MENJELANG Natal, semua paroki melalui seksi, komunitas, wilayah, dan lingkungan mempersiapkan penyelenggaraan empat pertemuan Masa Adven, masa pengharapan akan hadirnya Juru Selamat.

Minggu keempat Adven 2017 jatuh pada hari Minggu. Beberapa saat sebelum memasuki Misa Malam Natal, sore harinya, Panitia Natal dengan cara masing-masing bersiap-siap agar suasana Natal terasa saat dimulainya Misa Malam Natal, dengan gua ataupun kandang yang sudah disiapkan namun tidak terlihat sebelumnya. Dengan kerja cepat, sore harinya sudah terlihat gua atau kandang di gereja.

Misa Malam Natal di Sathora dan juga paroki dan gereja lainnya, berlangsung dengan berbagai keunikannya. Gereja didandani dengan bangunan dan perlengkapan pendukung di sekitar area gereja. Tenda-tenda telah rapi disiapkan agar umat nyaman mengikuti Misa Malam Natal. Demikian pula Paroki Katedral yang terletak di pusat kota Jakarta. Gereja berarsitektur megah ini siap menampung umat parokinya dan juga umat pendatang untuk merayakan Misa Malam Natal dengan sakral dan khidmat.

Natal kali ini, MeRasul mengupas tentang Yesus sebagai tokoh iman dalam sejarah, terutama pada saat kelahiran-Nya. Romo Hieronymus Sridanto Aribowo Nataantaka Pr yang lebih dikenal dengan Romo Danto, menerima MeRasul di ruang kerjanya di Gereja St. Laurentius, Paroki Serpong, Tangerang.

Berikut ini perbincangan dengan Romo Danto:

 

Yesus, tokoh sejarah, iman, moral, dan fantasi.

Siapa Yesus, kita semua mengenal-Nya. Kita mengimani Yesus sebagai tokoh iman, iman yang menyejarah, yang berangkat dari tradisi para rasul yang diurut sampai Yesus. Perlu definisi yang jelas terlebih dahulu; apakah Yesus sebagai tokoh iman, historis, atau fantasi. Orang yang tidak beriman bisa juga melihat Yesus sebagai tokoh fantasi atau Yesus sebagai tokoh moral.

Mahatma Gandhi, sebagai orang Hindhu, melihat Yesus sebagai tokoh moral, anti kekerasan. Kahlil Gibran, tokoh Muslim, melihat Yesus sebagai keutamaan kasih. Dia adalah Muslim yang tasawuf (bijaksana). Dia melihat Yesus sebagai tokoh kasih. Yesus bisa dilihat, seperti juga banyak tokoh, karena spesial. Maka, kelahiran-Nya pun menjadi spesial. Banyak tokoh agama yang kelahirannya menjadi spesial. Bahkan kita lihat di dalam Kitab Suci, tokoh yang dianggap Nabi, seperti Nabi Musa dan Yohanes pemandi. Kelahiran mereka spesial.

Sekarang ini, kita melihat Yesus dari sisi mana; apakah dari sisi fantasi, iman atau sejarah?

Dari sisi fantasi, seperti film drama musikal yang pernah dibuat pada era ‘80-an, Yesus digambarkan sebagai tokoh yang mulia. Dilihat dari sudut anak-anak muda Eropa dan Amerika, Yesus merupakan tokoh fantasi. Di film “Jesus Christ Supertar” Ia digambarkan sebagai tokoh yang hebat dan mulia, sebagai Superstar. Bagi mereka, film ini dapat membawa iman mereka kepada Yesus sesuai zamannya. Walaupun tidak bisa diterima oleh orang tua, cara ini dapat membawa fantasi mereka sampai kepada imannya. Hal ini boleh-boleh saja, mengapa tidak.

Kita mau melihat Yesus dari sisi mana? Kalau kita melihat kelahiran Yesus dari sisi iman, kita punya Lex Orandi Lex Credendi. Artinya, “hukum doa membawa kita pada iman”, bagaimana cara kita berdoa, cara kita mengimani. Yesus yang kita imani, dengan mudah kita temukan dalam tradisi hidup doa kita.

