Kesaksian Iman edisi 31

PINTU ITU SELALU TERBUKA UNTUKKU

Sikap Carolina kelihatan tenang-tenang saja di depan ketiga buah hatinya, Veda, Vita, dan Cia (waktu itu Arka belum lahir). Ia berusaha agar anak-anak menjalani hari-harinya seperti biasa. Sekolah, makan, belajar dan bermain.

Veda dan adik-adiknya hanya melihat Carolina sedang mengalungi rosario. Tetapi mereka tidak melihat hati ibunya yang terus menerus mendaraskan doa Salam Maria, dan berseru-seru memohon pada Tuhan agar melindungi suaminya.

Hari itu, Carolina mendapat berita bahwa hotel di Afghanistan tempat suaminya, Pipit Prahoro menginap, meledak karena dibom.

Pipit tak dapat dikontak sama sekali. Hati Carolina betul-betul tak karuan. Tak terhitung berapa kali Carolina menelepon kantor untuk menanyakan keberadaan suaminya. Namun sama saja! Orang-orang kantorpun tidak ada yang berhasil mengontaknya. Semuanya hanya bisa menunggu dan menunggu … sehari…dua hari…tak tahu sampai kapan…

Akhirnya… Carolina menerima telepon dari Pipit sendiri! Pipit memberitahukan bahwa ia baik-baik saja dan sudah mendarat di Jakarta. Ternyata Pipit sudah check out dan meninggalkan hotel itu beberapa saat sebelum bom meledak.

Terima kasih, Tuhann……! Terima kasih Bundaa…!

Coba! Istri mana yang tidak senewen setengah mati selama menanti kabar tak jelas, apakah suaminya selamat atau tidak? Cerita di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak resiko pekerjaan Pipit yang harus dilakoni.

Menjadi istri seorang wartawan, butuh kesanggupan mental tingkat tinggi untuk meredam kecemasan agar anak-anaknya tidak terimbas suasana tak nyaman (baca Sajian Utama, Pipit Prahoro – Pengalaman Menjadi Juru Kamera – BEKERJALAH DENGAN HATI). Carolina tidak ingin anak-anaknya ikut-ikutan kawatir lantaran tahu bahwa pekerjaan ayahnya bagaikan berkejaran dengan maut.

Ayah Carolina berdarah Tionghoa suku Hokian, dan ibunya dari suku Ambon. Meskipun kulitnya berwarna sawo matang, rasa ke-Tionghoa-an keluarga Carolina cukup kental dan masih menghendaki perkawinan sesuku dan seagama.

Ternyata, Pipit adalah cowok kelahiran Boyolali. Karena Pipit adalah orang Jawa, tentu saja hubungan mereka tidak begitu mudah diterima oleh keluarga Carolina.

Akan tetapi mama Carolina melihat Pipit sebagai pemuda beriman Katolik yang taat. “Ya sudah, kalau kamu memang mencintainya, kamu boleh dengan dia. Pipit pasti orang yang baik, kelihatan dari rosario yang selalu dibawanya kemana-mana,” begitu kata Mama.

“Sejak pacaran, saya sudah sering ditinggal-tinggal. Seringkali kami sedang kencan makan berdua, tiba-tiba Pipit ditelepon, ‘ada kejadian di sana…. kau pergilah meliput.’   Maka berangkatlah dia, dan saya jadi sendirian,” cerita Carolina.


Ketika sedang berbulan madu ke Bali tahun 1998.-dok-pribadi.

Rupanya kehidupan Carolina memang benar-benar kehidupan seorang istri wartawan. Karena pada hari mereka menikah terjadi peristiwa kerusuhan di Ketapang, tanggal 12 Desember 1998. Bahkan tempat resepsi pernikahan merekapun berada tak jauh dari lokasi kerusuhan itu.

Profesi Pipit sebagai wartawan juru kamera di Fuji News Network, jaringan berita Fuji TV dan kemudian pindah ke Kantor Berita Reuters sudah cukup mantap. Penghasilan yang berwujud US Dollar benar-benar membuat kehidupan istri dan anak-anaknya terjamin secara finansial.

Namun penghasilan bergengsi itu harus dibayar dengan kecemasan dan aneka pikiran buruk yang terus berkecamuk di benak Carolina disaat suaminya sedang dikirim ke daerah konflik yang ganas, daerah bencana alam yang dahsyat, atau daerah huru-hara yang dipenuhi demonstran brutal lengkap dengan sambitan bebatuan kian kemari.

Setiap Carolina menyaksikan hasil liputan Pipit di televisi, berarti di situlah pria yang dikasihinya sedang mempertaruhkan keselamatannya demi nafkah dan prestasi.

Keadaan ini berlangsung selama 13 tahun masa perkawinan mereka. Pipit mengundurkan diri dari Reuters tahun 2011. Sejak itu ia bekerja menjadi free lance di kantor berita Antara, Al Jazeera, BBC dan perusahaan-perusahaan mana saja yang membutuhkan keahliannya.

