cilincing diajak oleh kakak-kakak kelasnya untuk  membantu pelayanan kesehatan di Klinik Susteran Putri Kasih di sana. Sebagaimana kita ketahui, ada banyak orang miskin yang tinggal  di daerah itu. Standar hidup dan  kualitas kesehatan mereka cukup  memprihatinkan.

Di wilayah Paroki Cilincing Gereja Salib Suci, ada sebuah Komunitas Susteran bernama Suster-Suster Putri Kasih. Susteran  ini bekerja di bawah naungan  Serikat Hidup Kerasulan, yang didirikan oleh St. Vincentius a Paulo dan Santa Louise de Marillac,  tahun 1633 di Perancis.

Awalnya, Juanli sekadar menjalani tugas sebagai mahasiswa kedokteran; ingin mendapatkan ilmu lebih. Akan tetapi   dengan berjalannya waktu dan seringnya melayani di sana, Juanli  menyaksikan sendiri betapa malangnya orang-orang miskin itu. Hal ini sungguh menyentuh hati nurani Juanli  sehingga sulit  rasanya melupakan mereka begitu saja.

Sampai sekarang, walaupun Juanli sudah bekerja  sebagai Financial Advisor di suatu perusahaan asuransi terkemuka, ia masih aktif melayani di Klinik Susteran Putri Kasih guna menyumbangkan pengetahuannya di bidang medis. Tak terasa sudah 19 tahun lebih ia melayani di sana.

“Memang kadangkala  saya merasa lelah untuk pergi  ke Cilincing setiap Jumat. Namun begitu tiba di sana, atau dulu di Papanggo (masyarakat kolong di bawah jembatan tol Tanjung Priok), semangat saya yang tadinya hampir padam,  langsung menyala lagi seperti  di-charge kembali,”  cerita Juanli.

Kelihatannya Tuhan sengaja mengatur tanggal lahir Juanli 27 September, bertepatan dengan Hari Raya Santo Vincentius, agar Juanli memiliki hati yang sama dengan sang pelindung Karya Misi, pendiri Ordo CM (Congregation of the Mission).

“St. Vincentius mengatakan  bahwa Kaum Miskin adalah Tuan dan Majikan Kita. Kalimat inilah yang selalu mendorong semangat pelayanan saya,” lanjut Juanli.

Novi juga memiliki kesetiaan pelayanan yang sama dengan suaminya. Ia seakan tak pernah bosan atau kehabisan tenaga untuk memperhatikan orang lain, walaupun ia telah menikah dan memiliki anak.

Sejak lulus Profesi Kedokteran Gigi pada akhir tahun 2004, Novi diajak teman seangkatannya untuk membantu pelayanan di Balai Pengobatan Gigi MBK. Walau teman yang mengajaknya sudah tidak aktif melayani di poli, Novi tetap setia menyediakan dirinya untuk melayani di Poliklinik Gigi MBK satu kali seminggu.

Sejak menikah pada tahun 2006, sampai sekarang, Novi pun aktif pula melayani di Balai Pengobatan Gereja Sathora.

Pernah sekali waktu, tahun 2016,  ia baru saja mengalami blighted ovum (ovum kosong, tidak berkembang) dan akhirnya kandungannya perlu dikuret pada Sabtu pagi. Dipikirnya, setelah tindakan tersebut, dalam dirinya tak ada masalah apa-apa. Berhubung di Balai Pengobatan Sathora tidak ada dokter gigi lain yang bisa berjaga pada hari Minggu (dan karena ia juga menjadi Koordinator Dokter Gigi Sie Kesehatan Sathora), jadilah Novi memaksakan diri datang agar pasien tetap terlayani. Akibatnya, ia mengalami perdarahan berkepanjangan. Tetapi, ia sama sekali tidak pernah menyesalinya.

“Yang namanya melayani itu, harus  didorong dari hati kita sendiri. Kita ini ikhlas atau tidak.  Janganlah kita berpikir, aaah… saya lagi, saya lagi yang kerja!   Ya memang, orang yang melayani  dengan hati rela jadinya  lu lagi lu lagi  karena  dia tidak pernah menghitung  sudah berapa banyak yang dia berikan,” urai Novi.

Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya dengan mantap, “Saya akan terus melayani sampai akhir selama Tuhan menghendaki dan selama saya  masih kuat.”

 

Berkalung Medali Wasiat

Sekarang pasutri dokter ini sudah pindah  ke Perumahan Casa Jardin – Daan Mogot, Paroki Kapuk Gereja St. Philipus Rasul. Kesibukan mereka  semakin bertambah karena kini Juanli menerima amanah menjadi Ketua Lingkungan St. Alexandros yang  mengurus lebih dari 75 KK yang mayoritas adalah keluarga muda dengan beraneka ragam kegiatan (Jalan Salib di Cluster selama masa Pra Paskah, Perarakan Patung Bunda Maria, Pendalaman Alkitab setiap dua minggu sekali, BIA/BIR setiap minggu, koor lingkungan, dsb).

Meskipun secara resmi kini mereka adalah umat Gereja St. Philipus Rasul di Teluk Gong,  mereka berdua masih dengan sepenuh hati  melayani masyarakat Bojong di Balai Pengobatan Sathora. Bahkan Juanli  dipercaya menjadi wakil dokter Iwan Joko, Ketua Seksi Kesehatan Sathora.

Di leher Juanli dan Novi menjuntai  kalung Medali Wasiat agar sinar Bunda Maria yang terpancar dari hati St. Vincentius a Paulo dan Santa Louise de Marillac dapat meresap ke dalam jiwa mereka.

Nama kedua orang kudus itu pun mereka rekatkan pada kedua buah hati mereka.  Kiranya kelak,  anak-anak mereka juga  memiliki hati seperti  Santo Vincentius dan Santa Louisa yang mencurahkan bakti dengan tulus ikhlas kepada siapa saja yang membutuhkan pelayanannya, terutama mereka yang papa, terpinggirkan, dan terlupakan.

“Ya Maria semula jadi tak bercela, doakanlah kami yang berlindung kepadamu. Amin.”

Xu Li Jia