Perayaan World Marriage Day, 11 Februari 2018

SAMPAI dengan tahun 1981, setiap 14 Februari umat Nasrani memiliki tradisi merayakan Hari Kasih Sayang yang biasa disebut Valentine’s Day.  Pada tanggal itu, biasanya para pemuda mempersembahkan sekuntum mawar untuk gadis yang dicintainya. Atau orang saling memberikan coklat berbentuk indah untuk sahabatnya.

Lalu, bagaimana dengan pasangan kekasih yang sudah mengikatkan diri dalam Sakramen Perkawinan? Justru seharusnya mereka lebih konsisten mengekspresikan kasih sayang demi memperjuangkan kesetiaan satu sama lain hingga relasi mereka dapat terjalin abadi.

Pada tahun 1981  beberapa pasangan suami-istri Marriage Encounter di kota Baton Roug – Louisiana, Amerika Serikat,  menghadap  Walikota, Gubernur, dan Uskup di kota tersebut.

Mereka meminta agar Hari Valentine dirayakan pula sebagai hari “Kami Percaya terhadap Perkawinan (We Believe in Marriage Day) “.   Permintaan itu disetujui oleh para pejabat kota Baton Roug. Dua tahun kemudian, nama hari itu diganti menjadi World Marriage Day.

Tujuan Hari Perkawinan Sedunia, untuk menghormati suami -istri sebagai kepala keluarga, yaitu unit basis masyarakat. Perayaan ini juga hendak menjunjung tinggi keindahan kesetiaan pasutri, pengorbanan, dan kegembiraan dalam hidup perkawinan setiap hari.

Artinya, pasutri diajak untuk menyadari dan menghangatkan kembali kesatuan hati di antara mereka, dan menyadari peran penting mereka dalam memelihara kesatuan keluarga.

Motto  World Marriage Day adalah “Cintailah Satu Sama Lain” yang diambil dari Injil Yohanes 15:12.

Lambang WMD adalah dua lilin berbentuk manusia yang disatukan oleh gambar hati.  Simbol lilin mengingatkan bahwa cinta perkawinan memanggil kita untuk membantu menerangi dunia. Pasangan suami-istri dipersatukan oleh sebuah hati agar mereka  terus memusatkan pikiran dan hatinya pada cinta sebagai kekuatan untuk saling memberi hidup. (tulisan Romo Anton Konseng, Pr).

 Dari tahun ke tahun, perayaan WMD semakin menyebar hingga  ke seluruh dunia. Ditetapkanlah hari penyelenggaraannya, yaitu  pada Minggu kedua Februari. Tata perayaannya pun semakin disempurnakan.

 

Di  Gereja St. Thomas Rasul

Tahun 2018, paroki kita mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah  World Marriage Day  Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Tepatnya, pada Minggu, 11 Februari, pukul 11.00.  Panitia penyelenggara momen ini diketuai oleh pasangan Riyanto dan Tantya.

Ada 118 pasutri dengan usia perkawinan lebih dari 40 tahun yang terdaftar. Sedangkan jumlah keseluruhan umat yang hadir sekitar 900 orang. Mereka datang dari berbagai paroki se-KAJ.

Bagi pasangan yang usia perkawinannya belum mencapai 40 tahun, bisa langsung duduk di dalam gereja sebagaimana hendak menghadiri Misa.

Akan tetapi, pasangan suami-istri yang sudah menikah lebih dari 40 tahun mendapat keistimewaan dari panitia. Sebelum Ekaristi dimulai, mereka dipersilakan menunggu di tenda putih, duduk melingkari meja makan bundar dengan karangan bunga meja bernuansa putih dan biru.

Para “mempelai pria”  berkemeja putih dengan celana panjang hitam, berdasi kupu-kupu warna biru. “Mempelai wanita” menggenggam hand-bouquette  yang senada dengan warna dasi suaminya, yaitu nuansa biru dikombinasikan warna putih.

Menjelang pukul 11.00, para pengantin VIP ini mulai bersiap-siap menuju gereja. Mereka berbaris berpasangan.

Dua pasang pengantin cilik berjalan paling depan, diikuti beberapa pasutri yang masih muda. Nah, berikutnya, 118  pasang Pengantin Istimewa  berjalan memasuki gereja.

