PERJALANAN hidup manusia baik dewasa maupun anak penuh dengan warna. Dunia modern cenderung mengajarkan kepada kita untuk menggunakan lebih banyak logika.  Akibatnya, kepekaan kita terhadap keberadaan Tuhan sering terabaikan. Banyak orang berpikir bahwa apa yang terjadi di dalam kehidupan ini dan dalam keseharian sudah seharusnya demikian; bukan karena campur tangan Tuhan.

Mengapa penulis menggunakan kata serendipity?

Semata-mata bukan karena penulis mau sok menggunakan bahasa Inggris, tetapi satu kata itu mempunyai arti sangat luas. Menurut Cambridge dictionary: the fact of finding interesting or valuable things by chance (menemukan sesuatu yang menarik/berharga yang tidak direncanakan). Dan pertemuan itu merupakan misteri Tuhan; kapan, di mana, bagaimana, dan lewat apa dan siapa. Pernahkah Anda merasakan kehadiran-Nya yang sangat pribadi dan menyentuh hati?

Berikut ini pengalaman panggilan Romo Riki untuk mendalami pengetahuannya supaya dapat membantu remaja-remaja yang hanya mendapatkan warisan agama dari orang tuanya tetapi bingung dan tidak tahu bagaimana cara untuk membangun serta menumbuhkan imannya sendiri. Juga pengalaman ayah Romo Diaz dan pengalaman penulis sendiri.

 

Hatiku Gelisah untuk Mengenal-Mu, Tuhan

 “Romo, saya tidak percaya Tuhan!“

Kalimat ini meluncur dengan lancar dari mulut seorang remaja yang saya jumpai di kantor ketika saya masih bertugas sebagai Pastor Rekan di Paroki Bojong Indah Gereja St. Thomas Rasul.

Sebelum menanggapinya, saya mempersilakannya duduk dan kemudian menanyakan alasan dia meragukan eksistensi Tuhan.  Jujur, saya merasa penasaran dan terkagum-kagum. Saya penasaran bagaimana dia sampai pada kesimpulan tersebut. Saya kagum karena dia begitu terbuka kepada saya yang notabene seorang imam Katolik, terkait posisi kepercayaannya yakni percaya bahwa Tuhan tidak eksis.

Selama kurang lebih satu setengah jam, saya berbincang-bincang dengan remaja ini. Saya kagum akan keinginannya mengenal (ajaran) iman yang diterima begitu saja dari keluarga dan yang sering tanpa penjelasan; “Pokoknya begitu…!“

Ungkapan remaja ini mungkin saja menjadi ungkapan banyak kaum muda Katolik sekarang. Jika remaja ini berani bicara blak-blakan, ada juga sekelompok remaja yang mungkin cenderung tidak terlalu serius mempertanyakan apa yang diimaninya; Tuhan ada atau tidak, tidak ada efek apa-apa dalam hidup sehari-hari. Namun, tidak disangkal, ada juga sekelompok remaja yang serius mau mengenal dan menghidupi imannya.

Kegelisahan kaum remaja sekarang terkait (ajaran) iman yang diterimanya adalah suatu bukti perlunya ajaran iman yang mampu berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perlu adanya bahasa bersama antara agama dan sains supaya realitas kita yang kompleks ini tidak hanya dipahami tetapi juga bisa dijelaskan.

Atas dasar pengalaman di atas dan juga karena minat pribadi, saya mencoba mendalami tema tersebut dalam disertasi saya. Tidak semua orang memiliki karunia untuk secara langsung dapat mengenal campur tangan Tuhan dalam hidup. Beberapa diberikan karunia kesabaran dalam pergumulan hati dan intelektual untuk akhirnya mengamini (ajaran) iman yang diwariskan keluarga dan Gereja Katolik.