Yesus historis bisa kita lihat juga dari Kitab Suci, bagaimana kelahiran-Nya. Meskipun Kitab Suci tidak boleh semata-mata dilihat sebagai kitab historis, tapi sebagai ekspresi ungkapan iman pada masanya. Kalau melihat Kitab Kejadian, apakah betul manusia pertama diciptakan oleh Allah dari abu dan meniupkan udara, ini ‘kan tidak masuk akal jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan sekarang. Tidak dari itu, manusia ‘kan lahir dari laki-laki dan perempuan. Lalu, kita memperlakukan Kitab Suci sebagai apa? Apakah kitab historis atau sebagai kitab iman, atau apakah sebagai kitab ilmu pengetahuan yang bisa menjawab segala-galanya. Maka, kelahiran Yesus pun bisa didekati melalui sisi hitoris dengan cara membaca Kitab Suci.

Meskipun ada juga pendekatan historis dengan pendekatan antropologis, artefak, arkeologis, yang dilakukan dulu pada abad 19; di mana tepatnya Yesus dilahirkan, di mana tepatnya Bethlehem itu berada. Ada yang tidak yakin kalau persisnya di situ. Bethlehem itu desa yang luas, apa persis seperti sekarang yang ada tempat bintangnya, apakah persis di situ tidak ada seorang ahlipun yang menjamin. Bahkan Bukit Kalvari, tepatnya di mana Yesus disalibkan tidak ada kepastian.

Lalu, sebetulnya fungsi historis itu apa? Fungsi historis membantu kita untuk lebih mampu mengimani Yesus yang hidup dan bangkit, membantu tapi bukan menjadi tujuan. Final destinasinya pada iman akan Yesus yang hidup dan bangkit. Sebagai sarana untuk membantu sampai ke sana.

Kita pun tidak berhenti, karena ini teologi inkarnasi, in – carnem (in + carnis) = menjadi daging. Proses theos – in – carnem – es, Allah menjelma menjadi daging. Itu adalah teologi antara karena pusat kita adalah iman atas teologi kebangkitan, misteri wafat, penderitaan, dan kebangkitan Yesus. Ini teologi Paskah yang harusnya menjadi puncak. Maka, teologi inkarnasi menjadi cara bagi kita untuk memahami teologi Paskah. Karena munculnya dan refleksinya itu baru kemudian setelah teologi Paskah.

Kalau Yesus kita pernah wafat, Yesus kita bangkit dengan mulia dan jaya, lalu siapakah Yesus kita? Itu berarti Yesus kita pernah lahir. Lalu, jika ditarik mundur, refleksinya adalah bahwa Allah bukan hanya bangkit dan naik ke surga, tetapi Dia juga pernah turun. Bukan hanya gerakan naik tapi gerakan turun. Bukan hanya solidaritas positif tapi juga solidaritas negatif, dan ini ditemukan dalam teologi inkarnasi. Refleksinya kemudian, bagaimana Allah menjadi manusia bukan hanya dalam iman tapi juga dalam historis. Bisa tidak ditemukan dalam historinya. Ternyata, Kitab Suci menuntun kita ke sana.

Mengapa bacaan dalam Paskah hanya dibacakan silsilah sampai Yusuf dan Maria melahirkan Yesus dan Dialah yang menjadi Almasih yang menyelamatkan kita.  Ini sebenarnya historis juga. Sebuah historis silsilah pohon keluarga. Seseorang bisa dilihat sejarahnya. Salah satunya, dari keluarganya. Betul bahwa Dia ini keluarga Yahudi asli, betul bahwa Dia itu Yahudi tidak asli karena ada campurannya, betul bahwa Orang itu sangat Ilahi karena ini semua orang kudus, dan betul bahwa Dia sangat manusiawi karena keturunan-Nya juga tidak semuanya benar. Artinya, hal ini membantu kita secara historis menjadi iman. Proses Yesus historis menjadi Yesus imani.

 

Dikaitkan dengan Yesus yang lahir, bagaimana makna hadirnya tiga raja, gembala, dan domba?

Sekali lagi kita melihat kebenaran dengan pendekatan-pendekatan. Pendekatan mana yang lebih dekat. Kitab Suci pun sangat terbatas, kecuali kalau iman itu menyatakan bahwa itu benar 100 %. Kalau demikian maka bagaimana dengan munculnya tiga raja dan gembala?

Paling jelas rujukannya adalah Kitab Suci.

