Sore ini aku merasa bahagia sekali karena nanti malam kami akan merayakan pesta 25 tahun usia perkawinan kami. Pesta Perak.

Aku pandangi suamiku dengan penuh rasa cinta. Ah… tak terasa seperempat abad sudah kami hidup bersama dan dikaruniai tiga orang anak. Kami sangat bahagia. Tidak pernah sekalipun kami ribut bertengkar. Andi adalah suami yang sangat baik dan penuh pengertian.

Sore ini aku sengaja pergi ke salon terkenal. Aku ingin nampak cantik di mata suamiku dan tentunya juga di mata para tamu yang hadir nanti.

Gaun indah dan mahal sengaja kubeli untuk pesta nanti malam. Aku mau menunjukkan pada suamiku, bahwa aku ini masih cantik dan menarik, agar dia lebih mencintaiku lagi.

Aku jadi teringat masa-masa ketika aku baru mengenalnya. Andi lelaki yang tampan, baik dan menarik. Ia adalah pegawai kepercayaan ayahku.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika aku mulai bekerja di perusahaan ayahku, setelah lulus S2 di Amerika.

Ayahku sendiri yang memperkenalkan Andi kepadaku. Jantungku berdegup kuat ketika dia menatapku. Ada perasaan aneh yang aku rasakan. Perasaan ini belum pernah kualami sebelumnya. Apakah ini yang namanya jatuh cinta?

Aku jadi suka padanya. Setiap jam istirahat dia selalu mengajakku makan siang bersama. Dialah yang selalu membayar. Kalau aku menolak, dia berkata, “kamu ‘kan belum gajian.”

Karena sering bertemu kami jadi semakin akrab. Ayahku menganjurkan agar kami menikah saja kalau sudah cocok.

Maka kamipun menikah.

Mas Andi memang orang yang baik dan perhatian. Ditengah kesibukannya bekerja dia selalu meluangkan waktu untuk liburan bersama keluarga.

Aku tersenyum di depan cermin, menikmati betapa bahagianya aku bersuamikan mas Andi yang aku cintai.

Aku tersentak ketika Andi menyentuhku mengajak keluar kamar. Para undangan sudah berdatangan. Sudah waktunya kami harus muncul menyambut mereka.

Kami keluar bergandengan tangan. Para hadirin semua bersorak sambil bertepuk tangan, kemudian menyalami kami.

Beberapa temanku mengatakan bahwa aku cantik sekali. Mendengar pujian itu, hatiku senang bukan main.

Acara tiup lilin dan potong kue diiringi tepuk tangan para tamu, ditambah alunan musik romantis menambah semarak pesta kami. Tidak lupa, Doa Pujian Syukur atas berkat-Nya pada pernikahan kami, serta Doa Sebelum Makan kami panjatkan bersama. Para tamu menikmati sajian makanan dan minuman yang kami sediakan dengan istimewa.

Selesai acara makan, ada acara musik dan berdansa. Andi menatapku mesra ketika mengulurkan lengannya untuk mengajakku berdansa.

Ooh… belum pernah aku menerima tatapan seperti ini! Aku bagaikan seorang putri remaja usia belasan tahun, padahal usiaku sudah menembus setengah abad. Segenap perasaan ini terbang diawang-awang.

“Ya Tuhan…. mengapa baru sekarang aku merasakan keindahan ini?” ucapku lirih.

Akhirnya tibalah saatnya Acara Nostalgia persembahan suamiku. Andi bercerita awal mula perkenalan hingga perkawinan kami 25 tahun yang lalu. Dia memujiku sebagai istri dan ibu yang baik, dan sangat setia pada keluarga.

Betapa kubangga atas pujiannya. Cintaku semakin menghangat, sampai saat Andi menutup kisahnya dengan kalimat, “Setelah dua puluh lima tahun menikah baru kusadar bahwa aku jatuh cinta pada istriku.”

Hah?! Aku terhentak seketika! Curiga, ingin menangis ditambah pikiran buruk benar-benar bercampur aduk.

