TAHUN 2019, sebagian besar pembicaraan masyarakat berfokus pada pemilihan presiden (Pilpres) dan legislatif (Pileg). Isu ini terjangkau di setiap lapisan masyarakat dan menjadi menu setiap hari. Dari berita benar sampai hoax lalu-lalang setiap waktu, tanpa pernah bisa dibatasi lagi, terutama di media sosial. Siapapun mereka, dengan sangat mudah mengonsumsi informasi tersebut.

Beberapa saat menjelang perhelatan demokrasi berlangsung, aksi penggalangan dan pengumpulan massa dalam kampanye presiden maupun legislatif semakin marak. Hal ini sangat terlihat, terutama kampanye yang berfokus pada dukung-mendukung paslon presiden/wakil presiden.

Pemilu 2019 dibumbui aroma persaingan dukungan yang sangat menyolok untuk sosok paslon presiden dan wakil presiden. Hal ini pula yang mengakibatkan keriuhan dalam kampanye dukungan bacaleg (bakal calon legislatif) baik tingkat pusat maupun daerah tidak tampak atau hanya mendapatkan porsi kecil.

Para caleg pusat maupun daerah bekerja ekstra keras. Mereka berlomba-lomba mendapatkan simpati dukungan dan berusaha dengan berbagai cara, dengan ide-ide dan kreativitasnya, menggaet massa pemilih masing-masing, hingga cara gampang dengan menawarkan iming-iming berupa meteri bagi para pemilihnya. Politik uang dan cara negatif lainnya yang sangat tidak dibenarkan berlangsung dan merusak moral baik caleg maupun pemilihnya.

Gereja Katolik peka merespons dan tanggap terhadap kondisi ini. Gereja Katolik tidak tinggal diam. Sadar sebagai lembaga yang mengayomi umatnya, Gereja tetap harus berdiri di tengah atau di posisi netral. Gereja mendorong umatnya yang memiliki kebebasan memilih dalam berdemokrasi, untuk berperan mengikuti pemilu.

Gereja melalui Komisi Kerasulan Awam – Konferensi Waligereja Indonesia (KKA-KWI) mengeluarkan seruan moral bagi umat di Indonesia terkait pelaksanaan Pemilu 2019. Menurut Ketua Komisi KKA-KWI, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, salah satu poin seruan ditujukan kepada umat Katolik, baik sebagai pemilih, penyelenggara dan pengawas, maupun sebagai kandidat.

Pertama, sebagai pemilih, kita harus mempunyai informasi yang cukup terkait kandidat yang akan dipilih dan partai politiknya.

Kedua, mengetahui hal-hal teknis seputar pemilu, meluangkan waktu ke TPS untuk memberikan suara, mencoblos kartu suara secara benar, dan turut serta mengawasi penghitungan suara, seperti yang disampaikan saat siaran pers.

Ketiga, umat diharapkan menolak politik uang dengan tidak menerima uang atau barang apa pun yang diberikan dengan maksud supaya mereka memilih kandidat tersebut.

Keempat, diharapkan umat memilih kandidat yang beriman dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kelima, memilih kandidat yang berani menolak segala bentuk radikalisme dan intoleransi.

Keenam, memilih kandidat yang dapat memperjuangkan kepentingan umum dan tidak mempolitisasi agama dan suku.

Ketujuh, memilih berdasarkan suara hati dan bukan karena adanya tekanan dan pesanan tertentu. (Jelang Pemilu 2019, Ini seruan Moral KWI bagi umat Katolik, Kompas 1/3/2019).

Gereja tidak mengijinkan dijadikan sebagai sarana dan tempat untuk berkampanye, agar umat tidak terkotak-kotak dan supaya tidak terjebak pada tarikan kepentingan politik tertentu. Gereja berperan menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Gereja dan umat dapat berpartisipasi dalam rangka menjaga netralitas Gereja Katolik dalam pilpres dan pileg: Pertama, tidak boleh penggunaan tempat ibadah sebagai tempat kampanye politik, tidak menggunakan gereja dan segala fasilitasnya. Umat harus berpartisipasi secara aktif untuk menolak kampanye politik yang memanfaatkan mimbar acara Katolik, seperti doa dan pertemuan lingkungan/wilayah. Acara doa-doa dan pertemuan lingkungan merupakan Gereja, tempat bersatunya umat dengan Allah, sehingga tidak seharusnya menjadi sarana mencapai keuntungan yang sama sekali tidak bermotif pada cinta kasih Allah, melainkan untuk diri sendiri dan kelompok.

