Oleh Tony Unandar
SUATU kali Sang Guru berkata, “Kamu adalah garam dunia” (Mat. 5:13a). Lalu apa hubungannya dengan “ikan asin”? Bukankah efek garam terhadap jaringan tubuh ikan hanya berbeda sebatas status ikan? Hidup atau mati.
Garam yang terkandung di dalam air laut “tidak berdaya” membuat asin jaringan tubuh ikan yang hidup di laut lepas. Lain halnya kalau ikan itu mati, hanya dalam tempo beberapa jam saja garam yang yang terlarut dalam air dapat menyelinap masuk ke dalam jaringan tubuh ikan dan mengubahnya.
Sebenarnya, perkara pertobatan adalah masalah perubahan sikap hidup. Yang tadinya hidup dalam kekelaman alias penuh dengan keterikatan kedagingan, sekarang putar haluan dengan menjadikan Allah sebagai pusat hidup dan jaminan masa depan kehidupan itu sendiri. Jadi, pertobatan berarti meninggalkan “manusia lama” alias “mengosongkan diri” dan membiarkan Roh Allah berkarya sebebas-bebasnya dalam hidup kita.
“Jadikanlah aku bola-Mu, yang bisa Engkau sepak ke sana kemari,” demikian pemahaman pengosongan diri bagi Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus.
Lalu, “Kamu harus dilahirkan kembali” (Yoh 3:7b), demikian petuah Sang Guru kepada Rabi Nikodemus pada suatu malam. Bagaimana mungkin Roh Allah dapat berkarya jika “manusia lama” masih hidup dan bercokol kuat dalam pribadi seseorang. Dengan kebebasan yang diberikan oleh Allah, manusia sebenarnya dapat melakukan pilihan, hidup dalam cengkeraman si putra fajar alias Lusifer atau hidup dalam bimbingan Roh Allah.
Roh Allah itulah yang sanggup menggarami hidup kita dengan cahaya Ilahi yang terus-menerus meluap hingga menerangi jiwa-jiwa lainnya.
Jadi, mungkinkah kita menjadi garam dunia jika “kita tidak mati” terlebih dahulu? Mati berarti berani kehilangan keangkuhan, ketenaran, kekuasaan, harta-benda, nafsu-nafsu liar, atau bahkan “nyawa” sekalipun. “Nyawa” memang tidak selalu identik dengan jiwa, tetapi “nyawa” dapat juga berupa suatu “keterikatan” atau ”ketergantungan” dalam hidup kita. Itulah yang disalibkan Sang Guru. Dengan disalib, Yesus pun menggenapi sabda-Nya, “Sesungguhnya jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal” (Yoh. 12: 24-25).
Saya tersentak; menjadi garam juga berarti “melayani” sesama. Kemudian sayup-sayup terdengar: “Maukah kau jadi roti yang terpecah bagi-Ku – Maukah kau jadi anggur yang tercurah bagi-Ku – Maukah kau jadi saksi memb’ritakan Injil-Ku – Melayani, mengasihi lebih sungguh.”
Penulis adalah warga Lingkungan Petrus 5