Narasi Lukas lebih gamblang dan lebih jelas. Lukas seorang dokter. Ia menguasai banyak bahasa. Sumber Matius dan Markus lebih tua, ketika tulisan itu ditemukan. Yohanes tidak berbicara tentang narasi kelahiran Yesus. Sumber Lukas, menurut ahli Kitab Suci, datang kemudian setelah Matius dan Markus. Sumber Yohanes tua tapi tidak berbicara banyak tentang kelahiran Yesus. Lukas menulis narasi yang baik tentang tiga raja. Lukas dianggap penulis yang sama dengan Kisah Para Rasul karena gaya bahasanya sama.

Matius dan Markus dianggap para ahli yang “hidup” sezaman dengan Yesus. Lukas lebih kemudian. Jadi, kebenaran mana yang lebih mendekati, para ahli yang bisa menjelaskan. Dari sisi Kitab Suci, Lukas jelas mengatakan bahwa memang ada orang Majus dari Timur. Mereka memberi persembahan dan ketika mereka pulang, diingatkan dalam mimpi untuk tidak melalui jalan yang sama supaya tidak bertemu dengan Herodes.

Sejauh mana tiga orang Majus dimaknai sebagai semua bangsa yang memuji dan takluk, memberikan hadiah kepada Yesus? Bertentangan dengan Herodes yang menolak, karena kita tahu secara post factum  (bertindak ketika telah terjadi) – dia yang membunuh bayi-bayi dan dan jangan-jangan ada bayi Yesus. Maka, ini simbol orang yang bersukacita menyambut Yesus, yaitu pemimpin bangsa dan negara yang menerima dan ada pula pemimpin status quo yang menolak kehadiran Yesus pada saat itu. Jadi, ada dua kekuasaan.

Tapi, di lain pihak, ada kelompok yang ada di bawah yaitu gembala. Secara status sosial, hidupnya di bawah. Hidupnya bergantung pada domba. Mereka adalah kelompok paling bawah yang menerima Yesus dengan sukacita. Kehadiran Allah diterima oleh sebagian orang di kelompok atas yang diwakili orang Majus, yang ditunjukkan oleh pemimpin bangsa dan oleh seluruh orang dari lapisan bawah. Yesus diterima oleh seluruh kelompok di lapisan bawah. Ini iman atau histori? Karena hal ini ada di dalam KS jika dilihat secara historis. Tetapi, karena Kitab Suci diimani, ini menjadi pengalaman iman.

Tetapi, ada yang lain, yakni kelahiran Yesus secara fantasi. Artinya, setelah diterima dengan iman, orang dengan kekayaan budaya setempat, melegendakan dengan sebagian dari caranya beriman.

Di negara-negara Eropa, tiga orang Majus digambarkan secara khusus. Peringatan kehadiran tiga orang Majus di Jerman dengan menuliskan nama tiga raja; inisial B-M-K dan tahun di depan pintu pada Hari Raya Epifani, supaya mereka diselamatkan, dikunjungi, dan diberkati.

Tradisi ini diteruskan sampai sekarang. Paroki ini juga menuliskan dengan kapur tulisan nama itu supaya diselamatkan dan dikunjungi. Artinya, tiga orang Majus datang ke rumah ini sebelum mengunjungi Yesus. Hal ini sebenarnya tidak ada di dalam Kitab Suci, tidak ada juga di dalam histori. Orang-orang Eropa menggambarkannya supaya lebih kontekstual dan lebih hidup. Tiga orang Majus datang ke rumah kami. Sebelum ke tempat Yesus, mereka memberkati rumah kami. Hal ini tidak ada juga historinya. Juga dipraktikkan dalam drama anak-anak di Eropa Utara, yang digambarkan dengan tiga raja yang berkeliling ke desa-desa Katolik. Mereka berkunjung dengan membawa hadiah. Ini lebih dahsyat dari legenda Santa Claus.