Kedua, Gereja dan umat Katolik harus bersikap tegas dengan menolak bantuan yang berasal dari para kandidat politik pada masa kampanye, menolak bentuk pemberian bantuan untuk menarik simpati umat Katolik. Menerima bantuan dari para kandidat politik pada masa kampanye sama halnya menjadikan Gereja sebagai sarana kampanye. Ketiga, Gereja dan umat Katolik tidak diperkenankan memihak salah satu kandidat politik. Gereja harus turut menciptakan politik yang sehat dan berkualitas dengan cara mendidik umat untuk memilih wakil/pemimpin yang berintegritas dan mengedepankan kepentingan umum, bukan memihak pada salah satu kandidat apalagi dengan alasan keagamaan. (Buku Peran Serta Umat Katolik dalam Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas, hal 49-50/Bawaslu).

Untuk lebih mengetahui bagaimana wakil umat Katolik berpartisipasi dalam politik Indonesia terutama dalam Pemilu 2019, Redaksi MeRasul mewancarai M.M. Restu Hapsari – PDI Perjuangan (Caleg DPR RI), Veronika Maria Halim – Partai Hanura (Caleg DPRD DKI), dan Susana Suryani Sarumaha – Independen (Calon DPD RI). Melalui ketiga nara sumber ini, MeRasul mengajak Pembaca untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana sepak terjang para kandidat legislator umat Katolik.

M.M. RESTU HAPSARI (Caleg Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan)
Tahun 2002-2004, Restu Hapsari adalah Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI). Ia terpilih saat penyelenggaraan Kongres PMKRI di Kupang, NTT. Sebelumnya, Restu adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Surakarta 1997-1998.

Ia sudah aktif saat kuliah dengan menjadi Anggota BPM Fakultas Sastra UNS Solo. Ia juga pernah terlibat langsung pergerakan menjelang hingga reformasi 1998.

Berbekal pengalaman organisasinya, saat itu melakukan safari ke-34 provinsi dalam rangka konsolidasi organisasi PMKRI, Restu akrab, bergaul, dan berjejaring dengan para elemen pergerakan dan tokoh eksekutif, legislative, serta petinggi partai. Hal ini menyebabkan ia mantap dan lebih percaya diri terjun ke politik praktis, selepas menyelesaikan kepengurusannya.

Pada tahun 2005, Restu menentukan pilihannya. Ia mantap memutuskan masuk menjadi Anggota PDI Perjuangan, partai yang menurutnya selalu mengusung isu dan tema ideologi keberpihakan kepada orang miskin atau “wong cilik”, yang senapas dengan preferential option for the poor, semangat Katolik. Hal ini juga didorong karena banyak aktivis dan pengurus partai yang sudah dikenalnya dengan baik, sebelum ia bergabung.

Ia mengikuti kaderisasi “Kursus Guru Kader” selama 14 hari, bersama Budiman Sudjatmiko, Masinton Pasaribu, dan orang-orang muda pergerakan yang aktif di PDI Perjuangan. Ia memperoleh gemblengan untuk pertama kali di partai berkepala banteng bermoncong putih ini. Selanjutnya, ia ditempatkan di Departemen Pemuda & Olahraga bersama Maruarar Sirait.

Ia sempat menjadi Wakil Sekjen Relawan Perjuangan untuk Demokrasi (Repdem) bersama Budiman Sudjatmiko. Kemudian ia menjadi inisiator berdirinya Taruna Merah Putih, sayap pemuda PDI Perjuangan. Di DPP Taruna Merah Putih, ia dipercaya menjadi Sekjen dan Maruarar Sirait sebagai Ketum.

Restu juga terlibat dalam pendampingan pilkada dan pemilu sebagai pengurus BP-Pemilu Pusat PDI Perjuangan. Ia menjadi Sekretaris Balitbang Pusat PDI Perjuangan hingga tahun 2020.

