Lahir : Jakarta, 9 Februari 1984

Tahbisan : Gereja St Arnoldus Janssen Bekasi, 25 Januari 2013

Karya di Paroki Sathora : 2014 – 2018

Romo Aldo dibesarkan dalam keluarga sederhana, perpaduan Jawa dan Batak. Ibunya, Theresia Silalahi, pernah hidup di biara selama dua tahun karena ingin menjadi suster. Ayahnya bernama Johan Haryanto.

Untuk meniti panggilan hidupnya, Aldo haruslah mengambil keputusan. Jika selama ini, Aldo selalu berusaha menaati orangtuanya, tiba saatnya ia terpanggil untuk taat pada panggilan Tuhan. Dan itu harus melalui proses perjalanan yang panjang. Aldo kecil sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap Gereja. Ia paling senang duduk di depan, supaya bisa mengikuti  perayaan Ekaristi lebih jelas dan berdoa dengan lebih baik. Pada suatu malam Natal, ada pergelaran konser dari Orkestra Seminari Wacana Bhakti di Cijantung. Aldo sangat kagum  menyaksikan konser tersebut. Maka, setelah lulus SMP, Aldo memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Seminari Wacana Bhakti. Ini semata-mata karena ia ingin belajar musik orkestra di sana.

Bersama seorang teman SMP-nya, ia mengikuti tes dan wawancara. Ternyata, mereka berdua diterima. Ada 26 orang seminaris yang diterima termasuk Aldo. Lantaran motivasinya hanya untuk belajar musik, maka tidak ada beban yang berarti bagi Aldo. Setelah satu tahun, teman-teman yang pada mulanya ingin menjadi pastor mulai berguguran. Sedangkan Aldo yang hanya sekadar ingin belajar musik malah tetap bertahan.

Setelah lulus dari Wacana Bhakti, Aldo harus mengambil keputusan lagi: Melanjutkan kemana? Ke Don Bosco atau ke Projo? Akhirnya, keputusannya masuk Projo Jakarta. Tahun pertama masih biasa-biasa saja. Tahun kedua, ketiga, dan seterusnya tantangan dan perjuangan terus mengalir. Hidup berkeluarga adalah panggilan. Hidup selibat menjadi imam juga panggilan. Hidup seperti ini merupakan tantangan dan godaan. Hidup harus selalu mengambil keputusan, dari satu keputusan ke satu keputusan berikutnya.

Sebelum keputusan akhir, Frater Aldo harus menghadapi kekecewaan dan kegalauan hati. Bahkan, ia sempat tiga kali mengundurkan diri dan mengubur dalam-dalam panggilan imamatnya. “Panggilan ini membuat saya tidak berkuasa atas hidup saya sendiri.” Demikian hatinya berbicara. Akhirnya, pada 25 Januari 2013, ia ditahbiskan oleh Uskup di Gereja St Arnoldus Janssen Bekasi, bersama delapan diakon lainnya. Ia memilih semboyan “Menjadi Imam : Mengikuti Yesus Lebih Dekat.” 

Setelah ditahbiskan, Pastor Aldo mendapat tugas perutusan ke Papua selama enam bulan. Kemudian ia menjadi Pastor rekan di Paroki Yakobus Kelapa Gading, Jakarta selama sembilan bulan. Sejak awal Juni 2014, Pastor Aldo bertugas di Paroki St. Thomas Rasul.