KISAH penyelamatan 13 orang yang terperangkap dalam gua di Thailand menyimpan banyak cerita. Tidak hanya mengenai kisah heroik tim penyelamat serta pelatih ke-12 anak itu yang menahan diri untuk tidak makan demi membagi makanannya kepada anak-anak.

Bagaimana begitu banyak pihak yang sebelumnya tidak pernah bekerja sama, datang dari beragam negara, latar belakang yang berbeda-beda, dengan berbagai kemampuan masing-masing, bisa berkoordinasi dan berjuang memberikan sejauh yang mereka mampu, bahkan nyawa sekalipun demi menyelamatkan anak-anak yang mereka tidak kenal sebelumnya.

Mulai dari penyelam terbaik dunia yang langsung datang untuk terjun langsung dalam misi pencarian sampai pada seorang ibu yang menyumbangkan tenaganya untuk membersihkan WC bagi tim penyelamat dan berjanji tidak akan berhenti sampai anak-anak tersebut ditemukan.

Proses penyelamatan yang dianggap mission impossible bisa berlangsung sukses setelah menganalisa berbagai pilihan cara penyelamatan. Sementara di tempat lain, ada kompleks perumahan yang kesulitan                                                                                                                                                          mengarahkan warganya untuk tertib memarkir mobil mereka di area umum ketika proses betonisasi agar semua mobil aman dan proses betonisasi dapat berjalan dengan baik. Belum lagi minimnya minat warga untuk melakukan siskamling bersama menjaga mobil-mobil tersebut.

Bagaimana orang bisa bekerja sama dengan baik meskipun belum saling mengenal, sementara yang sehari-hari hidup bertetangga saja masih sulit untuk saling memahami? Bagaimana orang bisa mempertaruhkan nyawanya untuk orang lain yang bahkan ia tidak kenal, sementara ada yang enggan mengurangi jam tidurnya demi kepentingan bersama?

Banyak organisasi masih berjuang membangun sense of belonging para karyawannya yang seperti tidak memahami bahwa krisis ekonomi hampir membayang-bayangi, hanya karena gaji bulanan masih lancar mereka terima.

 

Find a Higher Purpose

Joe Robles, CEO dari DTE Board, mengatakan, “Leader’s most important job is to connect the people to their purpose.”  Tujuan yang bukan sekadar mendapatkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi bagaimana masing-masing individu meyakini seberapa besar pekerjaannya membawa dampak positif bagi komunitas, bagi masyarakat di sekelilingnya, bahkan bagi bangsa dan negaranya.

Akan sangat berbeda sekali sikap dan komitmen kerja seorang tukang batu yang turut dalam proyek pembangunan jalan, ketika ia menyadari bahwa jalan yang sedang dibangunnya ini akan meningkatkan volume perdagangan yang pada akhirnya akan memajukan perekonomian daerah tersebut, ketimbang kalau ia hanya bekerja demi mencari nafkah buat keluarganya.

Nietzsche, filsuf Jerman, mengatakan, “He who has a why to live for can bear almost any how.” Inilah alasan mengapa ada orang yang begitu kuat bertahan dalam penderitaan yang sangat berat sekalipun, menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Sementara kita mendengar beberapa tokoh selebriti yang mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya meskipun sepertinya ia memiliki banyak hal yang diimpikan oleh orang lain; ketenaran dan kekayaan.

Viktor Frankl mengemukakan bahwa manusia dapat menemukan makna hidupnya melalui tiga hal: pekerjaan, cinta, dan penderitaan. Banyak survivor penyakit kritis seperti kanker yang bersyukur atas penyakitnya, karena ia jadi semakin mencintai kehidupan dan menghargai segala berkat yang dimilikinya.

Pekerjaan tidak berarti bahwa seseorang harus memiliki pekerjaan ideal. Tetapi, bagaimana ia dapat menunjukkan eksistensinya melalui pekerjaan tersebut. Cinta tentu tidak diragukan lagi kekuatannya, yang mampu membuat orang melakukan hal-hal yang bahkan mustahil atas dasar cinta.

John Volanthen, salah satu dari dua penyelam Inggris mengatakan, “I dive for passion and always wondered if it would have purpose. Last two weeks was what I prepared for my entire life.” Hal itu diungkapkannya ketika ia berhasil menemukan anak-anak Wild Boar yang hilang itu.