Sungguh mengharukan, menyaksikan Opa-Oma berjalan perlahan-lahan bergandengan tangan, diiringi lagu perarakan yang dipersembahkan oleh Paduan Suara Vox Angelorum dari Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel.

Meski sudah tak sesigap dulu lagi, kebahagiaan tampak berpendar di wajah mereka. Ada yang penglihatannya sudah tak begitu terang lagi. Ada yang pendengarannya sudah kurang jelas.  Ada pula yang berjalan tertatih-tatih dituntun oleh orang muda. Namun, ia menolak memakai kursi roda. Opa itu begitu bersemangat, berusaha berjalan sampai ke bangku yang tersedia di depan altar.

Yang terakhir adalah rombongan misdinar, lektor, dan delapan pastor.  Perayaan Ekaristi  khusus ini dipersembahkan oleh Vikaris Episkopalis (Vikep) KAJ, Romo Andang Listya Binawan SJ, beserta Romo Paulus Dwi Hardianto Pr, Romo Sarto Miktada SVD, Romo Hieronimus Sridanto Aribowo Nataantaka Pr,  Romo Alexander Erwin MSF, Romo Hibertus Hartono MSF, Romo Susilo Nugroho CP, dan Romo Folata Laila CICM.

Dalam homili, Romo Andang bertanya, “Apakah Opa Oma dan Bapak Ibu masih ingat dahulu… siapakah yang memberi Sakramen Perkawinan?”

Ada tujuh orang yang menjawab. Rata-rata menyebutkan nama pastor. Ada juga yang sudah tidak ingat lagi.

“Semua jawaban itu  saa…lah!” seru Romo Andang. Pertanyaan Romo Andang  sangatlah menjebak.

Yang benar, suami memberikan Sakramen kepada istrinya. Dan istri memberikan Sakramen kepada suaminya!  “Perkawinan itu bermakna Sakramen ketika sepasang anak manusia saling mengucapkan janji. Jadi, pada saat itulah mereka menjadi Sakramen bagi pasangannya,”   tandas Romo Andang, disambut gemuruh  tawa umat yang terjebak oleh pertanyaan tadi.

Usai homili, berlangsung Pembaruan Janji Perkawinan. Handra Karnadi dan  Sally Tanet  yang usia perkawinannya sudah 40 tahun, berdiri di depan altar memperagakan Janji Perkawinan sebagai wakil dari 118 pasutri.

Semua pasangan yang hadir di dalam gereja saling berhadapan, memandangi wajah sang belahan jiwa yang sudah setia mendampinginya  sekian lama. Lalu, serentak mereka mengucapkan janji.

Mula-mula, para suami mengukuhkan kembali janji mereka sebagai suami. Kemudian giliran para istri yang mengulangi janji mereka sebagai istri. Terakhir, mereka bersama-sama memperbarui Janji Perkawinan sebagai suami-istri. Upacara berikutnya adalah Liturgi Ekaristi. Semuanya berjalan lancar hingga Misa berakhir.

Para undangan kembali beriringan menuju tenda putih. Berbagai macam hiburan telah menanti, mengiringi acara ramah-tamah.

 

Setia Memenuhi Janji

Pasangan Tedy dan Ricka (pasutri dari Wilayah Matius)  khusus mengenakan batik yang semotif. Mereka berjalan memasuki gereja sambil menenteng putri bungsunya yang baru berusia dua tahunan. Kakaknya tengah mengikuti pelajaran persiapan Komuni Pertama di GKP.  HUP Tedy dan Ricka bertepatan dengan Perayaan WMD pada 11 Februari.

“Kami adalah teman kuliah di BINUS. Namun, baru  tujuh tahun setelah selesai kuliah, kami menjalin hubungan,”  cerita Maya.

David Hartadi dan Mayasari, pasutri yang sudah 20 tahun menikah, datang jauh-jauh  dari Paroki Harapan Indah Gereja St. Albertus. Mereka baru saja mengikuti Marriage Encounter (ME) Angkatan ke-414 pada Desember 2017.  “Perkawinan kami dikaruniai dua anak, Marcella, 19 tahun, dan Ignatius, 15 tahun.”

