SENYUM senantiasa mengembang di wajah Ibu Teresa. Aura kedamaian dirasakan oleh orang-orang yang memandangnya. Kasih sayangnya berpendar hingga berbagai belahan dunia. Pengabdiannya membuat banyak orang berdecak kagum. Kisah hidupnya begitu fenomenal. Kita menjadi saksi hidup akan pengabdiannya terhadap kaum papa.

Bungsu dari empat bersaudara ini memulai perjalanan  Katoliknya sejak usia 5,5 tahun. Pada usia 17 tahun ia merespons panggilan Tuhan untuk menjadi misionaris Katolik, Sisters of Loretto di India.

Tetapi, tak lama kemudian, ia memutuskan untuk meninggalkan biara tersebut. “Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin dan tinggal dengan mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman,” ungkapnya tentang sebuah ingatan yang mendalam.

“By Blood, I am Albanian. By citizenship, an Indian. By faith, I am a Catholic nun. As to my calling, I belong to the world. As to my heart, I belong entirely to the heart of Jesus.”

Selama hidupnya, ia merawat yang lapar, telanjang, tuna wisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat, dan dihindari oleh semua orang.  Pelayanan wanita bernama asli Agnes Gonxha Bojaxhiu sangat mendunia. Bersama Missionaries of Charity (Ordo MC Red) ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra, dan TBC.

Puncaknya, ketika ia mendapat Nobel Perdamaian dan mendapat hadiah uang 6.000 U$D yang ia sumbangkan kepada masyarakat miskin di Kalkuta. Menurutnya, penghargaan duniawi menjadi penting hanya ketika penghargaan tersebut dapat  menolong dunia yang membutuhkan.

Pelayanan Bunda Teresa sama sekali tidak mengenal batas. Dipupuk di kampung halamannya, ia mengawali pelayanan di India. Dari India, pelayanannya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia. Ia berkunjung ke Ethiopia untuk menolong korban kelaparan, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa bumi di Armenia.

Setelah terkena serangan jantung pada tahun 1989, kesehatannya semakin merosot. Sebagian karena usianya, sebagian karena kondisi tempat tinggalnya, sebagian lain karena perjalanannya ke berbagai penjuru dunia.

Ia wafat pada 5 September 1997 dalam usia 87 tahun. Pemakamannya dihadiri 23 petinggi negara dan ribuan orang yang pernah dilayaninya.

Ia menjadi wanita “terkudus” menurut mendiang Paus Yohanes Paulus II, dan akhirnya diberi gelar Beata (pengakuan yang diberikan Gereja terhadap orang yang telah meninggal bahwa orang tersebut dianggap telah bekerja sangat keras untuk kebaikan atau memiliki keistimewaan secara spiritual, Red). Pada 13 September 2016, Paus Fransiskus mengangkat Bunda Teresa menjadi Santa.

Menurut  RD Reynaldo Antoni Haryanto, “Kesucian bukan terletak pada nihilnya dosa dan kesalahan, tetapi terletak pada kemauan untuk terus-menerus bertobat dan memperbaiki diri dari kesalahan, mau membuka diri terhadap kasih dan pengampunan.“

Pernyataan di atas, setidaknya bisa membuka mata umat bahwa diangkat menjadi Orang Kudus itu harus siap dan mau melakukan proses bertobat dan memperbaiki diri, serta membuka diri terhadap kasih dan pengampunan.

Nila, dari berbagai sumber