Maka, pertanyaan sah atau tidak bahwa “Yesus fantasi”? ”Yesus fantasi” sebagai sarana supaya kita lebih beriman kepada-Nya yang ditangkap oleh konteks sosial budaya setempat. Contoh, Jesus Christ Supertar;  apakah itu film artistik atau film iman. Kita bisa melihatnya sebagai film iman. Karena anak muda waktu itu berontak terhadap struktur. Mereka menginginkan kebebasan dan mengimani Yesus dengan cara seperti itu. Yang penting, Yesus diakui dan diimani dengan kreatif. Meskipun jika dicari di dalam Kitab Suci, bagaimana mungkin Maria Magdalena ngerock?  Lagunya masih terkenal sampai sekarang, menjadi lagu yang popular sekitar tahun ‘70–80-an. Salah satu lagunya seperti I Don’t Know How to Love Him, tidak pernah ditemukan di dalam Kitab Suci. Tapi, orang muda saat itu menangkap Yesus seperti itu. Yesus menjadi hidup. Itu konteks Eropa.

Jadi, kelahiran Yesus yang seperti apa itu “fantasi”? Benar nggak sih tiga rajanya, benar nggak sih guanya? Mungkin kalau dicari historinya akan sulit ditemukan. Karena historisitasnya tidak menjawab. Kalau dicari imannya akan ditemukan di dalam Kitab Suci; imannya bisa dicari, hidup di dalam diri kita sehingga kita ikut merayakan dan itu sah-sah saja.

 

Dalam Epifani, ada bintang, gua, raja, gembala, dan domba. Tiga orang Majus sebagai representasi pemimpin bangsa dan gembala menerima Yesus sebagai raja. Lalu, bagaimana dengan perayaan Epifani, apakah masih memiliki gema di Gereja?

Secara liturgi, Epifani jelas masih ada artinya, berakhir pada oktaf Natal sampai Hari Raya Santa Perawan Maria pada 1 Januari. Kalau jatuh pada hari Minggu dirayakan. Setelah oktaf Natal sampai pada Hari Raya Epifani, penampakan tiga raja. Ini masih Masa Natal minggu kedua. Natal berakhir pada saat pembaptisan Yesus. Epifani tetap menjadi bagian penting. Tiga raja itu menggambarkan keterbukaan manusia menerima Allah yang menampakkan diri, Allah yang bersolidaritas dengan manusia. Tiga raja tadi berarti seluruh dunia mengakui dan menerima Yesus sebagai Juru Selamat. Refleksinya, bagaimana dengan kita?

Di beberapa negara ritus Timur, Natal sesungguhnya pada Epifani. Di Rusia, Epifani lebih hebat daripada Natal. Karena bagi mereka, kelahiran Yesus ketika diakui oleh tiga raja. Bukan lahir secara manusiawi pada 25 Desember. Tanggal 6 – 8 Januari dianggap sebagai Natal yang sesungguhnya. Mereka melihatnya secara teologis. Natal sesungguhnya saat kita menerima dan mengakui Allah yang menjelma menjadi manusia.

Mengenai tanggal, ada tradisi di balik ini. Mengapa 25 Desember? Ada banyak sumber dan melalui pendekatan apa. Salah satunya, pendekatan antropologi, yang pernah kita dengar. Seperti adanya dewa matahari di Yunani. Dewa Matahari itu diganti Yesus. Kemudian kita menyembah Yesus. Ini proses kristenisasi pada orang-orang Yunani. Banyak pendekatan dari ritus kristiani, dari jemaat perdana sejak abad ke-2 sampai sekarang, yang dipelihara dengan baik. Tanggal  25 Desember dianggap sebagai Hari Agung kedua setelah Paskah, bagaimana Allah menjadi manusia.

Ada teks liturgi khusus yang merayakan 25 Desember, dimulai dari abad ke-4, ada sacramentarium gregorium veronense, liturgi yang lengkap bagaimana merayakan Natal Vigili; dari Natal pagi, Natal siang, dan Natal sore. Itu ada dan bisa ditelusuri meski tidak semua. Kalau pendekatannya mau ilmiah, lewat teks. Kapan teks ini muncul? Kalau ditelusuri, tradisi ini sudah muncul sejak Gereja Perdana.

Memang mereka merayakannya dengan cara yang sangat sederhana. Kelahiran Yesus dirayakan di katakombe (ruangan/lorong panjang di bawah tanah setinggi 1,5 m yang biasanya digunakan untuk keperluan religius) karena mereka takut dikejar orang pemerintah. Mereka melakukan seperti itu supaya imannya tetap hidup.

