WAKTU itu, Megawati Soekarnoputri belum menjadi presiden. Sebelumnya, orang nomor satu di republik ini kaum pria. Pada saat itu seorang pimpinan biarawati memberi kesempatan kepada suster-susternya untuk kuliah Master. Tidak tanggung-tanggung sampai ke Roma, Italia.

Sayangnya, suara sumbang bermunculan. Bahkan pejabat keuskupan tempat pusat kongregasi itu beralamat pun menanggapi dengan sinis. “Buat apa suster kuliah tinggi-tinggi. Toh, nanti ke dapur juga,” kenang suster yang menjadi provinsial itu. Provinsial adalah pimpinan suatu ordo, tarekat, atau kongregasi biarawan-biarawati.

Untunglah, tanggapan sinis itu diabaikan. Setelah lulus, ketiga suster yang studi di luar negeri itu memang tidak bertugas di dapur. Mereka menjadi pimpinan asrama, kepala sekolah, dan dosen perguruan tinggi Katolik.

Dapur dan perempuan adalah konotasi yang melekat pada kaum hawa. Di dapur, umumnya perempuan meracik bahan-bahan mentah menjadi makanan yang enak, lezat, sehat, dan menarik. Sebenarnya, anggapan itu tidak melulu sebagai pandangan negatif. Sebab, berkat tangan-tangan yang piawai tadi, berbagai bahan menjadi sajian luar biasa untuk disantap. Dengan demikian, dibutuhkan keahlian khusus. Dan, faktanya, sekarang ini banyak laki-laki yang menekuni pekerjaan di dapur. Bahkan, mereka menjadi koki terkenal.

Kembali pada suster berpendidikan tinggi, apakah salah? Ya, tentu salah bila kita melihat dari kacamata masyarakat yang menganut budaya patriarki dan tradisional. Kenyataannya, zaman telah berubah. Perempuan memiliki tempat setara dengan kaum adam. Maka, kalau masih berpikiran seperti pejabat keuskupan tadi, akan menjadi bahan tertawaan. Istilah anak remaja: hareee geneee masih ngerendahin perempuan?

Sejarah Gereja juga telah melalui proses panjang. Sejarah bangsa Israel yang menjunjung budaya patriarki tentu mempengaruhi sikap Gereja perdana. Selama abad pertengahan pun para teolog sangat dipengaruhi oleh pandangan negatif tentang perempuan.

Mereka menilai perempuan sebagai pria yang tidak sempurna. Bentuk diskriminasi muncul dalam bentuk perempuan tidak boleh menerima Komuni saat datang bulan, tidak boleh membagikan Komuni saat Misa, tidak boleh menyentuh barang-barang liturgi, membaca Kitab Suci waktu Misa,  dll.

Pengakuan sama akan martabat perempuan dan laki-laki kemudian dapat terwujud lewat perjuangan yang lama. Kini, perempuan memiliki peranan yang lebih luas. Paus Johanes Paulus II pada tahun 1988 mengeluarkan Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (Martabat Perempuan). Di sana dinyatakan bahwa saatnya akan datang, dan nyatanya sudah datang, di mana panggilan kaum perempuan diakui kepenuhannya; saat di mana kaum perempuan di dunia ini memiliki pengaruh, hasil, dan kuasa yang telah dicapainya hingga saat ini.

Sejarah Gereja juga mencatat peranan para perempuan dalam karya keselamatan. Kita bisa lihat Ester, Mryam, Debora, Sifra dan Pua, Rut, Hana, Maria Magdalena, Yohana, Susana, perempuan-perempuan yang hadir saat di ruang atas, perempuan-perempuan yang menjadi saksi kebangkitan Yesus. Dan , terutama Maria, Ibu Yesus. Mereka adalah perempuan yang dipakai Allah untuk karya penyelamatan.

Seorang imam pernah menyampaikan: hukum Gereja bukan hukum ilahi, oleh karena itu Gereja sendiri yang bisa mengubah sesuai dengan perkembangan jaman. Maka, bukan sesuatu yang luar biasa bila perempuan menjadi prodiakon atau misdinar. Sebab, di mata Allah, laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama seturut citra Allah. Perempuan jadi pastor? Entahlah. Peziarahan Gereja yang akan menjawabnya nanti.

 

Bobby Pr, penulis biografi

 

Foto:

Karya para suster tidak lagi hanya di dapur.

Sr. Maria Fransiska FSGM