Sajian Utama MeRasul edisi 31
BEKERJALAH DENGAN HATI
Jumat, 26 September 1997, penerbangan Garuda 152 dari Jakarta ke Medan meledak dan terbakar ketika hendak mendarat di Bandara Polonia. Pesawat yang mengangkut 222 penumpang dan 12 awak pesawat itu menabrak tebing di Buah Nabar, kecamatan Sibolangit kabupaten Deli Serdang, sekitar 32 kilometer dari Polonia.
Pada hari yang sama, Reginus Maria Pipit Prahoro, biasa dipanggil Pipit, bersama tim dari Fuji News Network, jaringan berita Fuji TV, baru selesai meliput tentang kebakaran hutan Riau tersebut. Mereka hendak pulang ke Jakarta, terbang melalui Medan, setelah jalan darat Pekan Baru – Medan.
Pipit, dan Carolina – calon istri Pipit, langsung tercekat begitu mendengar musibah itu. Diketahui pula, diantara 234 korban ada dua wartawan dari kantor berita lain.
Awal Karir
Meliput kebakaran hutan di Riau adalah titik awal Pipit memulai profesinya sebagai wartawan di Fuji TV. Namun waktu itu statusnya masih sebagai juru kamera free lance.
Sebelum berangkat ke Riau, Pipit masih magang di sebuah Production House. Suatu hari ia tiba-tiba dipanggil oleh atasannya yang kebetulan berteman dengan orang Fuji News Network, jaringan berita Fuji TV. Orang Jepang itu sedang mencari kameramen, wartawan penulis berita sudah ada.
Ditawari menjadi juru kamera, Pipit langsung bersedia dan berjanji untuk berusaha sebaik mungkin. Maka jadilah ia ikut tim reporter Fuji TV ke Riau.
Selama dua minggu di Riau, ia tidak hanya belajar menjadi juru kamera saja, melainkan ia juga belajar mengikuti ritme kerja orang Jepang.
Singkat cerita setelah kembali ke Jakarta, Pipit direkrut menjadi kameramen tetap Fuji News Network yang berkantor di gedung Kyoei Prince, jalan Jenderal Sudirman – Jakarta Pusat. Pipit bekerja di Fuji TV dari 1997 sampai akhir tahun 1999.
Pernah Digebuki Ramai-ramai
Setelah tiga tahun di Fuji TV, Pipit pindah ke Kantor Berita Reuters pada awal tahun 2000. Jenis pekerjaannya sama, yaitu sebagai juru kamera.
Kamera yang dibawanya kemana-mana telah merekam berbagai macam peristiwa bersejarah. Bencana alam, bentrokan antar kelompok masyarakat, kejamnya peperangan, dan kerasnya ego manusia.
“Saya pernah digebuki satu regu Brimob di Megaria, sewaktu meliput demo yang menuntut agar Golkar dibubarkan. Peristiwa itu terjadi pada awal saya kerja di Reuters,” cerita Pipit.
“Waktu itu saya sudah diberitahu jangan ambil gambar. Tetapi karena hari sudah gelap, saya tetap menyalakan lampu (kamera). Pas terjadi motor trail Brimob sedang melindas seorang mahasiswa. Salah satu polisi ada yang melihat saya merekam. Ya marahlah dia! Mana sudah capek sedari pagi menghadapi demonstran. Jadilah kamera saya dirampas, saya ditendangi dan digebuki ramai-ramai satu regu…. Bag! Bug! Bag! Bug…! Rasanya yaaa…lumayan!” Kenang Pipit sambil meringis.
“Saya langsung dibawa ke Carolus, di-scan. Puji Tuhan, saya tidak apa-apa.”
Lanjut Pipit, “Berada di medan huru hara, kita harus bisa membaca keadaan lapangan. Para demonstran bergerak kemana, arah batu kemana, dan polisi menggiring demonstran kemana. Kita harus cari posisi yang aman untuk meliput.
Nah… sekarang, kalau keadaan medan sama-sama tidak aman : sama-sama kena batu, sama-sama kena peluru karet dan sama-sama kena gas air mata. Kita pilih kena yang mana? Mau pilih kena timpuk batu, kena peluru karet, atau kena gas air mata? Kita harus bisa memilih sudut yang paling minim resikonya.”
Berdasarkan pengalaman Pipit, wartawan yang akan meliput demonstrasi hendaknya sudah berkenalan menjalin hubungan dengan polisi pagi-pagi sebelum demo dimulai.