Orang Kristen bisa hidup persis di bawah tanah di pusat kota Kristen selama berabad-abad. Tempatnya sekarang dipelihara dan terawat baik. Saat ini, menjadi tempat wisata. Jika kita melihat altar-altar di sana, ada simbol ixhtus;  ‘di sinilah kita berkumpul sebagai orang kristiani’. Yesus Kristus, Anak Allah, Juru Selamat mereka. Mereka berkomunikasi supaya tidak ditangkap orang Romawi. Mereka menggunakan simbol ixhtus. Seperti bahasa anak muda, bahasa prokem.

 

Bagaimana Gereja melihat penggunaan gua atau kandang di dalam Kitab Suci?

Hal ini dilihat sebagai “kreativitas iman”. Bagaimana iman harus survive, harus diberi makna. Kalau tidak, iman akan ditinggalkan. Gereja adalah ecclesia semper reformanda (artinya, Gereja yang terus-menerus harus diperbarui), harus diberi makna. Kalau tidak, Gereja akan ditinggalkan.

Dari pendekatan historis, gua itu diperkenalkan oleh St. Fransiskus Asisi pada abad ke-15. Dia membuat tempat untuk binatang, yakni domba. Dia adalah orang Italia, didekati secara historis oleh konteks Italia. Italia adalah negara yang berbukit-bukit, ada hutan dan padang savana, ada Pegunungan Alpen. Domba ada di sana. Mengapa muncul kandang? Karena domba identik dengan kandang. Yesus kira-kira lahir di kandang yang ada palungannya. Mengapa muncul gua? Karena hal itu ditangkap berbeda. Fantasi iman dikaitkan dengan konteks.

Natal yang ditangkap adalah dengan kandang, tempat domba. Ada Pegunungan Alpen yang subur. Lalu, konteksnya menjadi kandang. Konteks Yahudi adalah gua karena di sana ada padang pasir, tidak ada hutan. Lalu, pertanyaannya: apakah gua atau kandang? Keduanya bisa saja. Maknanya sama, yakni tempat yang tidak layak untuk Yesus lahir.

Jika di Jakarta, mungkin kandang domba digambarkan dengan gubug reyot di Sungai Ciliwung, di belakang hotel megah. Bagaimana kita bersikap? Bisa dibuat visual gubug reyot saja. Mungkin tidak ada gembala. Tapi, di sini banyak orang miskin seperti pemulung dan pengemis, yang menyambut Yesus untuk pertama kali.

Lalu, pertanyaannya apakah ada historisitasnya? Kembali ke konteks yang dibawa pada kondisi saat ini. Kita harus berhati-hati, apakah itu historis atau iman. Kalau iman, itu yang penting. Sedangkan historis, sifatnya dapat memperkaya iman. Historis membawa kita untuk beriman dengan lebih baik.

Sampai sekarang pun masih diselidiki para ahli. Apa pun kebenaran yang ditemukan, tidak mengubah iman kita kepada Yesus. Karena seorang ahli di bidangnya pun belum tentu memiliki iman yang sama dengan kita. Itu dua hal yang berbeda. Seorang dosen yang atheis, dialah orang yang sangat menguasai bidangnya. Artinya, ilmu yang sangat historis itu berbeda dengan iman. Ia mengajar dengan baik, pengetahuannya luar biasa. Ia dapat menjelaskan dengan ilmiah, tetapi dia tidak percaya kepada Tuhan. Bagi kita, itu tidak apa-apa. Artinya, ilmunya kita dapatkan tapi imannya adalah iman kita. Yang penting, jika hal itu menambah iman, kita imani.

 

Bagaimana Romo melihat umat memaknai Natal ?

Saya melihat bagaimana umat memberi makna Natal, saya melihatnya seperti ini. Pertama,  melihat makna dari liturgi. Dan kedua, dari makna hidup sehari-hari.

Dari makna liturgi, jelas kita dituntun untuk sentire cum eclessia  = sehati seperasaan dengan Gereja. Maka, Gereja menyelenggarakan  Adven 1,2,3, dan 4, kita ikuti supaya kita tidak ikut-ikutan dengan yang di luar.  Pohon Natal di mana-mana. November akhir dan Desember awal, sudah dirasakan suasana Natal. Pohon Natal ada di mana-mana, juga ada di mal. Sementara itu dalam liturgi, kita masih dalam suasana penantian/pengharapan. Nanti, puncaknya di gaudette (sukacita) yang ditandai dengan warna pink. Itu pun sukacitanya baru 50%. Sukacita penuhnya pada perayaan Natal.