Tanggung Jawab sebagai Politisi Katolik
Bagi Restu, politisi adalah “pekerjaan” mulia bila dilihat dari tujuan idealnya, yakni mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian. Betul, bahwa hal ini berkonsekuensi pada tanggung jawab secara serius ketika ia berada pada status ini. Menjadi aktivis, kader sekaligus pengurus partai, membuatnya harus berpikir lebih terbuka dan punya kepedulian lebih besar terhadap orang lain. Tidak cukup hanya memikirkan diri sendiri.

Menjadi politisi Katolik lebih berat lagi. Kata-kata mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune) selalu didengungkan oleh para politisi Katolik. Keberpihakan kepada yang miskin (preferential option for the poor) juga tidak akan pernah bisa dilepaskan dari tuntutan politisi Katolik. Etika Katolik juga pasti menjadi rentetan etika yang harus selalu dipegang oleh setiap politisi Katolik.

Di atas itu semua, politisi Katolik juga harus berani melawan arus politik yang kotor, politik corrupt, dan politik yang hanya bertujuan menguntungkan diri sendiri.

Aspirasi Tersalurkan
Menurut Restu, PDI Perjuangan adalah partai yang semua orang bisa dan boleh berada di dalamnya, tentu dalam batas-batas yang sudah diatur oleh partai. Semua agama, semua suku, dan semua orang dengan latar belakang ekonomi yang berbeda ada di PDI Perjuangan. Hal ini yang membuat partai ini seolah-olah milik semua orang dan dicintai oleh semua orang.

Tidak heran, bila partai ini berhasil memenangkan perhelatan pemilu hingga dua kali berturut-turut; menang pileg dan menang pilpres tahun 2014 dan 2019. Belum pernah ada partai lain yang demikian.

Menurut Restu, rekor ini bahkan dipercantik dengan rekor menangnya Jawa Timur pada Pemilu 2019; sebelumnya selalu dimenangkan oleh PKB atau partai lain.

Keberadaan para politisi Katolik di PDI Perjuangan tentu sama saja dengan politisi lainnya. Soal kompetensi dan kinerja maupun prestasi akan selalu dihargai oleh partai. Bukan kebetulan, ketika Sekjen DPP PDI Perjuangan periode saat ini, dipegang oleh Hasto Kristiyanto. Ia adalah umat Katolik yang berprestasi dan teruji kinerjanya di partai. Alhasil, ia dipercaya dan layak menjadi Sekjen Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, 2005-2020.

Atau Andreas Hugo Pareira yang dipercaya sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pembangunan Manusia. Karena prestasi dan kinerjanya di partai selama ini, selain sebagai Anggota DPR RI. Beberapa kader muda juga mendapat kepercayaan di partai, antara lain Hanjaya Setiawan sebagai Sekretaris Departemen Pemerintahan, dan Restu. Karena dipercaya oleh partai, ia memegang posisi sebagai pengurus partai. Begitu pula beberapa pengurus lainnya.

Restu mengutarakan, bahwa aspirasi harus diperjuangkan. Karena itu, pasti membutuhkan proses. Ia menyebutnya, ikut proses berpartai, berpolitik, bermasyarakat, dan berbangsa serta bernegara menjadi tantangan tersendiri di PDI Perjuangan.

Tegas Mengakui sebagai Orang Partai
Menempatkan diri dalam situasi tertentu kadang diperlukan, termasuk pula menjalin relasi dengan hierarki Gereja, mengingat hierarki Gereja memang tidak diperbolehkan berpolitik praktis. Namun, dalam perjumpaan dengan awam/umat Katolik dan hierarki Gereja, penting kiranya bahwa ia adalah seorang politisi partai, yang juga aktivis Gereja. Justru dengan pemahaman ini, orang mengerti dan memahami bahwa status politisi Katolik akan menjadi sesuatu yang bisa dimanfaatkan secara positif bagi perkembangan aktivitas kegerejaan dan awam Katolik.

Kampanye Pemilu sebagai Caleg DPR RI 
Restu berkampanye selama delapan bulan, waktu yang diperbolehkan untuk melakukan kampanye. Sebagai salah satu caleg di dapil “neraka”, ia ditempatkan di daerah pemilihan di mana banyak caleg senior juga berada di wilayah ini. Sebagai salah satu caleg Katolik yang ditugaskan berkampanye di Dapil DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu), Restu tidak sendirian. Ada delapan bacaleg Katolik lainnya di lintas partai yang bertarung di daerah pemilihan ini.