“Bila polisi sudah kenal wajah kita, maka dia akan membiarkan kita berada di dekatnya. Jadi kita cukup aman untuk meliput. Secapek-capeknya dia, dia tidak akan kasar pada kita. Paling-paling dia hanya mendorong kita sambil berkata, ‘Minggir!’
Tetapi bila kita datang kesiangan para polisi itu tidak kenal kita. Mereka sudah lelah ditambah suasana semakin memanas, biarpun kita tunjukkan kartu pers, ya tetap saja mereka tidak peduli! Namanya lagi emosi, apa saja yang berada di dekatnya sudah pasti jadi sasaran emosinya. Kamera dibanting, diinjak-injak… Itulah yang disebut Psikologi Lapangan. Keadaan seperti itu adalah wajar,” urai Pipit.
Dahsyatnya Kemarahan Alam
Tentunya Pembaca masih ingat tentang bencana tsunami di Aceh yang terjadi persis satu hari sesudah Natal, tepatnya tanggal 26 Desember 2004.
Tanggal 27 Desember pagi, dari jendela pesawat udara, Pipit tercenung memandangi keadaan Aceh di bawah sana. Pilot sengaja memutar-mutarkan pesawatnya sebelum mendarat.
Semua bangunan sudah hancur diterjang air bah. Air laut merendam puing-puing di seluruh kota Banda Aceh dan sekitarnya terutama di daerah pinggiran pantai. Pemandangan itu begitu memilukan. Ada berapa banyakkah korban jiwa? Sudah pasti puluhan ribu, atau bahkan ratusan ribu?
Menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana bila alam sedang marah, membuat Pipit menyadari, bahwa manusia itu sesungguhnya hanyalah debu di mata Tuhan.
Sebenarnya bulan Desember adalah giliran Pipit berlibur sebagai umat Nasrani. Ia memanfaatkan hari liburnya dengan melakukan Pembaharuan Janji Perkawinan di gereja St. Fransiskus Xaverius – Tanjung Priok bersama tulang rusuknya, Carolina. Mereka menikah tanggal 12 Desember 1998.
Selama misa berlangsung, telepon genggam dimatikan. Selesai misa, telepon dinyalakan kembali dan masuklah pesan berikut, “Pit! Aceh dilanda tsunami! Tommy sedang tidak ada di Jakarta. Kau bisa pergi ke sana?”
Mestinya, rekan Pipit yang bernama Tommy-lah yang harus berangkat ke Aceh. Apa boleh buat, berhubung Pipit yang berada di Jakarta, jadi dialah yang pergi.
Tanggal 26 Desember, dunia sudah tahu bahwa Aceh terkena tsunami. Namun beritanya masih simpang siur.
Keesokan harinya barulah semua mata dapat menyaksikan betapa hancurnya Aceh, daerah paling Utara di negara Republik Indonesia ini.
Selama di Aceh, ada seorang ibu yang rela meminjamkan mobilnya untuk dipakai wartawan. Pipit bertanya, “kenapa Ibu pinjamkan mobil Ibu?”
Jawabnya,”Mas, saya setiap hari membawa jenazah korban. Dalam satu hari bisa sampai 20 mayat, dan Mas lihat sendiri masih banyak sekali yang belum terangkut. Jadi saya pikir, lebih baik saya pinjamkan mobil ini agar Mas Pipit bisa meliput, kirim berita, gambar dan video tentang keadaan ini. Tolong siarkanlah ke seluruh dunia. Dengan demikian, pasti dunia akan bergerak mengirimkan bantuan ke Aceh.”
Jawaban itu mengetuk hati nurani Pipit, rupanya inilah maksud Tuhan mengarahkan Pipit bekerja sebagai wartawan.
Malaikat Pelindung dan Rosario
Kecelakaan pesawat GA 152 di Sibolangit, hanya salah satu bukti bahwa Tuhan telah melindungi Pipit dari maut. Pipit tidak hanya satu kali itu saja “kebetulan” lolos.
Tahun 2009, Pipit dikirim ke Kabul – Afghanistan untuk meliput Pemilihan Umum di sana. Semakin dekat Hari-H , situasi semakin memanas. Bahkan Thaliban berhasil menyandera Bank Sentral Afghanistan.
Berhubung Pipit dan kawan-kawannya adalah orang asing di Afghanistan, mereka bekerja sama dengan wartawan lokal yang memahami keadaan setempat. Pada hari pelaksanaan pemilu, wartawan Afghanistan meliput di lapisan pertama, sedangkan kru Pipit di lapisan kedua.
Singkat cerita, Pipit bertugas di Afghanistan selama dua minggu. Dalam perjalanan menuju bandara di hari kepulangan Pipit ke Jakarta, ia mendengar bahwa hotel itu meledak karena dibom!