Ada seorang Opa yang  sudah sangat sepuh, Opa Josef Sudhana, berusia 93 tahun. Ia  telah mengemudikan bahtera rumah tangga selama 65 tahun, didampingi  Oma Marcella Sudhana (86 tahun).  Sayangnya, MeRasul hanya berhasil memperoleh informasi bahwa mereka datang dari Paroki BSD Gereja St. Monika.  Keadaan waktu itu tidak memungkinkan untuk melakukan banyak tanya-jawab.

“Perjumpaan pertama kami, 51 tahun lalu. Waktu itu, saya masih  menjadi taruna atau kadet, tinggal di Asrama Angkatan Laut RI Salemba di depan UI, tahun 1965,” kenang John Brata, umat Paroki Pasar Minggu Gereja Keluarga Kudus.

Waktu itu,  John sedang bersiap-siap akan  berangkat ke Rusia. Tiba-tiba, ada seseorang lewat di depan kamarnya.

Lalu, ia bertanya kepada temannya, “Siapa itu?”

“Ooh… itu anak tante sebelah,” jawab temannya. “Waah… boleh juga,” seru John.

Kemudian orang-orang bilang, “Yaaah… kalau dia sudah bilang boleh juga, berarti bakalan dia yang dapat deh! “

Ternyata, benar. “Sayalah yang berhasil mendapatkan dia,” ungkapnya tertawa seraya melirik istrinya.

Sang istri, Chatarina Indrayani, mesem-mesem mendengar cerita suaminya.

Dulu, ia adalah perawat. Ia boleh pulang setiap Rabu dan Minggu. “Kebetulan Rabu ketika saya pulang,  Ibu saya sedang mengurus mess-nya (asrama tempat John Brata tinggal). Jadi, saya ketemu dia.”

Waktu pertama kali bertemu, Chatarina tidak punya perasaan apa-apa. “Pak John ini ‘kan teman kakak saya.” (Diam sejenak).

“Lalu,… ya… dia banyak beraksi!” (sambil senyum-senyum)

John sering datang, sering antar Chatarina pulang,  begitu seterusnya dan … “akhirnya, jadilah sampai sekarang!”  kata Chatarina bernostalgia. Ia dinikahi John Brata  “baru”  49 tahun lamanya.

Oma Louise, bolehkah saya tahu kisah indah masa lalu yang  akhirnya menyatukan Oma dengan Opa Bernard?”  tanya MeRasul.

“Ooo… kami bertemu ketika sedang berolah raga di sebuah lapangan di Yogyakarta. Pandang bertemu pandang, timbul getaran yang menyetrum hingga sekarang,”  cerita Oma  Louise sambil tertawa, memandangi suaminya, Opa Bernard.

Kini, Opa Bernard  yang berumur 84 tahun sudah tidak bisa mendengar dengan jelas lagi. Maka, ketika MeRasul hendak mengambil foto mereka berdua, dengan mesra tanpa berkata apa-apa, Oma Louise menarik tangan suaminya. Lalu, ia mengarahkan wajah suaminya ke arahnya. Di usia 78 tahun, Oma Louise masih sangat sehat. Mereka telah 59 tahun bersama-sama mengayuh biduk  rumah tangga.

Perkawinan pasutri Markus Sardjono dengan Theresia Sukatmi menghasilkan tiga anak dan tiga cucu. Perjumpaan mereka pertama kali di Jakarta sebagai rekan sekerja. Setelah masa penjajakan selama  dua tahun, mereka melangsungkan pernikahan pada 14 Agustus 1974.

“Menikah selama 43 tahun tentu saja ada rasa manis dan juga getir. Silih berganti,” tutur Theresia Sukatmi.  Pasutri ini adalah warga Paroki Bojong Indah.

Acara potong kue pengantin secara simbolik diwakili oleh pasutri Josef Sudhana dan pasutri Eddy Kencana.    Setelah itu, irisan wedding cake  dibagikan kepada seluruh undangan yang hadir di tenda putih.

Untuk mengenang kisah indah pertemuan mereka pada masa lalu, panitia mengadakan acara dansa. Lagu untuk berdansa mengalun romantis, menggerakkan  hati para Pasutri Istimewa  ini untuk memeluk soul mate – nya. Sekelebat kenangan manis puluhan tahun lalu terlintas di benak mereka. Awal perjumpaan yang telah mempersatukan mereka hingga sekarang.