Berbekal idealisme sebagai politisi yang bersih, Restu mengaku sama sekali tidak melakukan money politics, juga tidak melakukan politik sembako. Baginya, cara berpolitik seperti itu tidak mencerdaskan rakyat atau pemilih. Ia melakukan kampanye dengan mengedukasi dengan cara cerdas dan militan kepada rakyat/pemilih. Itu yang dikerjakannya selama delapan bulan, antara lain dengan sosialisasi, blusukan, dan door to door kepada rakyat/pemilihnya.

Saat di lapangan, ia harus berhadapan dengan para caleg lain lintas partai yang (justru) melakukan sebaliknya. Mereka berlomba-lomba melakukan politik sembako hingga menjelang hari H pemungutan suara, melakukan “serangan fajar” atau money politics.

“Kembali kepada diri kita sendiri sih, apakah kita mau larut dalam cara-cara yang tidak mendidik itu atau tetap idealis sebagai caleg Katolik, meski dengan risiko berpeluang tidak terpilih. Pada akhirnya, saya memang belum terpilih, masih kurang suara untuk mendapat kursi DPR RI,” akunya.

Tidak hanya itu. Ada faktor lain yang juga berpengaruh. Misalnya, persaingan figur antara caleg baik internal maupun eksternal, melakukan strategi pemenangan dengan cara efektif atau tidak, kuat atau lemahnya jaringan yang dimiliki para caleg, atau juga besar kecilnya logistik yang diperlukan sebagai cost politics.

Faktanya, sangat disayangkan di DKI Jakarta III tidak berhasil menggolkan satupun caleg Katolik dari sembilan caleg yang maju. “Di internal Katolik, saya rasa juga harus dilakukan analisa dan evaluasi mengapa tidak satupun caleg Katolik yang bisa didorong masuk mendapatkan minimal satu kursi DPR RI. Sayang, karena memang selama ini belum pernah ada caleg Katolik terpilih di DKI Jakarta III,” ungkapnya menganalisa.

Hal yang Terberat Menghadapi Pemilih 
Waktu delapan bulan cukup panjang, tetapi untuk menjangkau semua pemilih juga belum cukup. Harus ada strategi yang cukup efektif yang dilakukan secara massif. Misalnya, dengan pemanfaatan sosial media atau dengan branding issue dan figure.

Hal terberat yang dihadapi setiap caleg adalah harus bisa bertemu langsung dengan rakyat/pemilih. Logikanya, agar bisa dipilih, caleg harus dikenal. Setelah dikenalpun, mereka harus disukai atau dicintai, baru kemudian pada tahapan berikutnya, pemilih akan menentukan pilihan; memilih caleg tersebut atau memilih caleg lain. Lalu, ketika seorang caleg DPR RI diberi target suara yang harus besar, maka harus dihitung betul sejauh mana pertemuan-pertemuan langsung bisa efektif dan terjangkau dengan jumlah yang ditargetkan. Dengan asumsi, bahwa caleg itu bukan caleg yang sudah sangat popular atau bukan caleg yang memiliki logistik besar.

Kesiapan Mental Caleg
Hasil terpilih dan tidak terpilih, secara mental harus disiapkan. Risiko kalah dan menang (terpilih atau tidak terpilih) tentu harus sudah disiapkan secara mental oleh semua caleg. Jangan sampai ketika tidak terpilih lalu tidak siap. Di dunia politik kadang keterpilihan seseorang caleg rakyat/pemilih sudah tidak peduli apakah keterpilihannya diperoleh dengan cara-cara yang baik dan benar atau dengan cara-cara yang kotor.

“Di politik yang dilihat adalah bahwa ia sudah terpilih, titik. Gak akan dilihat lagi prosesnya. Kalaupun sempat dilihat, ya hanya sebentar, lalu terlupakan seiring waktu. Saya menaruh hormat yang sangat tinggi kepada para caleg yang bisa terpilih dengan cara-cara yang baik dan benar. Pun saya menaruh hormat yang sangat tinggi kepada para caleg yang tidak terpilih karena menggunakan cara-cara berkampanye yang baik dan benar. No respect for money politics,” tegas Restu.

