“UUH, namanya juga lansia. Jalan-jalan pun disia-siakan!” keluh Opa Ben sambil memegang lututnya.

Cucunya, Philo, dengan ogah-ogahan menghampiri opanya.

Seru Opa, “Philo, lihat tuh. Opa ‘kan mau jalan santai, mengapa kau berjalan cepat-cepat kayak mau adu lari saja? Nih, lutut Opa ngilu semua…auww.”

“Ehm… kalau boleh saya pijat lutut Oom?”

Tiba-tiba, seorang pria bertubuh atletis muncul.

“Nama saya, Sam. Dulu saya atlet sprinter, jadi sedikit-banyak tahu cara memijat.”

Opa Ben menyambut tawaran Sam dengan sukacita.

“Oh boleh. Terima kasih banyak, Sam.”

Dengan gesit, Philo menyambar sebuah bangku reyot dari pinggir pantai itu. Ternyata, Sam adalah umat paroki sebelah.

Takjub memandang laut pada pagi hari itu, pikiran Opa Ben menerawang.

“Karya Tuhan sungguh dahsyat. Lihatlah indahnya ombak- ombak yang saling bekejaran, suara deburannya pun memantulkan irama mempesona,” ucapnya.

“Iya Oom,” timpal Sam. “Allah dengan segala kebesaran -Nya senantiasa menciptakan dengan baik adanya dan Dia hadir melalui dan bersama ciptaan-Nya.”

Sambung Opa, “Cuma kadang-kadang kita tidak menyadari keberadaan -Nya walau sedekat apa pun seperti kedua murid yang menuju Emaus itu.”

Sambil terus memijat, Sam berkata, “Oom, dulu saya pernah menjadi penentang Tuhan.”

Opa terlonjak. Tak sengaja lututnya menyodok dada Sam.

“Ugh!” suara Sam tertahan.

Philo mesem-mesem.

Opa berkata gugup, “Oh sorry. Tapi, benarkah itu?”

“Benar, Oom. Bermula ketika kios ayah saya di pasar terbakar, lalu kakek saya kena stroke dan saya sendiri mengalami kecelakaan naik sepeda motor sehingga tulang kaki retak. Padahal saya harus mewakili perguruan tinggi saya dalam Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional yang akan datang dalam cabang atletik. Saya kecewa dan marah kepada Tuhan. Adilkah Tuhan, padahal keluarga saya termasuk rajin beribadah? Manakah kasih-Nya itu? Mengapa Tuhan tidak menyelamatkan kami? Sejak saat itu, saya mogok pergi ke gereja dan segala kegiatannya. Unek-unek itu saya lampiaskan kepada teman akrab ketika menjenguk di rumah. Dia mengatakan bahwa musibah atau kecelakaan bukan rancangan Tuhan. Rancangan -Nya adalah damai sejahtera. Hampir semua musibah disebabkan oleh faktor manusia. Saya disarankannya untuk mendekat kepada Tuhan dengan rendah hati untuk mohon pertolongan.”

“Benar Sam,” sahut Opa. “Tuhan tidak mengendalikan kita seperti robot berdaging, tetapi Ia memberi kemerdekaan untuk bertindak kepada kita. Namun, kadang- kadang manusia ceroboh, egois, sombong, dan tergoda bujukan iblis untuk melakukan yang buruk.”

Sam melanjutkan, “Akhirnya, saya dapat memahami. Suatu malam, saya lapar berat dan ingin sekali makan bakmi. Tapi, lama menunggu, tak ada penjual bakmi yang lewat. Maka, saya pergi ke warung bakmi di pasar dan di situ saya makan kenyang. Tiba- tiba, saya tersadar bahwa untuk menemukan Tuhan, saya harus mencari-Nya. Tuhan sudah lama menunggu saya untuk menghampiri-Nya. Selama ini saya sangat khawatir tidak dapat ikut POMNas mengingat kondisi kaki yang belum sempurna. Lalu, saya mulai hadir dalam perayaan Ekaristi lagi, berdoa dan merenungkan Kitab Suci.”

“Sam, St. Pio mengatakan bahwa dalam Kitab Suci kita mencari Tuhan dan dalam doa kita menemukan-Nya, karena doa adalah kunci yang membuka hati Tuhan. Sedangkan, menurut St.Theresia dari Avila, berdoa adalah berdialog dengan Sahabat yang mencintai kita. Berdoa yang benar adalah jika kita mempunyai kesadaran akan kehadiran Tuhan di situ. Cara lain untuk bersatu dengan Tuhan yaitu dengan bermeditasi, berpuasa, dan merayakan Ekaristi.”

Sam mengagumi Opa Ben.

“Tepat sekali, Oom. Akhirnya, saya harus ikut juga lomba lari 200 m walaupun saya was-was karena kondisi kaki seperti itu. Sebab dalam lari jarak pendek, yang dibutuhkan adalah kecepatan. Maka, ketika saya lari beberapa meter, kaki terasa kaku dan ngilu sehingga saya panik. Namun, tiba- tiba, saya ingat Yesus. Diam-diam saya berdoa kepada-Nya dan berfokus hanya kepada Yesus, bukan kaki. Lalu, saya merasakan seperti Yesus ikut berlari di samping saya. Langkah terasa ringan dan tak merasakan sakit. Akhirnya, saya berhasil menyusul dan menjadi juara kedua. Haleluya!” Sam menghentakkan tangannya dengan semangat.

“Aduh!” teriak Opa karena lututnya terpukul kepalan Sam.

Sorry, sorry, Oom,” buru- buru Sam mengurut lutut Opa.

“Satu-satu,” celetuk Philo.

Opa dan Sam tersipu.

Tapi, Opa Ben mulai lagi.

“Jadi, Tuhan menyelamatkan kita bukan omong kosong atau gosip. Sebaliknya, kita pun dituntut untuk menolong Tuhan.”

Philo menginterupsi, “Ha, Opa gak salah ? Apa Opa lebih super dari Tuhan?”

Opa membalas, “Ah, kau ini, dengar dulu. Ibu Teresa selalu melihat wajah Yesus setiap kali ia melihat orang menderita, lalu ditolongnya. St. Theresia dari Avila berujar agar kita belajar untuk melihat Tuhan dalam setiap seluk-beluk kehidupan, sebab Tuhan ada di mana- mana…. Wah, matahari sudah mulai naik, ayo kita cabut saja. Terima kasih banyak, Sam. Eh Philo, nanti kamu harus tuntun Opa ya.”

Philo mengangguk. Tapi, belum rapat bibir Opa Ben, Philo sudah bersuara, “Oom Sam, waktu pulang nanti, ajari Philo teknik berlari ya.”

Opa Ben kesal.

“Apa? Kamu ‘kan harus menuntun Opa. Ajari berlari? Pantasnya kamu mau lari dari tanggung jawab, heh!”

Sam tertawa. Philo pura-pura bego.

Ekatanaya