RD Paulus Dwi Hardianto
REPUBLIK Indonesia memiliki dasar Negara, yaitu Pancasila. Sudah tidak asing lagi bagi kita, bahwa sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, Negara kita berasaskan ketuhanan. Oleh karena itu, Negara Indonesia mewajibkan setiap warganegaranya untuk memeluk agama atau aliran kepercayaan.
Setiap agama atau aliran kepercayaan menganut paham yang dipercayainya benar. Hampir pasti semua agama pun ingin semakin banyak orang ikut menganut paham yang mereka ajarkan sebagai jalan keselamatan hidup mereka. Tak terkecuali orang-orang yang hidup di sekitar mereka, diharapkan memiliki iman yang sama.
Akan tetapi, fakta berbicara berbeda. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Sampai saat ini, ada enam agama (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu) dan berbagai aliran kepercayaan yang diakui Negara. Maka, hidup dalam keberagaman tidaklah dapat dihindari. Kita hidup dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dalam bermasyarakat, kita tidak dapat menghindari perbedaan agama. Karena perbedaan inilah, toleransi dibutuhkan dalam hidup bersama supaya tercipta kehidupan yang damai dan harmonis. Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa dalam hidup bersama ini, perjumpaan-perjumpaan pribadi yang berbeda agama ini dapat menimbulkan atau menciptakan relasi-relasi atau komunikasi-komunikasi khusus.
Relasi-komunikasi persahabatan antaragama, relasi-komunikasi kerja sama antaragama, dan relasi-komunikasi cinta kasih. Karena relasi-komunikasi ini, dapat pula orang berpindah agama dari agama A ke agama B, atau sebaliknya, dari agama B ke agama A. Hal ini adalah sesuatu yang sangat wajar dalam kehidupan bersama.
Kita, saya dan Anda semua, diajak untuk menghargai keputusan pribadi masing-masing, termasuk dalam kehidupan keluarga. Adanya perjumpaan-perjumpaan ini memungkinkan adanya perbedaan agama di dalam keluarga.
Kehidupan beragama keluarga saya heterogen. Saya memang dilahirkan dari orang tua Katolik. Semua saudara kandung saya, kakak dan adik, beragama Katolik. Akan tetapi, yang menjadi Katolik hanya keluaga kami. Keluarga dari pihak ayah saya beragama Kristen Protestan dan keluarga dari pihak ibu saya beragama Islam. Ayah saya menjadi Katolik karena terkesan pada seorang romo di Pasar Minggu. Ibu saya menjadi Katolik karena menikah dengan ayah saya.
Dalam keluarga ayah saya, banyak yang menjadi pendeta. Paman saya menjadi pendeta di Palembang. Bibi saya menjadi pendeta di Medan. Sepupu saya menjadi pendeta di Sulawesi, dan suami bibi saya menjadi pendeta pula di KarangAgung.
Dari keluarga ibu saya; paman saya menjadi pendakwah agama Islam. Ia berkeliling ke daerah-daerah di Indonesia serta sesekali ke negara-negara ASEAN untuk berdakwah. Sepupu saya menjadi ustadz. Sembari belajar, ia menjadi pendamping di sebuah pondok pesantren di Pakistan.
Awalnya, ketika orang tua saya pindah agama, memang terjadi gesekan, terutama dalam keluarga ibu saya. Mereka sulit menerima ibu saya pindah agama. Akan tetapi, akhirnya, semua belajar menjadi dewasa untuk menerima dan menghargai keputusan masing-masing pribadi. Sekarang, kami dapat berkumpul bersama sebagai keluarga dengan saling menghormati dan mencintai sebagai keluarga. Setiap perayaan agama masing-masing, kami memberikan selamat atau berkunjung untuk merayakannya bersama.
Saya yakin, banyak bentuk keluarga dengan perbedaan agama yang demikian di Indonesia. Dalam Kitab Suci pun, secara khusus Kitab Rut, kita mengenal pasangan suami-istri Elimelek dan Naomi. Mereka memiliki dua menantu yang berasal dari Moab, yang memiliki agama sendiri. Mereka hidup di dalam keluarga dengan agama berbeda. Akhirnya, Naomi mempersilakan kedua menantunya, Orpa dan Rut, untuk kembali kepada orang tua mereka karena kedua anak Naomi, yaitu Mahlon dan Kilyon, telah meninggal. Akan tetapi, Rut tetap mengikuti Naomi dan mengimani iman orang Israel. Sedangkan Orpa kembali kepada orang tuanya.
Dalam sejarahnya, Rut menikah dengan Boas. Mereka dikaruniai anak yang bernama Obed, ayah Isai, kakek Raja Daud. Dengan demikian, kita pun diajarkan dalam Kitab Suci bahwa dalam sejarah hidup kita, kita tidak bisa menghindari perbedaan, termasuk perbedaan iman dalam keluarga.