Oleh Joan K. Assi

DIA datang membawa aroma sengak. Aku langsung dapat mengendusnya begitu bunyi ketukan sepatunya terdengar di ambang pintu.  Dan bau sengak itu langsung menyesakkanku. Sengaja kutunggu perjumpaan hari ini setelah 30 tahun menanti.

Aroma wangi itu tak pernah kuhirup lagi semenjak usiaku enam tahun. Luapan kegembiraan dalam keluargaku  pada hari itu  terasa berbeda dari biasanya karena ia naik jabatan dalam pekerjaannya. Aku dan kakakku dimanjakannya bagaikan putri dan pangeran. Hubungan dalam keluarga kami semakin rekat. Namun, aroma wangi itu tak bertahan lama.  Hanya  satu bulan saja dan semuanya berubah perlahan-lahan.

“Maaf, aku sibuk di kantor. Semuanya demi keluarga.”  Alasan dia sering pulang larut malam. Ibu percaya.  “Jabatan yang  lebih tinggi tentu tanggung jawabnya  harus lebih besar. Jadi, Ayah harus kerja lebih keras lagi. ”

Tetapi, menurutku, ini sudah kebablasan.   Bagiku, ini  masalah besar karena kami seperti dicampakkannya.Tak ada lagi sisa kehangatan dan kebersamaan. Ia sudah kehilangan perhatian.

Berdosakah aku bila kesesakan ini  berubah menjadi kebencian?  Entah dari mana,  seperti ada ular berbisa dalam ragaku yang memuntahkan racunnya ke dalam otakku.  Aku ingin melepaskan diri agar aku tak menghirup bau apa pun. Namun, yang ada malah aroma sengak. Salahkah aku  jika kebencian ini akhirnya memuncak?  Dia seakan menjadi orang asing karena sering tak pulang ke rumah.  Bahkan pada hari Minggu kami pergi ke gereja tanpa dia!  Ibu sudah tak mempercayai alasannya lagi.

Aku tak mungkin lupa akan matanya yang tajam, garang, dan merah memelototi ibu ketika mereka bertengkar hebat sebelum akhirnya dia menghilang tanpa jejak.  Bahkan ia meninggalkan pekerjaannya.

Sebagai gantinya, kami harus menghadapi teror debt-collector yang membuatku gemetar sepanjang hari. Ibu tak mengerti untuk apa  dia  mengambil kredit sebesar itu dari sebuah bank kalau dia tak sanggup membayar cicilannya.

Hati kami hancur ketika kami bertiga terpaksa meninggalkan rumah kesayangan kami dan pindah ke rumah kakek.  Rumah itu yang kami huni sekarang karena rumah kami dijadikannya agunan.  Sambil membantu nenek yang berbisnis katering sejak kakek pensiun, ibu  berkonsentrasi mendidik aku dan kakakku, Philip, sampai kami mandiri dan menikah.

Hari ini, ular yang melingkar di dadaku berbisik,  Ada cara yang lebih menyakitkan untuk membalas dia dari sekadar marah-marah. Yaitu, marah dalam diam. Mengacuhkannya dan menganggapnya tidak ada untuk waktu yang lama,  pasti akan menyiksanya. Kutunggu dia.  Aku siap menantang tajam matanya tanpa berkata-kata!

Nah… pintu berderit. Wajah itu muncul dari balik pintu. Tapi, aku jadi tersentak !

Ternyata, yang kuhadapi  adalah seorang tua yang lemah dengan sinar mata kosong dan redup. Dia bingung mengamati seisi ruang tamu. Aku sempat menangkap sekilas kilatan cahaya di matanya. Tapi  ketika  menatapku, dia kembali linglung.

“Celly, ini Ayah datang.”

Philip menoleh ke arahku. Aku masih mematung. Rupanya orang tua itu tak mengenali daku maupun Philip yang baru saja menjemputnya dari panti jompo. Mungkin karena perjalanan waktu yang lama dia tak mengenali kami lagi. Akan tetapi, bukan hanya itu saja. Jiwanya kelihatan terguncang!

Mata orang tua itu kembali mengitari ruangan. Rupanya dia sudah mengenali tempat tinggalnya dulu sebelum membeli rumah sendiri.

Aku berbisik kepada Philip, “Kak, siapa yang memasukkan dia ke panti jompo?”

Philip menjawab dengan berbisik pula, “Katanya, istrinya yang di Depok.”

Ular di dalam dadaku mematuk. Perih sekali!

Philip menambahkan, “Perawatnya berceritera bahwa ayah sering mengigau dengan nada marah. Katanya, dia sudah membelikan perempuan itu rumah mewah di Depok dengan pengorbanan besar. Tapi, ia dibalas dengan perselingkuhan dan pengucilan. Terjawablah sudah untuk apa kredit sebesar itu!