Keterpilihan Wakil Katolik di Pemilu 2019
Melihat data yang didapat, ada beberapa caleg Katolik yang terpilih. Namun, lebih banyak yang tidak terpilih. Banyak faktor yang menjadi alasan. Restu memberikan catatan, mengingat para caleg Katolik biasanya atau rata-rata tidak memiliki banyak logistik maka memang harus mencari cara-cara atau strategi yang out of the box dan didukung dengan kerja jaringan sebagai corps pemilih Katolik plus pemilih non-Katolik.

Tanpa kerja-kerja jaringan yang solid dan efektif maka caleg Katolik akan kesulitan. Pada Pemilu 2019, menurut Restu, hal ini belum terjadi di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Sementara di beberapa wilayah di keuskupan lain berjalan dengan cukup baik.

Umat sebagai Filter dan Penyokong Keterwakilan Katolik
Sangat bisa. Yang penting dilakukan adalah adanya kesepahaman dan kesepakatan bahwa masih perlu representasi atau perwakilan Katolik di DPRD/DPR RI/DPD RI. Kalau sudah sepaham dan sepakat, ya harus ditata. Harus dikelola dengan baik dan harus solid. Ia yakin, kalau semua itu bisa dilakukan, akan lebih mudah proses mendorong dan “menjadikan” seorang caleg Katolik lolos DPRD/DPR RI/DPD RI.

Selanjutnya, ketika sudah ada perwakilan juga akan lebih mudah memberikan aspirasi atau masukan melalui anggota DPRD/DPR RI/DPD RI Katolik tersebut.

Hasil Pemilu
Setelah berkampanye selama delapan bulan, Restu belum terpilih sebagai anggota DPR RI. Hal-hal yang tidak menguntungkannya, tidak dapat diantisipasinya dengan baik, seperti praktik money politics, kurangnya strategi pemenangan yang efektif, kurang kuatnya kerja-kerja jaringan, dan kurangnya cara-cara yang out of the box. Ia hanya mendapatkan 22.552 suara yang solid, tanpa praktik money politics.

Melihat hasil ini, Restu masih mengungkapkan kebanggaannya. “Saya bangga dengan perolehan ini, meski tentu juga kecewa karena belum berhasil menjadi representasi caleg Katolik yang terpilih.” Restu tidak tahu persis ke mana saja suara umat/pemilih Katolik yang menurut Daftar Pemilih Tetap (DPT) cukup besar di Dapil DKI Jakarta III. Namun, ia memiliki analisa dan evaluasi tersendiri. “Barangkali pasca Pemilu nanti harus ada kerja-kerja edukasi dan pendampingan politik yang lebih baik dan mendalam bagi umat/ pemilih Katolik,” lanjutnya.

Pesan untuk Umat Katolik Indonesia
“Umat Katolik ‘kan selalu dibilang cerdas. Semogalah benar-benar berpikir cerdas dan berpikir panjang dalam memilih caleg-caleg yang ada di tengah situasi politik dan sistem pemilu yang tidak ideal sekarang ini,” kata Restu. Jangan takut dengan politik praktis. Mulailah terlibat secara langsung agar kita juga memiliki perwakilan di badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif, aktivis atau pengurus partai (lintas partai), komisi-komisi negara, NGO, dan lembaga-lembaga strategis lainnya. “Agar kita tidak hanya menjadi penonton dari luar, tetapi menjadi pelaku di dalam sana. Karena Republik Indonesia ini terlalu mahal untuk tidak kita libati,” pesan Restu kepada seluruh umat Katolik.

Pelayanan tanpa syarat dan pelayanan yang bisa dilakukan di mana saja. Legislatif, eksekutif, yudikatif, atau menjadi aktivis dan pengurus partai, bahkan di masyarakat dalam berbagai bidang, semua bisa kita imani sebagai pelayanan Katolik. Restu mengimani bahwa pelayanan umat Katolik menembus ke pelayanan tanpa batas.

SUSANA SURYANI SARUMAHA (Calon Anggota DPD RI dari Independen)
Menurut Susana, hakikat politik bertujuan menata dan memperjuangkan kebaikan bersama (bonum commune), kebaikan sesama tanpa memandang kelompok dan golongan. Berpolitik berarti bekerja untuk melayani sesama dalam meraih kebaikan bersama.

