“Dewi, aku sudah resign. Aku di rumah saja sejak Senin kemarin. Enaknya aku cerita langsung, kenapa aku quit. Yuk, kapan kita bisa bertemu?”
Pesan itu dikirim oleh Sari melalui BBM. Jaman itu masih jaman BBM – an.
“ Lalu kau pindah kemana?” tanya Dewi keheranan.
“Yah gampanglah, nanti aku pelan-pelan cari kerjaan lagi. Sekarang nyantai dulu. Ayo, kau mau tidak?”
Dua hari kemudian, jam sepuluh pagi, Sari dan Dewi duduk-duduk di Starbuck.
“Aku jengkel pada Manager-ku. Peraturan dia gonta-ganti cuma buat enaknya sendiri. Lah, kita-kita kebagian apa? Kerja paling cape, hasilnya kering! Semua komisi masuk ke account dia. Kurang asem!” Cerita Sari. Mungkin lebih tepat dikatakan menggerutu.
“Terus?”
Sari dengan sengit cerita panjang lebar.
Begitulah. Waktu baru mulai bekerja sebagai sales, Sari leluasa sekali mengantongi berbagai komisi penjualan dan aneka sampingannya. Maka itu dia betah-betah saja kerja di lapangan, tak berminat naik jabatan.
“Kalau cuma di kantor, kering, Wi! Gengsinya saja yang gede, … Me-Ne-Jer! Tapi cuma makan gaji doang! Sedangkan kalau di lapangan tuh banyak banget sabetannya. Nah, buat apa aku jadi Manager?” begitu kata Sari.
Tapi itu dulu. Sekarang sabetannya makin sedikit. Maka itu dia sekarang mencak-mencak.
Dewi manggut-manggut.
Lulus SMA, Dewi melanjutkan studi ke universitas. Sedangkan Sari langsung cari pekerjaan. Sebagai anak tertua, Sari lebih butuh uang karena adik-adiknya banyak sekali.
Jadi ketika Dewi baru lulus sarjana, Sari sudah gonta ganti pekerjaan. Waktu Dewi baru masuk kantor pertama kali, Sari sudah keluar masuk lima atau enam perusahaan.
Dihari pernikahan Dewi, Sari menjadi pengiringnya. Ia menyaksikan Pemberkatan Cincin Perkawinan sahabatnya itu, serta membawakan buket yang akan dipersembahkan kepada Bunda Maria.
Tak berapa lama, Sari menyusul. Namun ia menikah dengan pemuda yang beda keyakinan, sekalian ikut pindah keyakinan. Dewi sedih sekali, namun bisa apa?
Dewi hanya sempat menikmati senangnya punya gaji sendiri selama tiga tahun. Setelah itu ia harus rela berhenti kerja demi mengurus anak-anaknya.
Sedangkan Sari tak mau melepaskan rejekinya yang berlimpah itu. Tak digubrisnya keinginan sang suami untuk memiliki keturunan. Cekcok hampir setiap hari dengan tema yang itu-itu saja, suami ingin punya anak.
“Aku tak suka anak kecil! Aku tak sabar membujuk anak yang nangis berkepanjangan. Terserahlah kalau dia mau cari istri lagi.” Ceritanya.
Dewi manggut-manggut. Dia paham, memang sering membosankan mengisi hari demi hari sebagai ibu rumah tangga. Betapa inginnya Dewi kembali berkarir. Tetapi kisah menjadi wanita karir sudah jadi cerita sejarah. Kehidupan Dewi sekarang dan seterusnya adalah menjadi seorang ibu, dan mengantar jemput anak-anaknya setiap hari sampai mereka besar.
Tahun berikutnya.
“Aku sedang proses cerai.” Kata Sari.
Dewi melongo. “Lah… kalian baru menikah berapa tahun?”
“Tiga tahun empat bulan. Aku pusing hidup bersama “Orang Bijak”. Tiap hari ceramah tentang bagaimana menjadi istri yang baik. Lalu buntut-buntutnya Harus Punya Anak. Memangnya gaji dia berapa, mau nyuruh aku berhenti kerja biar bisa punya anak. Dia kepingin seperti suamimu itu. Pulang kerja ditunggui istri dan disambut anak-anak yang lucu-lucu.” Cerita Sari sambil cemberut.
“Ya memang itu impian semua suami. Dia siap memikul bebannya sebagai kepala rumah tangga. Segala letih penatnya langsung sirna begitu melihat senyuman istrinya dan lompatan kegirangan anak-anaknya.” Jawab Dewi.
“Boleh saja dia mimpi begitu. Tapi faktanya dong! Penghasilan siapa yang lebih banyak? Kalau dia yang dapatnya gede sih, aku setuju saja. Lah gaji cuma segitu! Hitung saja seandainya aku berhenti kerja, mana punya baby segala…. orang bodoh manapun bisa berpikir.” Sari berang sekali.
“Jadi kamu mantap bercerai?” tanya Dewi.
“Mantap bangetttt.…! Aku sudah mabok dikuliahi setiap hari.”
Dewi menatap sahabatnya. Dulu melihat Sari menikah tanpa diberkati di gereja, hatinya sangat sedih. Kini perkawinan itu kandas. Beginikah jadinya Perkawinan tanpa Sakramen?
Setelah resmi bercerai, mantan suami Sari pulang ke kota asalnya. Sari menjual rumahnya, ia kembali ke rumah orangtuanya sendiri.
