GEREJA Katolik Santa Maria de Fatima, Toasebio, adalah salah satu gereja tertua di Keuskupan Agung Jakarta. Berawal dari sebuah bangunan rumah tinggal bergaya arsitektur asli Tionghoa, yang kemudian beralih menjadi gereja.

Gereja St. Maria de Fatima terletak di Jalan Kemenangan, Glodok, Tamansari, Jakarta Barat. Saat itu, Jalan Kemenangan bernama Toosebiostraat. Nama Gereja Santa Maria de Fatima dikenal juga sebagai Gereja Toasebio.

Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ, Vikaris Apostolik Jakarta saat itu, memberi tugas kepada Pastor Wilhelmus Krause Van Eeden SJ untuk membeli sebidang tanah  guna mendirikan gereja, sekolah, dan asrama bagi orang Hoakiau (China perantau).

Pastor Conradus Braunmandl SJ, Pastor Zwaans SJ, dan Pastor Carolus Staudinger SJ yang baru mendarat dari daratan China, mengembangkan Gereja di daerah Pecinan ini, mendirikan sebuah asrama dan sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Ricci. Nama Sekolah Ricci berasal dari Matteo Ricci, seorang misionaris Yesuit yang berhasil memasuki daratan China dan sangat berjasa di sana.

Pastor Antonius Loew SJ yang berasal dari Austria menjadi pastor kepala pertama. Dibantu oleh Pastor Leitenbauer SJ, ia mengelola Sekolah Ricci. Usaha P. Leitenbauer yang dibantu oleh P. Braunmandl, dan P. Loew untuk mengembangkan Sekolah Ricci ternyata cukup berhasil. Kemudian mereka mulai membuka juga kursus Bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin, yang dikenal dengan sebutan Ricci Evening School.

Seiring berjalannya waktu dan melihat banyaknya umat keturunan Tionghoa, maka didatangkanlah seorang pastor dari China bernama Joannes Tsheng Chau Ming SJ. Ia mencoba memanfaatkan gedung kosong yang ada di belakang gereja dengan menjadikannya sebagai asrama bagi siswa-siswa dari luar daerah, yang bersekolah di SMP Tionghoa di Jakarta. Untuk mereka, Pastor Tsheng mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Ricci Youth Center.

Oleh karena jumlah umat semakin bertambah, pada tahun 1953 dibelilah sebidang tanah seluas 1 ha dari seorang kapitan bermarga Tjioe. Ia adalah seorang bangsawan China yang kaya-raya pada saat itu. Di atas tanah itu sudah berdiri sebuah bangunan utama dengan dua bangunan yang mengapit, serta di depan bangunan utama terdapat dua patung singa. Patung tersebut merupakan lambang kemegahan bangsawan China.

Bangunan tersebut digunakan sebagai kapel, kemudian diperluas menjadi gereja. Tidak banyak yang berubah dari bangunan Gereja Toasebio sampai saat ini. Terlihat jelas struktur dan bentuk bangunan yang bergaya seperti rumah bangsawan pada saat itu.

Gereja diakui secara resmi sebagai paroki pada 13 Oktober 1955. Pengambilan nama Santa Maria de Fatima sebagai nama paroki adalah untuk mengenang peristiwa penampakan Santa Maria kepada tiga anak di Fatima, Portugal, pada tahun 1917.

Gereja Santa Maria de Fatima berdiri di tengah permukiman penduduk yang padat. Dengan meneladan Santa Maria yang baik, lemah lembut, dan mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, Gereja melaksanakan karya pastoral agama Katolik sambil tetap menjaga kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Gereja selalu mengupayakan kedamaian dalam keberagaman budaya dan kepercayaan. Gereja pun menunjukkan kasih Kristus dalam wujud-wujud kepedulian pada berbagai kesempatan.

Mulai tahun 1970, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ menawarkan Paroki Toasebio dipimpin oleh Serikat Xaverian (SX). Paroki Toasebio diserahterimakan kepada Pastor SX. Semasa pelayanannya, beliau dibantu oleh Pastor Vincenzo Salis SX, Pastor Guido Paolucci SX, dan Pastor Bruno Spina SX. Banyak kemajuan yang dicapai oleh Paroki Toasebio di bawah kepimpinan Pastor Otello, seperti renovasi gereja, penggantian lantai dan langit-langit, serta penataan tempat untuk takhta patung Maria de Fatima dan patung Hati Kudus Yesus serta pemasangan dan pemberkatan lukisan Yesus yang terbuat dari ukiran kayu.

Saat ini, Paroki Toasebio dipimpin oleh Pastor Fernando Abis SX dibantu pastor rekan, Pastor Yonas Mallisa SX dan Pastor Salvador Cruz Rojo SX.

Gereja Toasebio memiliki luas keseluruhan termasuk pastoran, lapangan parkir, dan Gedung Gembala Baik sebesar 3.525 m2. Wilayah Paroki Toasebio mencakup Glodok, Jembatan Lima, Tambora, Tanah Sereal, Krendang, Pekojan, dan Penjaringan.