Susana Suryani Sarumaha, istri Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Eusabius Binsasi, menyadari dan meyakini bahwa menjadi politisi harus lebih banyak melakukan kebaikan bersama atau kesejahteraan bersama.

Untuk meraihnya, bisa dengan cara melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Selama politik punya tujuan yang mulia untuk melayani kepentingan umum, Susana akan terus menjadi politisi.

Sebagai politisi independen, ia tidak pernah merasa terbebani karena kekatolikannya. Politisi selayaknya harus bisa menyesuaikan diri dan bersahabat dengan semua orang karena, menurutnya, orang yang dilayaninya adalah semua orang tanpa ada perbedaan.

Menjalin hubungan dengan semua orang tanpa memandang SARA, dengan cara mendatangi semua orang tanpa perbedaan, berusaha meyakinkan mereka untuk melayani dan mencapai kebaikan bersama tanpa memandang perbedaan SARA

Seolah sudah menjadi tekadnya, bertarung sebagai calon anggota DPD RI di wilayah di mana umat Katolik sangat sedikit dan mustahil dapat mencapai yang maksimal. Susana yang saat ini memegang jabatan Wakil Ketua Umum Vox Point Indonesia, menyatakan bahwa baginya hal itu bukan hambatan. Ia melakukannya tanpa prasangka SARA.

Baginya, risiko berpolitik, terutama dalam pemilu, berhasil atau gagal terpilih, adalah perkenanan Tuhan. Bahwa ia belum berhasil, Tuhan belum berkenan padanya. Tuhan selalu memberi yang terbaik. Yang penting, ia sudah melakukannya secara maksimal.

Sebagai seorang Katolik, Susana melihat kebhinnekaan sebagai suatu anugerah Tuhan bahwa di dunia ini tidak ada yang sama. Tuhan membuat segalanya berbeda agar dunia ini dinamis, indah, dan memberi kesempatan kepada manusia untuk saling melengkapi dan menyempurnakan, bahkan saling menyelamatkan. Karena itu, perbedaan harus dikelola agar menjadi indah.

Ada pengalaman iman yang ia rasakan yang mengesankannya, yakni bahwa ia belajar untuk rendah hati, sabar, dan mencintai semua orang tanpa memandang perbedaan. Lebih dari itu, ia belajar bahwa untuk mencapai hasil, orang harus bekerja keras, sebagaimana kebangkitan Yesus; Dia harus melewati jalan salib terlebih dahulu.

Setelah rekapitulasi suara, Susana — calon anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta No. 44– dalam Pleno KPUD DKI Jakarta memperoleh dukungan 239.921 suara. Jumlah ini belum cukup mengantarnya menjadi anggota DPD RI. Ia berada di urutan ke-9 dari 26 Calon Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta. Ia belum mendapatkan kesempatan duduk sebagai anggota DPD RI  periode 2019-2024. Namun begitu, Susana tetap bersyukur kepada-Nya, juga berterima kasih kepada semua orang yang dengan caranya masing-masing telah memberi dukungan; dari persiapan, pelaksanaan, hingga pemilu berakhir.

Dengan segala keterbatasannya, ia mengikuti proses pesta demokrasi lima tahunan ini; baik dari finansial maupun persiapan tim mulai pendaftaran, pengumpulan KTP, sosialisasi/kampanye hingga pemilihan. Ia telah melaluinya tanpa money politics, tanpa menebarkan janji politik, tanpa mengintimidasi pemilih namun tetap menyatakan siap untuk  menjadi pelayan masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi DPD sebagai lembaga independen.

Ia berpesan kepada umat Katolik, ayo tingkatkan kebersamaan dan kerukunan internal, mantap rukun untuk terus bergandengan tangan mendukung pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. Ajakan kepada seluruh umat Katolik untuk menata diri menjadi umat yang 100% Katolik dan 100% Indonesia yang Pancasilais dalam bingkai NKRI.

VERONIKA MARIA HALIM (Caleg Anggota DPRD dari Partai HANURA)
Sebuah keinginan sederhana mengawali Maria Halim masuk ke partai politik, yakni ingin berbuat sesuatu bagi masyarakat. Ia memulainya dengan menjalin hubungan antaragama dan kemasyarakatan. Ia bergabung di dalamnya, juga dalam komunitas Gereja.

