Oleh Maria Surtinah
CARA lelaki itu menawarkan dagangannya khas sekali. Mulutnya menyeringai, maksudnya tersenyum ramah. Lalu, bibirnya merepet bagaikan kereta kilat melafalkan tegur sapa pembukaan, “Aiihh! Aiiihh! Si eneng, hehehe! Apa kabar udah lama ngga dateng? Hehehe! Moga-moga baek ajah yah! Hehehe! Semuanya sehat yah, neng… Hehehe! Si mamih gimana? Si boi sehat-sehat? Hehee! Alhamdulilah! Saya seneng lihat eneng sakaluwarga semua baek-baek , benerrr! Saya teh tuluuuss doain orang… hehehe….”
Setelah napas satu hirupan, ia melanjutkan ke tujuan utamanya, yaitu menawarkan dagangannya. “Ayo, Neng! Sok dibeli atuh gemblong saya. Hehehe! Enaaaak masih angeeet. Hehehe! Saya barusan ngambil dari Ibu Juju. Niiih… coba pegang. Masih angeett… hehehe….”
Tangannya yang kasar, kering, dan dekil menurunkan satu lapis keranjang tentengan gemblong untuk mengambil kantong plastik dan japitan kue.
“Ambil sapuluh apa dua puluh, Neng? Ah, udaaah! Hehehe… Si Eneng teh jarang kemari, sok ambil banyakan atuh. Hehehe…. Biar saya kebagian rejeki dari Eneng. Ya Neng, yaaa… hehehe….” Matanya menatap penuh harap. Kerutan di wajahnya terlihat kering karena disengat matahari dan tak terawat.
Sebenarnya Dian kasihan melihat tukang gemblong ini. Tapi, bagaimana? Kue itu terlalu manis baginya. Keluarganya bukanlah penggemar makanan manis. Jadi, bila membeli banyak-banyak, pasti gemblong itu cuma jadi makanan semut.
Dian dan suaminya sangat menyukai sejuknya udara pegunungan. Tiga tahun yang lalu, mereka sepakat membeli sebuah vila dua lantai dengan tiga kamar tidur. Rasanya senang sekali mendandani rumah mungil itu. Dinding rumah dicat warna hijau muda nan lembut. Diisinya vila itu dengan perabot seperlunya. Tidak mewah, namun nyaman. Minimal satu kali sebulan, Dian sekeluarga menikmati liburan di situ. Kompleks vila mulai ramai pada Jumat malam dan minggu sore kembali sepi.
Tukang gemblong sudah hafal wajah para pemilik vila. Begitu melihat Dian sebagai wajah baru, ia langsung datang menawarkan gemblongnya. Mula-mula, sebagai rasa syukur karena bisa memiliki vila, Dian membeli sepuluh butir. Tetapi, begitu ada pembeli yang memborong sepuluh biji sekaligus, orang itu kembali mendatanginya. Dua tiga kali, Dian masih sabar. Buru-buru dibelinya supaya orang itu segera pergi tanpa ngoceh panjang lebar. Suaminya terganggu akan strategi marketing-nya itu.
Tapi, ternyata si tukang gemblong malah merasa mendapat pelanggan tetap! Ia terus-terusan mencari Dian. Lagi… dan lagi. Lama-lama Dian kesal. Begitu terlihat dari jauh, Dian langsung masuk ke dalam vilanya.
Namun, kali ini, ada yang berbeda. “Kenapa Bapak kurus sekali?” tanya Dian.
“Saya baru sakit, Neng!” jawabnya.
“Sakit apa?”
“Biasa. Hehhee… masuk angin, Neng. Saya batuk-batuk nggak bisa brenti.”
“Sudah berapa lama?”
“Ada kira-kira dua bulan, Neng. Tapi, nggak papah. Hehehe! Ini sudah sembuh. Makanya, saya jualan lagi. Hehehe… ” Tangannya membuka kantong plastik dan mengambil japitan. Siap menunggu order Dian.