Sebagai katakese, kita mulai bersukacita. Jangan berhenti berpengharapan. Selama penantian harus sabar. Tanggal 24 Minggu pagi masih Minggu keempat Adven. Sorenya, kita merayakan Natal.

Natal kali ini, pada Misa pagi hari (08.30) dan selesai siang hari, hingga pukul lima sore. Malam sudah datang Natal Vigili. Gereja disulap menjadi Christmas. Gua atau kandang sudah disiapkan dan dipindahkan. Ini peristiwa yang terjadi tujuh tahun sekali. Dan berulang tujuh tahun lagi.

Pertanyaannya, sejauh mana secara liturgi dihayati supaya kita masih bisa sentire cum ecclesia. Bacaan menuntun kita supaya aware, berjaga-jaga. Ini secara liturgi. Makna Natal berpuncak pada Yesus yang lahir. Dan yang kedua, bagaimana dalam hidup sehari-hari. Setiap tahun kita merayakan Natal. Apakah setiap tahun maknanya sama, bagaimana umat diajak untuk merenung dan merefleksikan hidup beriman. Kalau refleksinya dalam, tidak ada pengalaman yang sama, bahkan setiap hari saja bisa berbeda meskipun orangnya sama.

Tapi, pertanyaannya, perangkat untuk melaksanakan tiap orang beriman itu berbeda-beda. Ada yang perangkatnya tajam, terbiasa membaca Kitab Suci dan berdoa. Ada yang agak susah melihat peristiwa manusia ke peristiwa iman. Yang penting, saya makan, sudah. Lalu, kemudian katekese memberi perangkat releksi. Maka, adanya pertemuan Adven (Bulan Keluarga) membantu umat supaya perangkat releksinya lebih baik. Hal ini membawa orang untuk terbiasa refleksi, merenung dan berdoa setiap hari.

 

Seberapa penting arti peristiwa Natal dikaitkan dengan peristiwa Paskah?

Paskah adalah puncak misteri iman kita. Paskah adalah ibu segala hari raya di Gereja Katolik. Artinya, puncak segala hari raya adalah Paskah. Natal adalah hari raya kedua; menjadi antara menuju Paskah.

Dikaitkan dengan Paskah, bagaimana kita merayakan Natal? Allah menjelma menjadi manusia melalui solidaritas negatif dan berkorelasi serendah-rendahnya dengan manusia. Manusia yang dipersembahkan akhirnya harus menderita untuk menebus dosa-dosa manusia. Berpuncak pada Allah yang menjelma menjadi manusia, akhirnya disalibkan untuk menebus dosa-dosa manusia. Dia tidak mati konyol. Salib diubah menjadi kejayaan. Maut dan kematian dikalahkan dengan kebangkitan. Tetapi, apakah Dia tetap Allah? Itu jelas. Allah yang 100 % manusia. Sisi hitorisnya ada. Betul bahwa Allah kita adalah Allah yang 100 %, tetapi juga 100 % manusia. Jika Allah kita bukan manusia, Dia adalah Allah yang tinggi, jauh, yang tidak terjangkau di awang-awang yang konseptual, yang tidak bisa menangis, yang tidak bisa mati, dan sebagainya. Allah kita 100 % Allah sekaligus 100 % manusia. Maka, ada kebangkitan. Peristiwa kelahiran ini menunjukkan nilai ke-manusia-annya. Dan semuanya kembali kepada Allah. Semuanya menggunakan cara manusia untuk meyakinkan bahwa iman kita berbicara melalui hal itu sehingga Natal tidak berdiri sendiri. Justru Natal sebagai perayaan antara yang bisa memahami pusat misteri. Dipahami mengapa Dia lahir dan mengapa Dia mati. Allah menjadi dekat dengan kita dan Dia bisa menjadi bagian dari kita. Solidaritas negatif dari kita melalui kematian oleh salib adalah hal yang luar biasa.

Jika ada yang mengatakan bahwa Allahmu tidak bisa menolong, ya tidak apa-apa karena Allah kita juga manusia. Jadi, kita tidak pernah sakit hati kalau kita memahami dan mengimani dengan benar. Mana Allahmu? Katanya, bisa menolongmu. Akhirnya, Dia mati juga. Memang Allah kita menjadi manusia …so what?

Berto