PANITIA Paskah 2018 Wilayah St. Dominikus bersama teman-teman pemerhati Asmat berkesempatan berbincang-bincang dengan tiga suster Ursulin yang pernah melayani suku Asmat di Agats suatu Minggu, 4 Februari 2018.  Mereka adalah  Suster Grace Santosa OSU, Suster Anunciata Filon OSU, dan Suster D’Anita Seran OSU.

Hingga kini, Suster Grace dan Suster Anita masih melayani di sana, sementara suster Anun, 94 tahun, sudah lama meninggalkan Agats. Berbagai pengalaman, bermacam peristiwa suka dan duka yang mereka alami selama mereka bertugas melayani saudara-saudara kita di Asmat, dibagikan kepada kami dalam sebuah sharing yang sangat menyentuh…

Sharing para suster ini semoga dapat lebih membuka mata hati kita, bahwa saudara-saudara kita di ujung Timur negeri ini masih sangat membutuhkan uluran tangan dan kepedulian kita. Demikian cerita dan pengalaman mereka selama melayani di Papua, menjadi potret hidup nyata hidup dalam pelayanan dan kondisi sebenarnya hidup masyarakat di sana.

Suster Grace Santosa OSU

“Saya sudah menjalani tugas dua tahun di sana. Tugas pokok saya mengajar di SMA Yan Smith. Banyak suka dukanya. Sukanya, anak-anak di sana sangat polos. Mereka adalah anak-anak alam yang cara berpikirnya sangat polos. Mereka berpikir sekolah tidak sepenting yang kita rasakan. Mereka berpikir sangat sederhana dan tidak memiliki banyak kecemasan. Apa yang mereka perlukan hari ini hanya untuk hari ini. Terkadang kesederhanaan itu membuat kami jengkel. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu adalah milik bersama. Mereka selalu berbagi dengan sesama, termasuk kalau kami menanam pohon papaya, hasilnya dianggap milik mereka juga.

Ada cerita lucu ketika pohon papaya  yang ditanam Bapak Uskup sedang berbuah. Merekalah yang memanen. Sore harinya, ketika Bapak Uskup lewat mereka menawarkan, “Bapak Uskup hendak membeli papaya kah?”

Saya sangat senang sekali melihat, mengalami, dan merasakan dunia yang berbeda di sana. Begitu juga saya berharap para pemerhati Asmat bisa kesana supaya benar-benar merasakan “feel”nya sehingga tahu apa yang benar-benar dibutuhkan di sana.

Fasilitas sekolah di sana ada; gedung ada peralatan ada, murid banyak tetapi gurunya sangat kurang. Begitu juga dengan buku dan literatur juga sangat kurang, sehingga mereka kurang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Di Agats, ada juga suster dari tarekat Putri Santa Angela (PSA), ada Suster Vero dan Suster Lena yang fokus pada pembinaan remaja putri, karena dianggap bahwa segala sesuatu berawal dari perempuan. Kalau ibunya sehat anaknya sehat, kalau ibunya cerdas anaknya juga cerdas. Mereka mengawali dengan mengajar putri-putri remaja untuk menjahit, memasak, baca tulis, dan berhitung. Selain itu, mereka juga diajarkan menjaga kesehatan dan kebersihan;  mulai dari cara mandi, sikat gigi, mencuci baju, dan lain-lain.

Karena kondisi daerah terbelakang maka yang dibutuhkan sekarang bukan hanya sekadar bantuan berupa materi,  tapi juga relawan-relawan untuk mendampingi mereka supaya bisa memastikan bantuan-bantuan yang diterima tepat guna dan tepat sasaran.”

Suster Anunciata Filon OSU

“Selama sepuluh tahun saya bertugas di Ewer, yaitu sejak tahun 1967. Di sana, saya betah sekali karena orang-orangnya baik. Mereka sangat terbuka asal kita mau bergaul dengan mereka. Saya mengajar agama untuk ibu-ibu dan mengajak mereka ngobrol. Setiap hari saya berkeliling, bertemu dengan warga di sana. Karena tidak ada pastor, warga menganggap saya sebagai pastor sehingga saya menggantikan tugas pastor memimpin Misa dan memberikan Sakramen Baptis kepada 95 warga setempat.