Dian menghela napas panjang. “Pak… saya tidak bisa terus-terusan beli gemblong ini. Keluarga saya tidak ada yang suka. Dulu, saya beli, lantaran cuma mau bantuin Bapak saja,” kata Dian.
“Yaah. Buat nolongin saya ajah, Neng! Hehehe! Kasih aja ke supir atau bibinya. Hehehe…. Beli sapuluh saya tambahin satu deh! Ini mah biar saya dapet uang sedikit buat makan hari ini ajaaah. Hehehe…,” katanya memelas.
Aduhhh! Satu saja tidak ada yang makan, apalagi sepuluh ekstra satu!
“Pak, seandainya Bapak jualan makanan lain seperti risol, nasi uduk, atau bihun goreng, saya masih bisa beli. Maaf, Pak. Beneran, keluarga saya tidak ada yang suka gemblong.”
Tukang gemblong terdiam. “Saya teh sebenernya kepingin jualan yang lain, Neng. Tapinya… hehehe! Saya ngga ada modalnya. Ini saja saya cuma dapat komisi dari si boss. Kalo laku, saya dapat sapuluh persennya. Kalau saya bisa bawa pulang sapuluh rebu ajah, hehehe… saya mah udah seneng, Neng.” Kepalanya menunduk.
“Bapak ingin jualan apa, kalo ada modal?” tanya Dian.
“Yah… saya teh sudah lama kepingin jualan bakso, Neng. Kalau vila lagi rame, tamu-tamu pada manggilin tukang bakso. Laris sekali ya? Saya teh cuma bisa melihatnya ajaah. Gemblong saya mah ngga bakal bisa selaris bakso,” ujarnya sambil mengamati gemblongnya yang masih tertata rapi. Kelihatan baru laku sedikit sekali.
Trenyuh juga rasanya melihat wajah lelaki itu. Dian bertanya, “Sudah tahukah berapa modalnya buat jualan bakso?”
Jumlah itu bagi Dian bukanlah modal besar. Tanpa ragu, Dian memberikan sedikit lebih banyak dari yang disebutkan si tukang gemblong.
“Bawalah, Pak! Nanti kalau saya datang lagi, saya kepingin jajan bakso jualan Bapak,” kata Dian sambil tersenyum.
Tukang gemblong terperanjat. “Aihh…. Jangan, Neng! Saya nggak berani ngutang. Takut ngga bisa bayar! Sok dibeli ajah gemblong saya ini. Kalo Eneng ambil sapuluh biji, saya sudah bersyukur. Benerrr, Neng!”
“Pak, saya sudah bilang, saya tidak mungkin beli gemblong terus-terusan. Tidak bisa dimakan. Maka itu saya kepingin Bapak jualan bakso. Ayolah diterima. Mudah-mudahan Bapak bisa dapat rejeki lebih baik,” kata Dian.
“Kalo gitu tolong ambil gemblong saya atuh Neng! Berapa ajah, biar saya jangan utang. Saya takut nanti kalo ngga bisa kembaliin duit Eneng, gimana?” Wajahnya campur aduk antara bingung, takut dan tidak percaya. “Hehehe”-nya mendadak hilang entah mulai kapan.
Dian mengambil tiga butir. “Nah! Sekarang, Bapak pulanglah. Segera mulai siap-siap untuk jualan bakso.”
Tukang gemblong menatap Dian dengan ternganga. “Ini bener ikhlas, Neng? Saya ngga tau Neng, bisa balikin duit Eneng atau enggak.”
Dian tersenyum. “Pokoknya, bulan depan saya mau makan bakso.” Tukang gemblong pergi setengah linglung.
Dua bulan kemudian.
Dian duduk di teras menunggu si tukang gemblong eh… tukang bakso datang. Tapi, yang ditunggunya tidak muncul sampai sore. Dian pergi ke Pujasera di tengah kompleks, mencari jajanan. Tiba-tiba, matanya menangkap sekelebat sosok yang ia kenal.
“Pak!” panggil Dian. Hingga kini, Dian tak pernah tahu nama orang itu. Dian melirik ke tangannya. Lelaki itu masih menenteng keranjang jajanan khasnya. Jadi, ia masih belum bisa dipanggil Tukang Bakso.