Pelayanan yang telah dijalaninya sebelum mencalonkan diri sebagai caleg DPRD, antara lain, di dalam struktur Gereja. Maria Halim menjadi Sekretaris PPTP di Paroki Gereja Santa Maria Imakulata, tahun 2017 – sekarang. Ia menjadi Anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Bendahara HAAK Dekenat Barat, Bendahara SABDA Lintas Agama Keuskupan Agung Jakarta dan SABDA Provinsi DKI Jakarta. Di organisasi luar gereja, ia menjadi Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Jakarta Barat, tahun 2019 – sekarang.

Maria Halim merasakan menjadi politisi Katolik lebih berat dibandingkan politisi biasa. Politisi Katolik menjalankan misi pewartaan di bidang sosial kemasyarakatan dengan kesungguhan hati, semangat berkorban, dan menomorsatukan kepentingan banyak orang. Juga memperjuangkan kesejahteraan umum (bonum commune), menjaga dan memelihara kerukunan antarumat beragama, dan memantapkan kehidupan ber-Pancasila.

Sebagai caleg DPRD dari Partai Hanura (Dapil IX – Cengkareng, Tambora, Kalideres), Maria merasakan bahwa di dalamnya orang sangat menerima dan terbuka. “Mereka menghargai setiap pendapat yang saya keluarkan dan juga dijadikan acuan.”

Saat pertama terjun ke dunia politik, ia belum bisa terbuka bahwa ia adalah politisi partai. Hal ini dikarenakan umat Katolik cenderung menganggap politik itu punya kepentingan.

Yang dilakukannya dalam setiap kampanye caleg DPRD, bahwa ia adalah caleg perwakilan Katolik bila ia sedang berada di dalam komunitas Gereja. Ia masuk ke wilayah dan lingkungan dan setiap kegiatan di paroki. Ia melakukannya untuk memperoleh simpati pemilih Katolik. Ia berusaha meyakinkan pemilih Katolik. Hal ini dirasanya lebih susah jika dibandingkan dengan calon pemilih umum lintas agama di mana ia bisa lebih bebas menyatakan dirinya sebagai seorang caleg.

Di daerah pemilihannya, Maria harus berkompetisi dengan rekan-rekan Katolik lintas partai; sebanyak delapan caleg Katolik.

Maria memahami risiko keterpilihannya dalam penghitungan setelah pemilu berakhir, juga harus dipersiapkan. Pemilu seperti layaknya pertandingan yang berakhir di garis finish; terlihat siapa yang terpilih dan tidak terpilih. Pengorbanan waktu, tenaga, dan materi apa pun yang telah dikeluarkan, adalah bentuk keseriusan dan kesungguhannya ikut dan terlibat dalam pesta demokrasi ini.

Maria mengungkapkan, bahwa dalam Pemilu 2019 orang lebih terfokus pada pemilihan capres dan cawapres sehingga tidak menguntungkan bagi para caleg dalam pemilu secara serempak yang pertama kali diadakan di Indonesia, dengan memilih capres cawapres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten ini.

Ia menyampaikan bahwa calon legislatif Katolik dibina oleh Keuskupan Agung Jakarta yang masuk, satu perwakilan DPRD dari partai baru dan satu dari partai oposisi.

Menurut Maria, peran umat/Gereja Katolik sebagai filter yang menyokong keterwakilan bagi caleg Katolik sangat diperlukan. Selama ini umat Katolik terkesan masih paranoid terhadap politik. Ini kelemahan orang Katolik terhadap sudut pandang sosial politik dan kemasyarakatan. Orang Katolik lebih tertarik pada urusan yang ada di dalam Gereja. Sedangkan untuk kegiatan di luar Gereja yang berhubungan dengan masyarakat, orang Katolik belum berani keluar dari comfort zone-nya.

Maria memperoleh pengalaman iman dalam pemilu kali ini. Ia merasa bersyukur karena memperoleh pembekalan dari Komisi HAAK KAJ agar menjadi caleg Katolik yang bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan Negara, jika terpilih.

“Kami pun mendapat pengalaman bagaimana menjadi seorang Katolik yang tidak korupsi dengan tindakan yang bertentangan dengan HAM dan cenderung bersifat primordial. Menjadi garam dan terang yang akan membawa satu perbedaan caleg Katolik dengan caleg biasa. Kami harus tulus seperti merpati dalam melayani dan kami pun harus cerdik seperti ular dalam menghadapi permasalahan di pemerintahan,” katanya.