Tapi bukan Noni namanya jika tidak bisa menyimpan perasaanku. Meskipun dalam hatiku berdarah-darah, namun daku tetap tersenyum.

Penasaranku muncul kenapa baru sekarang Andi jatuh cinta padaku? Jadi sebelum denganku, ia menjalin kasih dengan siapa?.

Pada suatu hari aku minta ijin pada suamiku untuk pergi ziarek bersama teman-temanku.

Sebenarnya aku bukan pergi bersama teman, melainkan aku pergi sendiri ke Singapura, tempat Andi tinggal dan kuliah dahulu.

Semenjak di Sekolah Dasar, Andi sudah harus tinggal di asrama jauh dari keluarga, karena kedua orangtuanya bercerai.

Kutemui ibu asuhnya karena aku ingin tahu cerita tentang masa lalu suamiku.

Ternyata Andi memang punya teman dekat perempuan. Dari kecil mereka sudah bersahabat, selalu bersama, hingga mereka selesai kuliah. Kemudian Andi kembali ke tanah air untuk bekerja, sedangkan sahabatnya itu tetap tinggal dan bekerja di Singapura.

Mereka masih tetap berhubungan sampai Andi memutuskan untuk menikah denganku.

Menurut ibu asrama teman wanita Andi itu tetap sendiri, sampai akhirnya meninggal dua tahun yang lalu karena leukemia.

Masihkah Andi mencintai perempuan itu, sampai-sampai aku baru bisa mengisi hatinya setelah 25 tahun?

Untuk menghapus rasa penasaran kukunjungi tempat penyimpanan abu. Di hadapan gucinya aku berdoa dan meminta maaf karena tanpa sepengetahuanku aku sudah mengambil pria yang dicintainya.

Ada rasa lega setelah aku menangis. Mudah-mudahan dia menerima permohonan maafku dan semoga arwahnya menjadi tenang karena aku mendoakannya.

Setibaku kembali ke rumah, Andi menyambutku dengan senyuman dan pelukan hangat. Sambil bercanda dia bertanya, “Mana oleh-olehnya?”

“Lupa.” jawabku.

Biasanya aku selalu jujur dan terbuka. Tetapi kali ini aku rahasiakan apa yang sudah kulakukan. Aku tak mau suamiku jadi terluka. Toh dia sudah berkata bahwa dia mencintaiku. Rahasia ini akan kusimpan baik-baik tak seorangpun tahu hingga kapanpun.

Pada suatu hari kami pergi berlibur hanya berdua saja. Ada kesempatan buatku untuk bertanya, “Mas, mengapa kau menikahi aku, padahal kau tidak mencintaiku?”

Jawabnya simpel saja, “Karena jodoh.”

Aku sungguh tak puas dengan jawaban itu. Aku terus bertanya dan bertanya hingga akhirnya dia menjawab, “Aku menikahimu karena kamu baik, cantik, dan karena di matamu ada cinta buat aku. Itulah yang membuat aku sayang dan tak tega menyakitimu. Apalagi kamu adalah anak tunggal yang tidak punya saudara untuk berbagi kesedihan. Selain itu, kamu tak punya sahabat. Seandainya aku tidak menikahimu aku takut kamu depresi. Walaupun kamu kelihatan tegar, namun aku tahu sebenarnya kamu rapuh. Aku bisa merasakan itu. Dan…. Diluar itu semua, jawaban yang pasti atas pertanyaanmu adalah kita memang berjodoh,” kata suamiku.

“Ayolah! Kita lupakan yang sudah berlalu. Mumpung kita sedang berdua, mari kita lalui liburan ini dengan sukacita.” Andi-ku tersenyum tapi kulihat ada duka di sinar matanya. Dan akupun membalas senyumannya.

Sepenuh cintaku di hati ini adalah untuk suamiku, walaupun cinta di hatinya tidaklah sepenuh cintaku.

Samaria.