“Aihh! Eneng! Kapan dateng? Hehehe….” Ia menyeringai salah tingkah. Lalu, ia bersimpuh di hadapan Dian. Kedua telapak tangannya mengatup rapat di depan dadanya. Dian menatapnya bertanya-tanya.
“Hehehe… Maaf, Neng! Saya belum bisa jualan bakso…. hehehe… maaf.” Dia menundukkan kepala.
“Saya menunggu Bapak dari siang sampai kelaparan. Kenapa masih jualan gemblong?” tanya Dian. Ia tak berharap uangnya kembali. Yang ia inginkan situkang gemblong sudah ganti berjualan bakso.
“Neng, saya ke vilanya Eneng aja. Di sini banyak orang. Hehehe… ngga enak…,” kata lelaki kurus itu.
Di teras vila, Dian mendengarkan laporan pertanggungjawaban tukang gemblong atas uang yang diterimanya dua bulan yang lalu.
“Waktu pulang bawa uang dari Eneng, saya berdoa sepanjang jalan bilang terima kasih sama Gusti, saya sudah dipertemukan sama Eneng. Saya sudah mikir-mikir gimana bikin pikulannya. Tapi, sampe rumah, anak saya sakit demam. Panas sekali. Istri saya kebingungan mau bagaimana. Saya bawa anak saya ke puskesmas, Neng. Jadinya, saya pakai uang Eneng buat berobat anak saya. Untung Eneng kasih saya uang. Kalo ngga, anak saya semata wayang sudah mati dua bulan yang lalu. Saya mohon maaf, Neng! Maka itu, saya ngga dateng kemari lagi. Saya ngerti, Eneng ngga suka gemblong.”
Dian tertegun. “Umur berapa anak Bapak?”
“Lima belas tahun. Tapinya anak saya teh ngga bisa ngapa-ngapain, Neng. Ibunya ajah yang nungguin di rumah.”
Dian tak mengerti, apa maksudnya ngga bisa ngapa-ngapain. Ingin tanya lebih lanjut, Dian tak enak hati.
Tukang gemblong bangkit dan pamit. Dian menghela napas panjang. “Bapak, masih kepinginkah jualan bakso?”
Jawabnya getir, “Kepingin teh kepingin. Tapi Gusti maunya saya jualan gemblong. Yah…saya mah pasrah ajah. Permisi, neng. Puunten!”
“Tunggu!” Seru Dian. “Ini! Ada kesempatan sekali lagi. Ayolah! Mudah-mudahan kali ini tidak ada halangan.” Dian mengulurkan tangannya.
Tukang gemblong menggoyangkan tangannya. “Jangan, Neng! Terima kasih banyak. Saya malu. Nanti makin banyak hutang saya sama Eneng.”
Namun, Dian memintanya mengambilkan sepuluh butir gemblong untuknya. Tukang gemblong mematuhi permintaan Dian seraya menunduk. Setetes air jatuh di atas punggung tangan orang itu.
“Matur nuhun, Neng! Saya ngga mungkin bisa bayar hutang ini. Semoga Gusti membalas kebaikan Eneng selalu,” katanya pelan, sambil meletakkan jinjingannya ke pundak. “Puunten.”
Sebulan, dua bulan, tiga bulan… lelaki itu tak pernah kelihatan lagi.
Dian bertanya kepada ibu yang bekerja mencabuti rumput-rumput liar di halamannya.
Ibu itu berkata, “Ooh… kasihan dia, Neng! Anaknya cuma satu kena polio. Ibu dengar tiga bulan yang lalu anaknya sakit ngga ketolongan. Habis itu, bapaknya udah ngga pernah keliling jualan gemblong. Ngga tau sekarang ke mana dia.”
Dian memejamkan mata. Tuhan…Garis apakah yang Kau goreskan di tangannya? Kuyakin, Engkau menyayanginya seperti Kau mencintai daku. Dan kuyakin, iapun akan menjumpai keindahan pada waktunya.