Sari masih lanjut bekerja beberapa tahun kemudian, hingga hari pertengkaran dengan atasannya itu. Tanpa pikir panjang, ia tanda tangani surat permohonan mengundurkan diri. Tanpa pesangon sepeserpun, Sari melangkah gagah keluar dari pintu kantornya tempat ia bekerja selama sebelas tahun.
Anak Dewi yang sulung lulus SD, disusul adiknya setahun kemudian. Dewi sibuk membanding-bandingkan sekolah SMP sekalian SMA mana yang terbaik. Selanjutnya hidup Dewi kembali rutin dan mendatar.
Anak-anak sudah besar, tak perlu dijaga siang malam. Mau berkarir seperti dulu sudah tak mungkin, maka Dewi menyumbangkan waktu dan tenaganya untuk pelayanan di gereja sesuai yang dia sukai.
Sari bagaimana?
“Aku kasihan melihatmu, Wi! Mau begini begitu, selalu tersangkut dengan ijin suami.” Katanya sambil memberikan oleh-oleh dari Vietnam. Hidupnya benar-benar bebas merdeka tanpa kekang. Tabungannya banyak. Ia bisa bepergian ke luar negeri tanpa perlu minta ijin siapapun.
“Aku sedang pacaran dengan laki-laki yang akan bercerai. Lalu dia mau menikah denganku.” Cerita Sari. “Tapi dia butuh dana untuk proses perceraian.”
Mata Dewi membesar, “Terus…?”
“Dia pinjam uangku.” Kata Sari santai.
“Dan kau pinjamkan dia?!” Dewi berseru.
“Iya, nanti dia bayar dengan THR nya. Kan tinggal dua bulan lagi.”
Dewi menelan ludah, “Itu namanya kau mendukung perpecahan rumah tangga orang.”
Sari ngotot, “Dia dan istrinya sudah tak akur lagi! Apa salahnya aku menerima dia?”
Enam bulan kemudian.
“Wi! Ada investasi bagus. Cukup taruh dua ratus juta. Dalam delapan belas bulan uangmu balik dua setengah kali lipat. Jadi kau akan terima lima ratus juta.” Kata Sari bersemangat sekali.
Dewi mengerutkan dahinya. “Investasi apa?”
“Temanku. Suaminya orang kaya raya. Benar-benar kaya!”
Dewi kebingungan. “Suami temanmu bisnis apa?”
“Mmm…. aku tak seberapa paham. Tetapi tiga bulan yang lalu aku setor seratus juta, barusan aku terima dua puluh juta. Ayo! Kau mau ikut tidak?” Sari senang sekali.
Dewi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau gila, Sar. Kau sembrono bukan main.”
“Aku jalan sesuai hatiku.” Jawab Sari. “Maka itu, hidupku tidak monoton seperti kamu.”
“Sari. Setahuku, apapun yang kita inginkan haruslah diraih dengan pikiran dan tenaga. Aku ngeri melihatmu percaya buta pada orang yang baru kau kenal sesaat.” Kata Dewi.
“Kau salah! Aku sudah kenal dia lebih dari setahun. Akupun sering menginap di rumahnya. Suaminya kaya raya bukan main, tetapi tidak sombong. Maka itu aku percaya mereka.” Sanggah Sari.
“Ya sudah, biarlah itu menjadi rejekimu. Aku ikut senang. Tapi Tuhan memberiku penghidupan melalui suamiku dengan memutar otak dan bekerja keras. Biar sajalah. Aku puas dengan rejekiku ini. Semoga kau beruntung.” Kata Dewi penuh doa untuk sahabatnya.
Satu hari sebelum Imlek, Sari menelepon sambil sesenggukan. “Gong Xi Fa Cai, sahabatku! Aku sedang apes. Pacarku tak jadi cerai tetapi uangku belum dia kembalikan. Dia pakai untuk membayar uang pangkal anaknya masuk SMA.”
“Kamu baik-baik saja?” Cuma itu yang bisa Dewi tanyakan.
Tangis Sari meledak. “TIDAAAK..! Aku tidak baik-baik saja! Uang investasiku amblas! Padahal itu adalah tabunganku yang terakhir. Teganya si Uci menipuku! Padahal aku percaya penuh padanya! Hik… hikk…..”
“Kau enak, Dewi! Kau punya suami yang pintar dan selalu melindungimu. Maka itu kau terhindar dari musibah seperti ini. Sedangkan aku….hikk… siapa yang menjaga aku?” ratapnya.
Dewi mengingatkan, “Lha… bukankah kau tak suka dikekang? Bukankah kau lihat betapa menjemukan kehidupanku yang monoton ini?”
Sari terdiam.
“Kau benar! Jalan hidupku memang penuh variasi.”
Sebulan kemudian, Sari mengirim whatsapp , “Aku kerja jadi buruh harian di perusahaan laundry. Kau tak pernah mengalaminya ‘kan?”
Kisah Dua Jalan kehidupan masih berlanjut. Yang satu berjalan dalam ikatan Janji Perkawinan. Dan yang satu lagi hidup bebas tanpa terikat akan konsekwensi sumpah “Till death do us a part”. Kedua sahabat itu masih setia berkabar satu sama lain, hingga akhir perjalanan hidup mereka nantinya.
Xu Li Jia