Keluar dari Reuters, berarti kehidupan bergelimang dolar berhenti. Carolina harus bisa menyesuaikan diri dengan standar hidup yang baru. Setiap Rupiah yang ada, kini harus dipergunakan sebaik mungkin. Biaya pendidikan anak-anak harus dibantu ASAK (Ayo Sekolah Ayo Kuliah). Bahkan kadangkala tak cukup uang untuk sekedar makan mereka sekeluarga.

Meskipun Carolina sudah mempersiapkan mental sebelum Pipit resmi berhenti bekerja, tetapi realita perbedaan saldo tetap saja terasa membanting. Ia tak memungkiri bahwa pertengkaran sering terjadi.

Keadaan surut ekonomi seperti ini membuka mata hati Carolina, bahwa bila Tuhan berkehendak apa saja, maka manusia tak akan dapat melawan-Nya. Manusia hanyalah sekedar alat di mata-Nya. Di saat manusia mengira dirinya berhasil meraih prestasi cemerlang, sebenarnya Tuhanlah yang berkarya melalui diri manusia itu.

Sibungsu-Arka-sedang-video-call-dengan-Ayahnya.-dok-pribadi.

“Saya sangat tidak setuju bila ada orang berkata, ‘Tuhan sedang memberi cobaan’. Tuhanku adalah Tuhan yang sangat baik. Dia tak mungkin memberi cobaan pada umat-Nya, karena Tuhan sangat mencintai kami. Jadi apabila sekarang saya sedang mengalami kesulitan, ini pasti karena ada kesalahan yang telah saya lakukan,” kata Carolina.

Carolina kemudian merenung, mencari cermin dirinya di masa lalu. Dan ketemulah satu demi satu kesalahan apa saja yang telah diperbuatnya semenjak ia masih muda belia hingga sekarang.

Ketika roda kehidupan sedang berputar ke atas, ia lengah memanfaatkan hari – hari hidupnya agar kemampuan dalam dirinya bisa berkembang. Padahal pemberian Tuhan yang sangat berharga untuk manusia adalah Talenta dan Kesempatan.

“Cermin waktu” telah memberitahukan kesalahannya itu. Maka Carolina bangkit mulai menata diri.

“Saya masih sehat, bisa bekerja dengan segenap tenaga yang ada. Sedangkan kini suami selalu berada di dekat saya. Maka kami sekarang bisa menjalani kehidupan rumah tangga kami ini bersama-sama. Pipit sebagai otaknya, sedangkan saya sebagai tangan dan kakinya,” tutur Carolina sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

Liburan-ke-Bromo-si-bungsu-Arka-masih-dalam-kandungan-tahun-2014.-dok-pribadi.jpg

Menjadi istri Pipit membuatnya memahami apa arti Komitmen Kesetiaan.

Menerima Pipit sebagai suaminya, berarti Carolina harus menerima Pipit apa adanya. Lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam diri Pipit. Lengkap dengan naik turunnya roda kehidupan suaminya. Dikala suami sedang gemilang, istri ikut bersinar. Namun disaat “lampu sorot” sedang redup menyinari suami, istripun ikut merasakan keremangannya.

Sejak muda Carolina punya kebiasaan pergi ke Gua Maria, bersujud di depan Bunda untuk menumpahkan apa saja yang menyesakkan hatinya.

“Dari gua-gua Maria yang pernah saya datangi, saya paling suka ke gua Maria di Katedral ini. Rasanya hati saya damai sekali di situ,” katanya.

Sampai sekarang Carolina masih sering mengunjungi Gua Maria di Katedral. Sepertinya, Bunda Maria selalu tahu kapan anaknya yang satu ini akan menemuinya. Padahal bila hari sudah malam, pagar menuju gua Maria pasti dikunci oleh satpam. Namun entah mengapa Carolina selalu leluasa pergi ke gua itu jam berapapun, bahkan lewat tengah malam. Pintu masuk itu selalu terbuka untuknya!

Dahulu, kebanyakan Carolina hanya seorang diri berlari ke Gua Maria, membawa segala kekalutan hati menunggu kepulangan suami, atau airmata kekesalan karena lingkup aktivitasnya cuma melulu urusan rumah tangga.

Dahulu, ia hanya seorang diri memutar butir-butir rosarionya untuk meredam kecemasan akan keselamatan Pipit.

Kini, dalam doa Carolina, ia memohon restu Bunda agar hatinya senantiasa dipenuhi rasa cinta selama mendampingi suaminya mengarungi bahtera rumah tangga. Ia sudah memahami bahwa kekuatan iman, doa dan cinta tidak akan pernah rusak.

Sekarang, Carolina dan Pipit sering berlutut bersama di hadapan Bunda Maria. Dengan mantap bersatu hati memelihara keempat dara manis karunia Tuhan untuk mereka : Cornelia Anagata Veda Erena (20 tahun), Aloysia Anantara Vita Erena (16 tahun), Regina Ananta Vicia Erena (14 tahun) dan sibungsu Theresia Arkananta Verdia Erena (4 tahun).

Sinta Monika