Paroki Toasebio adalah salah satu contoh hasil inkulturasi antara budaya Tionghoa dan agama Katolik karena sebagian besar umat Paroki Toasebio adalah keturunan Tionghoa yang secara geografis tinggal di daerah ‘pecinan’ Jakarta. Kita masih akan menemukan banyak unsur kebudayaan, seperti bangunan gereja yang menyerupai klenteng serta kegiatan-kegiatan yang berhubungan erat dengan kebudayaan etnis Tionghoa.

Beberapa arsitektur khas bangunan gereja ini, antara lain bagian atap bangunan terlihat dengan jelas kedua ujung wuwungan (puncak rumah yang atapnya berbentuk huruf V terbalik) mencuat. Pelisir atapnya tampak tiga kombinasi warna, yaitu merah, hijau daun, dan kuning emas. Pada pelisir atap itu juga ada hiasan berupa bunga dan buah-buahan serta tulisan dalam huruf Tionghoa. Hiasan bunga dan buah-buahan bermakna kedamaian dan kesejahteraan. Sedangkan warna merah yang dominan berarti kegembiraan.

Pada bagian pelisir atap bangunan utama (bagian depan) terdapat tulisan dalam huruf Tionghoa (dengan versi Kanton): Hok Shau Kang Ning, yang berarti rumah/tempat kedamaian. Di pelisir atap bangunan sayap kanan terdapat tulisan: Chuan Chau Fu, diperkirakan merupakan nama keluarga pemilik bangunan itu. Di pelisir atap bangunan sayap kiri terdapat tulisan: Nan An Shien, yang diperkirakan sebagai salah satu wilayah di Tionghoa, yang merupakan tempat asal keluarga Chuan tadi. Sedangkan di pelisir atap bangunan bagian belakang terdapat tulisan: Hok Cia Phin An, yang berarti sekeluarga aman sentosa.

Seperti kebanyakan rumah tradisional Tionghoa, bangunan itu terdiri dari tiga bangunan berderet ke belakang. Antara bangunan pertama (utama) dengan bangunan kedua terdapat ruang terbuka untuk tempat berkumpul keluarga atau tempat sembahyang bersama. Setelah dibeli oleh pihak Gereja, ruang terbuka itu ditutup dan dijadikan ruang gereja. Sementara tempat sembahyang keluarga dijadikan altar gereja.

Keberadaan bangunan Gereja Katolik St. Maria de Fatima secara resmi dilindungi oleh pemerintah, karena merupakan bangunan bernilai sejarah dan budaya.

Nama Bukit Maria de Fatima adalah sebuah bukit yang dilengkapi dengan gua Maria. Diresmikan oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto SJ, pada 25 Oktober 1992. Misa pertama di depan Bukit Maria de Fatima diadakan pada 13 November 1992, yang diawali dengan doa rosario. Selanjutnya, pada tanggal 13 setiap bulan diadakan kegiatan seperti ini. Setiap bulan umat paroki secara bergiliran, menurut wilayah masing-masing, berdoa rosario bersama di depan Bukit Maria.

Lonceng gereja pernah dimiliki oleh gereja ini, dibawa dari Austria oleh Pastor Staudinger SJ. Namun, lonceng gereja ini belum digunakan sebagaimana mestinya. Akhirnya, pembuatan menara lonceng gereja dilakukan di taman. Menara lonceng setinggi 12 m berdiri, dibangun dalam waktu empat bulan. Lonceng lama tidak digunakan karena tidak sesuai dengan ukuran. Lonceng baru dipesan dari Yogya, sedangkan lonceng dari Austria disumbangkan ke Pasaman, Sumatra Barat.

Begitu pula bangunan gereja, beberapa bagian yang masih bangunan asli adalah pintu utama yang terbuat dari kayu mirip dengan bentuk pintu seperti gerbang utama rumah orang Tionghoa di Negara Tiongkok. Dua patung singa yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk utama melambangkan kemegahan. Warna merah dan emas terlihat mendominasi eksterior gedung gereja. Di bagian dalam gereja terlihat unsur budaya etnis Tionghoa, seperti tabernakel yang mirip dengan meja persembahan etnis Tionghoa.

Gedung Gembala Baik mulai dibangun pada  akhir November 2004 dan diresmikan pada 13 Oktober 2005, bertepatan dengan pesta pelindung gereja. Gedung yang dulunya restoran tersebut, dibeli oleh Gereja dan dibantu oleh pihak sekolah karena tempat tinggal biarawati pada waktu itu berada di belakang gereja diambil alih oleh pihak sekolah yang sekarang menjadi gedung SMA Ricci. Maka, pihak sekolah membantu membeli restoran tersebut sebagai pengganti tempat tinggal biarawati.

Misa pertama pada awal berdirinya paroki, tahun 1954, dihadiri oleh 16 orang. Sekarang, Paroki Toasebio terbagi menjadi delapan wilayah dan secara keseluruhan memiliki 26 lingkungan dengan jumlah umat 3.725 orang.

Pada tahun 1972 Gereja Santa Maria de Fatima secara resmi diakui dan dilindungi Undang-Undang sebagai Cagar Budaya Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 457/1993, Gereja Santa Maria de Fatima Toasebio ditetapkan menjadi bangunan Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta secara resmi, tertanggal 29 Maret 1993.

Berto,
diambil dari sumber Komsos Paroki Toasebio