Ayah shock dan depresi. Lalu, dia dipecat dari pekerjaannya. Kejaran debt- collector, rongrongan perempuan itu, PHK, dan perselingkuhan menjadikannya seperti sekarang. Maka, panti jompo adalah solusi yang mudah bagi perempuan itu terhadap manusia yang sudah tak berguna lagi. Ayah tak pernah dijenguknya walaupun tetap dibiayainya. Celly, Tuhan telah mengembalikan ayah kepada kita untuk dirawat. Kalau bukan karena rencana-Nya, tak mungkin temanmu, Serge, menemukannya ketika Legio Maria-nya melakukan baksos di panti jompo itu. ”

Perasaanku tak menentu. Puaskah aku karena dia sudah menerima “karma”-nya?  Atau  malah kasihan?  Ular itu mendesis-desis, membujuk-bujuk. Aku harus bergulat melawannya.

Suara Philip menyentakku.  “Celly, ayah sebaiknya tinggal di sini ya? Eeh… kamu segan? Anak perempuan lebih bisa merawat ayahnya ketimbang menantu perempuan di rumahku.”

Masuk akal juga. Tetapi apakah ini cuma akal-akalan Philip supaya gap antara aku dan orang tua itu tersambung kembali ? Aku memang punya cukup waktu karena setelah ibu meninggal, aku berhenti bekerja dan mengambil alih usaha kateringnya.

Terdengar ribut-ribut di luar. Kedua anakku, Yosafat dan Ribka, baru saja pulang sekolah. Celotehan mereka terhenti ketika melihat sosok asing teronggok di sofa. Orang tua itu menoleh ke arah mereka. Tak kusangka mata redupnya tiba-tiba berbinar. Dengan  terhuyung, dia menghampiri anak-anak. Kedua bocah itu ketakutan. Ribka berlari ke belakangku tapi Yos tidak berdaya karena tangan kanannya sudah tertangkap orang tua itu.

Tiba-tiba, ia bersuara, “He he Philip, nanti main sama Ayah, ya!” Ia membelai rambut Yos.  Aku dan Philip saling berpandangan.  Philip segera meralat. “Ayah, Philip itu saya. Ini Yosafat, anak Celly,  dan itu Celly.”

Tapi, dia tak mengerti.  Kemudian dia memandang Ribka, melambaikan tangannya dan cetusnya,  “Eh, sini Celly!  Ayah kangen ingin memelukmu.”

Ribka makin erat memelukku. Aku ingin berkata tapi dicegah Philip.  ” Ssst, biarkan dulu,” katanya. Kuamati kedua anakku. Yos memang mirip Philip dan Ribka mirip aku waktu kami seusia mereka. Waktu yang terhenti saat itu,  hari ini seakan tersambung kembali. Tiba-tiba, dia memandangku lalu berseru,  “Eh kamu!  Nanti ajak anak-anak ini bermain di lapangan, ya!”

Ular di dalam dadaku meronta. Aku disangka Suster Diah, pengasuh kami dahulu. Aku sibuk menjinakkan ular itu. Harus sabar dan panjang usus!

Hari pertama, aku masih canggung campur dongkol atas ulah orang tua itu. Suamiku, Greg, membantuku dengan sabar. Orang tua itu menyuruhku membelikan coklat dan wafer yang dulu menjadi kesukaanku dan Philip. Atau mengajak mereka bermain di dunia anak-anak di dalam mal, bahkan sampai minta diantar ke kebun binatang.  Namun, ketika ia bersikeras ingin ikut mengantar anak-anak ke sekolah,  aku jadi mengernyitkan dahi karena takut ia berulah di sana.  Sekolah anak-anakku berbeda dengan sekolah kami dahulu. Mendengar itu Philip terbahak.

Katanya, “Celly, Tuhan telah memberi jalan ini. Memang hari pertama di sekolah, ayah pasti bingung.  Tapi kalau dilakukan berulang kali, mungkin lama-kelamaan pikiran ayah pulih kembali. Suasana sekolah dan guru-gurunya yang berbeda perlahan- lahan akan mengembalikannya ke dunia nyata, bukan dunianya sendiri. Ayah harus dipaksa menghadapi realita.”

“Tapi, dia masih tidak mengenali kami!” sanggahku.

“Celly, coba amati. Di dalam lubuk hatinya, ayah menyesal dan berusaha memutar waktu untuk kembali ke masa anak-anak kita. Beliau sebenarnya ingin memperbaiki kesalahannya dengan membayar hutang walaupun salah waktu dan sasaran. Prioritasnya ialah membahagiakan anak-anaknya dengan menunjukkan kasih sayangnya. Melepaskan rasa berdosa yang mengganjal di hatinya. Cobalah kamu melihat dari sudut ayah, jangan dari sudut pandangmu sendiri yang subjektif. Berhentilah memanggilnya “dia”. Panggillah dia “Ayah” dengan tulus dan sering-seringlah menyebutkan namamu di hadapannya. Kasih sayang kita adalah kekuatan untuk memulihkannya. Ampunilah beliau dan doakan ayah. Mohonlah agar Tuhan mengampunimu dan ayah.”

Lanjut Philip serius, ” Celly, kuharap nanti sebelum Masa Pra Paskah kamu sudah berhasil memperbaiki dirimu dan mencintai ayah kembali.”

Aku mengangguk.

Kepala ular dalam ragaku harus kuinjak hingga lumat.

Swear!