“Firman itu telah menjadi manusia, diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaanNya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14).

 

Firman itu telah menjadi manusia

Yang Kudus menjelma menjadi manusia. Akibatnya, manusia menjadi kudus. Saya kudus, Anda kudus, kita semua menjadi kudus karena Yang Kudus menjelma di dalam hidup kita, manusia. Kesadaran akan kehadiran yang kudus di dalam diri kita sangatlah penting dan kita ingat terus-menerus dalam setiap kata dan perbuatan.

 

Diam di antara kita

Bahasa Indonesia membedakan antara kata “ada” dengan “hadir”. Ada hanya dipakai untuk benda, misalnya kursi, batu, dan sebagainya. Sedangkan hadir digunakan untuk sesuatu yang hidup dan bisa berkomunikasi dengan kata atau tanda.

Ada banyak orang di mal  tetapi mereka tidak hadir karena tidak ada komunikasi. Pada saat seseorang memanggil nama kita, kita merasakan kehadiran seseorang yang menyapa dan mulailah terjadi komunakasi.

Tuhan diam, hadir, dan tinggal di tengah kita. Tuhan tidak sekadar ada tetapi Dia hadir. Di sini Tuhan mau berelasi dan berkomunikasi dengan kita. Dia menyapa, mendengarkan, berbicara, mengenal, bahkan mengasihi kita. Dia bukan “Deus otius”, Tuhan yang menganggur, membisu, hanya menjadi penonton dan tidak terlibat apa pun dalam kehidupan kita.

Sebaliknya, Tuhan yang hadir membutuhkan tanggapan kita, sapaan kita, kita dengarkan, kita kenali dan cintai. Maka, kehadiran Yang Kudus memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan-Nya.

Dalam paham lama, kehadiran Yang Kudus dirasakan sangat jauh dan tak terjangkau. Kemudian berkembang, Yang Kudus hadir di dalam Kemah Kudus, Bait Allah. Kita masuk ke zaman baru, yaitu zaman kekudusan. Penghayatan akan kehadiran Yang Kudus di tengah kita, mengubah seluruh peradaban manusia, seperti  pola hidup, pola pikir, pola tutur, pola tindak, pola budaya, komunikasi, relasi, dan seterusnya.

Allah adalah Allah yang beserta kita. Dengan demikian, kita dijadikan kudus. Orang kudus, keluarga kudus, komunitas kudus, masyarakat kudus, dan budaya kudus.

 

Komunitas Kita, Komunitas Kudus

Ketika Yang Kudus tinggal di tengah kita maka relasi kita diwarnai oleh kekudusan. Komunitas kita menjadi komunitas kudus. “Dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, Aku hadir di tengah-tengah mereka”. Komunitas kudus adalah komunitas Adam dan Hawa sebelum jatuh ke dalam dosa. Mereka hidup dalam keadaan “telanjang”. Ketelanjangan di sini tidak berarti fisik tetapi telanjang dalam arti kehidupan; berani tampil apa adanya. Tidak menyembunyikan kelemahan karena mereka menerima satu sama lain, tidak menilai dan tidak mengadili.

Setelah mereka jatuh ke dalam dosa, mereka malu, takut kepada Tuhan, dan bersembunyi ketika mendengar langkah kehadiran Yang Kudus. Komunitas kudus diwarnai oleh penerimaan, bukan ketakutan.

Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas dipenuhi oleh ketakutan sehingga menyembunyikan kelemahan. Mereka bertopeng, membangun tembok, dan membuat syarat-syarat dalam menerima sesamanya. Akhirnya, dalam komunitas terjadi  topeng ketemu topeng, tembok ketemu tembok. Kita merasa asing satu sama lain, tidak aman, bahkan sering tertolak.

Saya hanya mau menerima orang lain kalau hobi, ide, agama, suku, pandangan, paham, dan level mereka sama. Menyedihkan sekali. Tetapi, inilah kenyataan bila ketakutan melanda hidup kita.

Herodes mencari Dia untuk membunuhnya karena takut tersaingi. Satu-satunya komunitas yang membuka diri bagi kehadiran-Nya adalah komunitas orang-orang sederhana, komunitas para gembala.

 

Kita merindukan komunitas kudus, di mana akan terjadi komunikasi dari hati ke hati, merasa aman karena saling menerima dan bukan topeng ketemu topeng. Komunitas kudus ditandai dengan sikap berani menerima apa adanya. Itu berarti kita harus menanggalkan atribut-atribut yang ada, melepaskan topeng, merobohkan tembok dan syarat-syarat yang dibuat.