Kenyataan dari 116 caleg Katolik (DKI dan sekitarnya) memang merupakan sejarah caleg Katolik yang buruk. Hal ini akibat masyarakat tidak fokus pada pemilihan caleg. Alhasil, semua caleg Katolik tumbang. Kebanyakan yang terpilih kembali yaitu para incumbent di mana mereka sudah mempunyai kantong suara dan dana reses yang bisa mereka pakai untuk turun ke masyarakat. Perolehan suara yang harus didapat adalah perhitungan suara partai + caleg. Dengan suara 20 ribu bisa memajukan seorang caleg ke kursi DPRD, satu kursi DPRD sekarang berlaku 27 ribu suara.

Seperti yang disampaikan Maria, bahwa suara umat Katolik sangat berharga, di mana se-DKI Jakarta ada 560 ribu KK yang tergabung di paroki se-DKI (KAJ). “Sebenarnya, kita bisa menghantar beberapa caleg Katolik untuk duduk sebagai perwakilan. Sayangnya, itu yang belum bisa kami harapkan dari umat Katolik untuk memilih caleg Katolik.”

Hal yang masih menjadi pertanyaan, mengapa keterwakilan dan soliditas umat Katolik belum bisa mengantarkan wakil umat Katolik di lembaga legislatif ini.
Maria berpesan kepada umat Katolik Indonesia, “Kami, para caleg Katolik, minta diberi kesempatan dan kepercayaan dari umat. Caleg Katolik memulai dari pelayanan dasar dan belajar untuk mengayomi masyarakat. Jika kesempatan yang hanya diberikan kepada orang lama/incumbent, bagaimana orang Katolik bisa memiliki perwakilannya?”

Suara Katolik jangan terpecah, kita pun bisa memperjuangkan apa yang dibutuhkan oleh Gereja. Kita mempunyai hak yang sama di dalam APBD, itulah yang harus kita perjuangkan agar bisa sampai di tangan yang benar. “Saya berharap, umat Katolik lebih bersatu memilih orang yang dikenal ketimbang orang yang tidak dikenal.”

Maria mengutip ucapan Romo Franz Magnis Suseno SJ, “Ingat, kita bukan memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah yang buruk berkuasa.”

Evaluasi yang bisa menjadi koreksi mengapa keterwakilan umat Katolik tidak berhasil lolos duduk di legislatif. Salah satunya, perlunya usaha konsolidasi internal para caleg Katolik. Hal ini penting agar membawa pengaruh yang baik dan maksimal di masyarakat hingga berdampak pada soliditas suara pemilih umat Katolik. Semisal, dalam suatu paroki/ daerah pemilihan, terdapat beberapa caleg Katolik. Sebaiknya ada kesepakatan di antara mereka; siapa yang akan maju agar suara umat Katolik tidak terpecah (terbuang percuma). Dengan cara jujur dan terbuka, bersama-sama menentukan siapa yang pantas dan layak untuk maju daripada semuanya bersaing dan pada akhirnya tidak ada yang terpilih.

Hal ini juga membantu dan memandu sebagian besar umat Katolik sebagai pemilih agar tidak salah memilih dan mempercayakan pilihan caleg terbaiknya yang memiliki integritas (dapat berkomitmen dan dapat dipercaya), kompetensi (berpengetahuan, sikap dan kinerja baik), dan kapabilitas (mampu memahami dan mengatasi masalah).

Menjaga netralitas Gereja dari politik praktis adalah wujud cinta umat Katolik kepada Allah dengan menjaga rumah Allah dari kepentingan yang tidak bermotif cinta kasih kepada Allah. Gereja Katolik harus menjaga netralitasnya terhadap politik praktis dengan menolak kampanye politik di gereja. Gereja dan umat Katolik harus berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan politik yang sehat dan berkualitas, bebas dari politisasi agama, serta hadir menjadi penyemai kerukunan di tengah masyarakat. (Pengawasan Partisipatif: Peran Serta Umat Katolik dalam Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas – hal 39). Pro ecclesia et patria. Berto Pranoto