Pipit tahu, keluarga dan semua rekan kantor di Jakarta pasti kalangkabut mengkhawatirkan keselamatannya. Namun iapun tak dapat mengontak Jakarta.
Rute pesawat tidak ada yang langsung ke Jakarta. Ia harus terbang dulu ke Hongkong, lalu ke Bangkok, baru ke Jakarta. Sesampainya di Soekarno – Hatta, barulah Pipit dapat mengabari istrinya bahwa ia baik-baik saja.
Bagaimana rasanya Carolina bila suaminya sedang bertugas ke daerah berbahaya? Pembaca dapat menyelami kesaksiannya di Kisah Seorang Istri Wartawan – PINTU ITU SELALU TERBUKA UNTUKKU.
Terlalu panjang bila pengalaman Pipit diceritakan lengkap satu persatu. Yang pasti, Tuhan telah mengutus Malaikat Pelindung terbaik-Nya untuk menjaga keselamatan Pipit. Kemana-mana Pipit selalu mengantongi rosario. Setiap kali ia mulai meliput, ia mengusap kameranya sambil berdoa,”Ya Bunda, saya sedang bertugas. Mohon jagalah saya.”
Doa Pipit dan doa istrinya di rumah selalu didengarkan Bunda Maria dan Tuhan Yesus. Pipit selalu selamat dari aneka intaian maut, sambitan bebatuan yang dilemparkan demonstran, dan macam-macam kejadian menegangkan lainnya.
Waktunya Membagi Pengetahuan Pada Masyarakat
Selama menjadi wartawan, tiga tahun sekali Pipit harus mengikuti Hostile Environment Course, yaitu pelatihan untuk mengantisipasi bila sedang berada di Red Zone (Daerah Merah, artinya area berbahaya).
“Kita jangan hanya tahu bagaimana caranya mendatangi red zone itu, melainkan juga harus tahu bagaimana caranya mencari jalan keluar sehingga bisa lolos dari marabahaya,” ujar Pipit.
“Maksudnya begini. Gara-gara bekerja sebagai wartawan, bagaimana bila tiba-tiba saya diculik? Logikanya, saya bisa sampai diculik pasti karena memiliki sesuatu (informasi) yang berharga. Bukankah barang yang dicuri itu karena harganya mahal? Kalau tidak ada harganya, buat apa dicuri? Betul tidak?
Begitu pula wartawan. Penculik pasti menganggap kami menyimpan suatu hal yang penting. Jadi kami diajari bagaimana bernegosiasi dengan sipenculik, ‘kalau kamu bunuh saya, maka rugilah kamu !’
Kami belajar teknik berbicara supaya sipenculik kasihan melihat saya, atau bagaimana caranya mengulur-ulur waktu sambil berharap pertolongan segera tiba untuk menyelamatkan saya, atau ada kesempatan untuk melarikan diri,” urai Pipit. Syukur Tuhan, Pipit tidak sampai mempraktekkan ilmu itu!
Hostile Environment Course tidak hanya melatih wartawan untuk menghadapi penculikan. Teknik bagaimana bila sedang berada di daerah bencana juga diajarkan.
Pipit sudah berpengalaman meliput kebakaran hutan di Riau, meliput Tsunami di Aceh, gempa bumi di Jogjakarta bulan Desember 2006 dan daerah-daerah lain.
Dua tahun terakhir ini, Pipit bergabung dengan Relawan Kebencanaan di Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (LDD KAJ). Karena itu tak heran bila ia pada hari-hari tertentu datang ke LDD, di samping Katedral.
Pengalamannya sebagai wartawan selama belasan tahun telah membuka wawasannya bahwa negara kepulauan Republik Indonesia ini sangat rawan terjadi bencana alam. Namun sayang, rakyat Indonesia tidak punya pengetahuan bagaimana mengantisipasinya, apalagi bila bencana benar-benar terjadi.
Sekarang waktunya ia menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat! Menjadi wartawan berarti menjadi pembawa informasi yang berguna bagi kebaikan manusia.
Tuhan sudah mengabulkan permintaan Pipit ketika masih magang di Production House dulu : Semoga Tuhan berkenan memberinya pekerjaan yang tidak membosankan.
Sekarang Pipit Prahoro sudah tidak bekerja lagi di Reuters. Ia kini mencoba memasuki lahan-lahan kehidupan baru, mencari hal baru yang sesuai dengan kata hatinya. Dan ia tahu, Tuhan pasti sudah menyediakan ladang baru yang tepat untuknya dan untuk keluarga yang dicintainya.
Sinta Monika