München, 1.10.2018

Bunda Maria mendoakan kita🙏

 

Terpesona Bunyi Lonceng Gereja

 Setiap Minggu, lonceng gereja akan berdentang, kemudian terlihat orang-orang berduyun-duyun menuju gereja. Timbul rasa penasaran di dalam diri seorang pemuda bernama Supardi. Ia merantau dari Jawa ke Tanjung  Pinang. Penasaran akan lonceng tersebut, lama-kelamaan ia mengikuti panggilan lonceng tersebut dan masuk serta duduk diam di dalam gereja. Perlahan namun pasti, panggilan itu timbul di dalam dirinya untuk datang lebih dekat lagi.

Ketika masih kecil, Supardi ditinggal oleh sang ayah untuk selamanya. Bersama ibu dan kelima saudaranya, mereka hidup susah di sebuah desa di Klaten sehingga ia tidak bisa bersekolah.  Ada rasa sedih melihat teman-temannya bisa mencecap bangku pendidikan.

Saat remaja, akhir tahun 60-an, ia memberanikan diri ikut merantau bersama teman-temannya guna mengadu nasib di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tekad baja untuk bisa bersekolah dan membiayai diri sendiri dijalani dengan bekerja sebagai ABK di Angkatan Laut. Di sanalah Supardi terpesona pada bunyi lonceng gereja. Akhirnya, ia bertemu Pastor Paroki Rolf Reichenbach SS.CC yang memberikan pelajaran agama  dan membaptisnya pada tahun 1972, dengan nama baptis Robertus.  Kemudian pada tahun 1976, ia dilantik menjadi katekis dan membantu pelayanan pastor untuk turne ke stasi-stasi dengan menggunakan boat melewati sungai-sungai.

Ia bertemu dengan Sri Rahayuningsih ketika mereka bersama-sama menjadi pembina Pramuka di Jakarta. Ia menikah di Kediri, lalu kembali ke Tanjung Pinang, setelah anak kedua lahir. Supardi hijrah ke Jakarta pada tahun 1987 dan lahir anak ketiga, Purboyo Diaz, lalu menyusul anak keempat.

Pada tahun 1990, Supardi pertama kali memboyong keluarganya pulang ke Klaten untuk bersilaturahmi. Selama merantau, ia tidak pernah pulang kampung sehingga ia pernah dianggap telah meninggal oleh keluarganya di Klaten karena lama tidak ada kabar beritanya.

Selama menetap di Jakarta, setiap Senin hingga Jumat, ia bekerja di Mabes TNI – Angkatan Laut di Cilangkap. Lalu, Sabtu, ia mengajar agama Katolik di  SMAN 91 Jakarta Timur, dan Minggu, ia  menjadi katekis di Paroki Jatiwaringin Gereja Leo Agung. Selain itu, ia pernah juga menjadi prodiakon, sementara sang istri aktif di kelompok Karismatik.

Walaupun hanya sebentar mengenal sosok ayahnya, Supardi berusaha menjadi ayah yang bertanggung jawab. Ia sangat keras mendidik anak-anaknya sesuai pengalaman dan perjuangannya sewaktu merantau. Baginya, ketekunan dan kejujuran sangat penting. Ia tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk menjadi juara kelas, namun ia memberi uang jajan lebih kalau ada yang mendapat nilai bagus. Hal itu memacu anak-anaknya untuk berprestasi.

Hal kedua adalah kebebasan anak-anaknya memilih cita-cita. Baginya, yang terpenting adalah tanggung jawab atas pilihan masing-masing.

Hingga kini pada usia 70 tahun, Robertus Supardi tetap menjaga pesona bunyi lonceng gereja di dalam hatinya. Ia tetap setia mengendarai motornya, mengajar agama Katolik karena kecintaan dan tanggung jawabnya terhadap pendidikan iman anak-anak Katolik di sekolah negeri yang sering terabaikan. Meski sudah pensiun dan tidak mendapat gaji lagi, bukan halangan baginya untuk terus mengajar.