Saya senang sekali berkeliling dan mengobrol dengan orang-orang Asmat, menanyakan apa masalah mereka dan membantu mereka apapun yang bisa dibantu, termasuk memandikan anak-anak. Dulu, hidup mereka masih sederhana sekali. Jika lapar, mereka pergi ke hutan untuk mencari sagu. Kalau merasa lapar dan tidak ada makanan, mereka yakin dengan tidur tengkurap lapar pun hilang. Mereka menyebut tidur tengkurap dengan ‘berbaring di atas perut’.

Sewaktu pertama kali kami datang kesana, mereka masih primitif, mereka hanya makan sagu. Tapi, lama-kelamaan mereka sudah bisa makan nasi dan roti. Saya mengajari anak-anak untuk mandi dengan sabun. Orang-orang Asmat sangat terbuka dan ramah. Itu yang menyebabkan saya betah di sana.

Saya juga membantu ibu yang akan melahirkan. Kalau akan melahirkan, mereka masuk ke dalam hutan karena mereka percaya bahwa hantu bisa mengambil dan memakan anak yang akan dilahirkan. Maka, mereka berusaha mencari tempat yang tersembunyi agar hantu tidak dapat menemukan bayi yang dilahirkan.”

Suster D’Anita Seran OSU

“Dua minggu sekali setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu, kami mengunjungi anak-anak di pedalaman untuk mengajar. Saya mengajar di SMP, kelas 7 dan 8. Di sana, ada fasilitas sekolah tapi gurunya hanya ada satu dan kegiatan belajar mengajar tidak berjalan. Ada lebih dari 200 anak di sekolah tempat kami mengajar.

Yang  menjadi keprihatinan saya di sana adalah melihat anak-anak yang tinggal di bivak. Bivak adalah tempat tinggal yang terbuat dari pelepah pisang dan sebetulnya sangat tidak layak untuk tempat tinggal. Banyak anak yang  tidak makan, bahkan ada yang meninggal karena kelaparan. Seringkali anak tidak masuk sekolah. Kalau ditanya mengapa tidak masuk sekolah, mereka menjawab harus pergi mencari makan. Cara mereka mencari makan adalah dengan membantu mencuci piring di warung-warung atau mengangkut balok-balok kayu.

Suatu hari, seorang anak meninggal. Sebelumnya, dia pergi kesekolah dan bilang ke saya bahwa dia lapar karena sudah seminggu tidak makan dan sakit. Kami memberinya donat dan nasi bungkus. Siangnya, dia muntah-muntah, lalu kami membawanya ke rumah sakit. Dua hari kemudian, anak itu meninggal. Satu hal yang bisa diambil pelajaran adalah bahwa anak-anak di sana telah diajarkan untuk bertahan hidup sejak kecil.

Kejadian itulah yang mengetuk pintu hati kami untuk berbuat sesuatu. Akhirnya, kami membentuk satu kelompok rohani di sekolah. Setiap Jumat, kami menyebut sebagai Hari Kasih. Anak-anak yang mampu diharapkan membawa bahan makanan, entah itu beras, susu, biskuit, untuk dibagikan kepada anak-anak yang tidak mampu. Jadi pada hari Jumat mereka yang kurang mampu dan tinggal di bivak bisa makan dengan layak.

Di sekolah, saya mengajar pelajaran agama.Tapi, jangan dibayangkan saya mengajar agama dengan cara seperti pada umumnya. Anak-anak di  pedalaman belum pintar baca dan tulis.  Setiap Jumat dan Sabtu, kami mengajar baca tulis terlebih dahulu lalu hari Minggu baru mereka belajar agama. Pada hari Minggu juga ada acara makan bersama. Ada seorang frater yang sangat peduli terhadap anak-anak itu. Dia ingin berbuat sesuatu dengan menyiapkan makanan untuk mereka karena banyak anak  di sana menderita gizi buruk. Kami membuat aturan; anak-anak diminta berbaris di paroki untuk antre mengambil makanan. Hanya anak-anak yang diperbolehkan mengantre. Kalau orang tua ikut mengantre, anak-anak tidak kebagian. Orang tuanyalah yang akan makan. Begitulah kebiasaan orang Asmat; mereka tidak begitu peduli dengan apa yang dibutuhkan anak-anak mereka. Leny Marcelina.