Di balik perhelatan WMD, pasutri ini terlihat sibuk mengawasi semua urusan untuk keperluan acara. Pasutri Riyanto–Tantya  yang menikah pada 16 juni, 28 tahun yang lalu, dikaruniai tiga anak. Semua anaknya berada di Kanada. Pasutri ini menjadi warga Lingkungan Ignatius 4.

Ketertarikannya ikut ME karena mendapat rekomendasi dari saudara dan teman. Karena harus berdua, akhirnya Tantya mengajak pasangannya, Riyanto, mendaftar Weekend ME.

Kehidupan perkawinan mereka saat itu terasa garing, ditambah pasangannya sibuk bekerja. Sementara Tantya menjadi ibu rumah tangga, membuatnya kerap merasa jenuh. Situasi itu dirasakan oleh keduanya.

Jawaban tentang tujuan perkawinan tidak mereka dapatkan dengan pasti.  Keinginan mengikuti Weekend ME sebagai hadiah Valentine, yang kebetulan berlangsung tepat pada 14 Februari 2008.

Ajakan Tantya pada pasangannya, akhirnya disepakati. Mereka ikut Retret Weekend ME. Awalnya, mereka masih belum merasakan apa-apa setelah mengikuti Weekend ME. Namun, sejak saat itu Riyanto-Tantya merasa ditegur dan dipanggil. Mereka disadarkan akan arti perkawinan, yang sesungguhnya adalah menikmati anugerah yang luar biasa!

Sharing yang didengar dalam tim, menyentuh perasaan mereka meski sebelumnya tidak disadari. Hal ini menguatkan mereka untuk terus bertahan dalam komunitas ini.

Juli 2015, mereka dipercaya menjadi Koordinator ME Paroki (KorMEp) Sathora. Berbekal info dari perbincangan dengan teman saat pesta, Riyanto-Tantya didatangi anggota tim komunitas ME, dengan maksud berkenalan sekaligus mengajaknya untuk aktif. Padahal mereka tidak saling kenal sebelumnya.

Pasutri Yuni – Yayang, KorMEp lama, memberikan berkas lama kepadanya. Pertemuan dengan (Alm) Romo Gilbert, dirasakan sangat mensupport mereka untuk memegang tanggung jawab ME di Paroki Bojong.

Menurutnya, ME menjadikan setiap pasutri mendapatkan penyegaran dalam perkawinannya.  Pasutri ini berharap, Romo Paroki sekarang, Romo Suherman, akan mengikuti Weekend ME.

Perlu diketahui bahwa dalam Weekend ME, disarankan pastor juga mengikutinya sebagai peneguhan akan panggilannya.

“Bagaimana kami mampu bertanggung jawab menyukseskan acara WMD?  Kami merasakan dukungan dari teman-teman panitia dan tim yang ada dalam kepanitiaan,” ungkap mereka.

Sukses WMD 2018 Sathora, menurut Riyanto-Tantya, adalah sukses umat, khususnya komunitas ME Sathora. Antusiasme kerja dan saling mendukung satu sama lain serta campur tangan Tuhan adalah kunci suksesnya WMD ini.

Menurutnya, di dalam ME, mereka lebih memaknai hidup perkawinan. Kalau dulu kehidupan perkawinan dijalani seperti air mengalir, sekarang mereka bisa mengayuh bahtera perkawinan. Dulu saling menyalahkan dan tidak ada yang mau mengalah, sekarang lebih mau mendengarkan, berdiskusi, dan lebih sabar.

Di dalam komunitas ME, mereka diingatkan untuk saling memuji, tidak mencela dan menjatuhkan pasangan. Hidup perkawinan menjadi bermakna, menjadi role model bagi anak-anak dan lingkungan.

Pasutri Pocky – Acu memandang pasutri katolik saat ini, sangat merasakan bersyukur atas panggikan hidup perkawinan yang dianugerahkan Tuhan kepada para pasutri. Mereka semua adalah saksi cinta kasih sejati yang rela berkorban untuk kesejahteraan satu sama lain, saling melayani untuk kebahagiaan dan kesucian hidup. Para pasutri boleh menjadi tanda kasih Allah juga untuk sesama. Anugerah ini harus diperjuangkan bersama-sama seumur hidup. Ini bukan tanpa tantangan dan kesulitan karena keterbatasan manusiawi. Perlu diketahui bahwa saat inipun banyak pasutri katolik yang juga mengalami kegagalan dengan berbagai alasan. Namun yakin itu bukan tujuan perkawinan yang diinginkan. Karena itu perlu saling mendukung dan mendoakan agar kekudusan sakramen perkawinan janganlah dikalahkan oleh egoisme dan selera hidup sendiri.