Dari mana kita memulainya?

Langkah pertama dimulai dengan menyadari Kasih Allah yang begitu besar dalam hidup kita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal”.

Tuhan mencintai kita dan menjadikan kita kudus, dicintai dengan cinta Tuhan. Cinta manusia selalu bersyarat, tetapi cinta Tuhan tanpa syarat. Menyadari kehadiran Yang Mahakudus berarti kita menyadari bahwa hidup itu berharga, karena Yesus hadir di dalam diri kita.

Dalam rasa syukur yang besar, kita menyambut kehadiran Tuhan yang menjelma di dalam diri kita. Kita tidak memerlukan atribut-atribut untuk menjadikan hidup berharga. Kasih Allah membuat kita berharga, mulia, dan terhormat.

 

Langkah kedua adalah menjumpai orang lain dengan sikap yang sama seperti saya bersikap terhadap diri sendiri. Sebagaimana Yang Kudus hadir di dalam hidup kita maka Ia pun hidup di dalam diri orang lain. Mereka berharga bukan karena sukses, terkenal, cantik, ganteng, kaya atau berpengaruh, tetapi karena Yang Kudus berdiam di dalam mereka.

Dengan semakin menghargai Yang Kudus di dalam diri kita, maka kita juga akan menghargai orang lain. Rahasia Ibu Teresa dapat melihat Yesus di dalam diri mereka yang menderita adalah karena ia mampu melihat Yesus hadir di dalam dirinya.

Semakin miskin seseorang, semakin nyata Yang Kudus di dalam diri mereka. Kudus yang penuh dengan pengampunan dan penerimaan. Komunitas kita, komunitas kudus yang menghormati satu sama lain.

Langkah ketiga adalah merobohkan syarat-syarat yang dibuat dengan jalan mengampuni. Kita sulit menerima seorang sahabat karena membuat suatu syarat. Kita sulit mengampuni bila sahabat melanggar syarat yang kita buat. Kecenderungan tidak mengampuni, bahkan menilai, mengritik atau mengadili mencerminkan ketakutan dan cinta bersyarat. Yang Kudus di dalam diri kita menghendaki agar kita terus-menerus mengampuni.

Komunitas kita, komunitas kudus, Maria, Yusuf, dan para gembala menyambut bayi Yesus dengan rasa syukur. Kesulitan merayakan Natal dikarenakan kita sulit menerima sahabat, sulit mengampuni, sulit memahami topeng, tembok atau syarat yang mereka kenakan.

Langkah keempat adalah mau mengubah pola pikir dengan memahami apa yang kita tolak. Mulanya, Maria sulit menerima warta gembira karena ia sulit memahami. Ia bertanya, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi?” Malaikat pun menerangkan bahwa Roh Kudus akan turun atasmu, sehingga bayi yang lahir akan disebut: Yang Kudus Anak Allah.

Yusuf pun sulit menerima bahwa Maria tiba-tiba mengandung. Ia menolak dan dengan diam-diam akan meninggalkan Maria, tunangannya.  Tetapi, Tuhan berbicara kepadanya lewat mimpi dan pahamlah Yusuf akan rencana Allah.

Dalam setiap hal yang sulit kita terima, kita cenderung menyalahkan orang lain, mencari dukungan bahwa kita benar dan berharap orang lain harus berubah. Dalam hal ini, kita diajak untuk mengubah diri, mengubah pemahaman tentang peristiwa yang sulit diterima secara terus-menerus.

Langkah kelima adalah memiliki pemahaman baru bahwa ada rencanaTuhan di balik semua peristiwa yang terjadi. “Tuhan, ajarilah kami mengenali rencana agung keselamatan-Mu yang seringkali sulit kami pahami. Engkau yang Mahabijaksana, kirimkanlah Roh Pengetahuan dan Roh Kebijaksanaan kepada kami. Ajarilah kami dapat memahami rencana-Mu di balik peristiwa yang sulit dipahami, sulit diterima, sulit diampuni, bahkan melukai batin. Jadikanlah komunitas kami komunitas kudus, komunitas penyembuhan yang penuh pengampunan, penerimaan, dan tempat yang aman bagi hati untuk berlabuh.”

Frans Herris Sumardjo