 

Ada Waktu Senang, Ada Waktu Susah

Salah satu pengalaman saya sebagai desainer interior ketika mengerjakan sebuah proyek rumah tinggal.  Pemiliknya adalah sepasang suami-istri berusia sekitar 70 tahun. Mereka tinggal berdua saja sementara anak-anaknya menetap di luar negeri.

Dari proses konstruksi hingga memasuki tahap finishing, berlangsung sekitar dua tahun lebih karena sang suami merencanakannya sedetail mungkin untuk menjadi rumah terakhirnya. Sementara istrinya ingin cepat-cepat selesai supaya mereka bisa pindah ke rumah baru.

Kemudian terjadi ketegangan di antara mereka. Kerumitan timbul karena sang istri minta pekerjaan furniture harus selesai sebelum Lebaran. Saya tidak menyanggupi karena pada waktu itu menjelang pilpres antara Jokowi dan Prabowo, tukang-tukang pasti akan pulang kampung untuk ikut pemilu, setelah itu masuk masa puasa.

Sang istri tetap memaksa dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Akhirnya, dengan berat hati dalam meeting sore itu saya mengundurkan diri.  Sedihnya bukan main karena setiap proyek yang saya kerjakan ibarat anak yang saya asuh. Sebagai manusia, ada ego menjadi bangga akan pencapaian atas hasil kerja keras mengunjungi dan menata proyek itu setiap minggu selama dua tahun lebih.

Karena mengundurkan diri maka kami harus mengembalikan tanda jadi untuk pekerjaan yang belum dilaksanakan. Padahal dananya sudah dibelanjakan untuk material dan bahan.  Jumlahnya cukup besar.

Pada saat masuk ke mobil dengan perasaan berkecamuk, tiba-tiba Blackberry saya berdenting. Saya baca dan ternyata ada broadcast dari Bruder Petrus. Bunyinya demikian: ”Ada waktu senang, ada waktu susah. Ada masa panen, ada masa paceklik, tetapi semua masa harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.”

 

Saat membaca teks itu, saya seperti disadarkan untuk lebih pasrah menerima hal  tersebut. Sampai di rumah, seperti biasanya kalau ada peristiwa yang menyenangkan maupun persoalan berat, saya akan berdoa di samping tempat tidur  untuk mengucap syukur atau memohon jalan keluar dan kekuatan dari Tuhan.  Oleh karena semua proyek lain sedang berjalan maka dana harus cukup untuk mendanai proyek itu masing-masing.  Saya minta waktu beberapa minggu untuk mengembalikan dana tersebut kepada owner, dan disetujui.

Selama seminggu saya tetap bekerja seperti biasa dan tetap berdoa. Lalu, teks BB dari client lain masuk yang mengatakan bahwa karena akan lama berada di luar negeri maka pekerjaan yang belum selesai dan sedang kami kerjakan akan dilunasi dulu.  Saya terkejut, tidak percaya! Seumur-umur dalam pengalaman saya bekerja di bidang ini, semua client hanya akan membayar 50% saja sebagai downpayment. Tidak ada yang akan melunasi 100% kalau pekerjaan belum selesai. Sungguh Tuhan bekerja dengan cara dan waktu-Nya. Akhirnya, dana tersebut dapat kami gunakan untuk pengembalian proyek yang batal kami kerjakan itu sambil menunggu proyek lain yang akan selesai.

Ternyata, rahmat Tuhan tidak berhenti sampai di situ. Oleh karena proyek yang batal itu maka saya punya kapasitas untuk menerima satu proyek lain lagi. Tidak lama setelah satu masalah terurai atas bantuan-Nya, tiba-tiba ada teman menelepon dan meminta saya untuk mengerjakan kantor di perusahaan dia bekerja. Proyek kantor itu cukup besar.

Apakah semua itu hanya suatu kebetulan saja?

Hanya dengan kepekaan iman, kita akan tahu bahwa semua itu terjadi karena campur tangan Tuhan. Keep The Faith!

Venda