Salah satu bantuan untuk menjaga dan mempertahankan keharmonisan relasi suami istri yang pastinya berguna juga untuk keluarga ialah Marriage Encounter (ME). Bagi mereka, ME sangat membantu menjaga dan mengembangkan relasi dan komunikasi  suami istri dalam suatu perkawinan. Mereka sadar bahwa ME bukanlah semacam  bengkel yang siap mereparasi yang rusak.  ME menawarkan metode atas dasar iman, kasih dan kesetaraan manusiawi  untuk bisa digunakan para suami istri dalam memperdalam relasi dan komunikasi. Keterbukaan hati untuk bekerjasama dan ketulusan suami istri demi kesejahteraan lahir batin bersama sangat diperlukan dalam memanfaatkan ajaran dan tips yang ditawarkan ME. Para pasutri diajak untuk membangun relasi dan komunikasi yang dalam  serta mendengar dengan empati  pasangannya. Dimulai dengan mengubah diri sendiri dan bukan pertama-tama mengubah pasangan.

Sebagai Koordinator Distrik ME I Jakarta, Pocky – Acu menyampaikan, bahwa hampir di setiap paroki di KAJ ada komunitas ME. “Kami menjadi bagian dari Gereja dan melayani bersama Gereja. Puji Tuhan, kami merasa senang dapat melayani dan berjalan bersama-sama dengan sahabat pasutri di dalam komunitas ME. Kita mempunyai visi dan misi yang sama di dalam membangun relasi perkawinan berdasarkan sakramentalitas perkawinan Katolik. Relasi Perkawinan suami isteri adalah proyek seumur hidup yang harus terus kita perjuangkan.

Dalam komunitas ME kita saling mendukung dan mengingatkan untuk itu. Kami selalu berdoa agar para pasutri  katolik selalu dilindungi Tuhan dan bahagia dalam kesetiaannya seumur hidup seperti yang dijanjikannya saat menikah”.

Tuhan bersabda: “Apa yang telah disatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mrk 10:9).

Pasutri Handono– Ina, Koordinator Nasional (KorNas) ME Indonesia, melihat penyelenggaraan WMD merupakan acara yang penting bagi para pasutri Katolik. WMD merupakan upaya Gereja untuk mengingatkan para pasutri akan pentingnya cinta Allah pada manusia yang terwujud dalam ikatan cinta kasih suami-istri.

Kesadaran pasutri itu harus terus dibangun agar mereka tidak lupa akan campur tangan Allah. Allah memelihara, meneguhkan ikatan, dan mendorong agar harapan akan dunia baru terus bertumbuh.

WMD jangan hanya menyentuh perasaan sukacita pasutri, tetapi harus  berperan memberi semangat baru dan menyadarkan pasutri bahwa mereka merupakan representasi kehadiran Allah di dunia ini.

ME adalah salah satu komunitas Katolik untuk meningkatkan relasi suami-istri yang sudah diakui di seluruh dunia. Yang mengikuti Weekend ME bukanlah pasutri yang bermasalah, tetapi yang berniat untuk menjadi lebih baik lagi. Setelah Weekend ME, ada kelanjutan di mana ada proses saling belajar. Hidup perkawinan adalah pembelajaran.

Pasutri Jimmy-Rika memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana sikap mereka menghadapi masalah ataupun jika sedang bersukacita. Situasi ini selalu ada dalam keluarga.

Saat ada masalah keluarga, pasutri Jimmy-Rika selalu bertukar pikiran untuk mencari solusi terbaik dan tentu berdoa memohon pertolongan Tuhan. Begitu juga saat mengalami sukacita, mereka berdua kerap share perasaan masing-masing atas peristiwa yang baru mereka alami dan bersyukur atas kebaikan Tuhan untuk keluarganya.

Sinta & Berto