NAMA saya, Herlina Kartaatmadja. Saya adalah seorang dosen ilustrasi, illustrator, dan author picture book. Saya dibaptis dewasa pada saat Pentakosta 2007. Dalam kisah ini, saya ingin membagikan pandangan saya mengenai hubungan saya dengan Tuhan.

Jika mendengar kata “Dosen Pembimbing” mungkin sebagian dari Anda yang pernah mengenyam kursi universitas, mengetahui kurang lebih apa arti dan peran tersebut, atau bahkan memiliki kenangan baik maupun buruk dengan dosen pembimbing pada saat kuliah.

Secara umum, dosen pembimbing dapat berarti dosen yang diberi wewenang untuk membimbing, mengarahkan mahasiswa/i dalam satu periode tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah/studi kasus sesuai dengan peminatan mahasiswa/i tersebut dengan mendorong, memberi petunjuk, memberi semangat agar potensi mahasiswa/i yang bersangkutan dapat dimaksimalkan.

Berdasarkan pengertian saya akan dosen pembimbing, serta pengalaman saya sebagai mahasiswi yang pernah dimbimbing dan sekarang saya menjadi dosen pembimbing, maka tepatlah saya berkata bahwa Yesus adalah Dosen Pembimbingku. Lho? Bagaimana bisa?

Ya, karena saya memang memberikan laporan secara berkala kepada-Nya dalam doa. Misalnya, hari ini ada kejadian apa dalam kehidupan saya, apa yang saya pelajari dari kejadian tersebut. Semua saya ceritakan kepada-Nya dengan bahasa sehari-hari saja. Dalam hal ini, ada nilai refleksional. Serunya pada saat saya bercerita, tiba-tiba saya bisa tahu dan paham letak kesalahan saya di mana. Yang tidak mungkin didapatkan kalau saya tidak bercerita kepada-Nya dalam doa.

Yesus lebih banyak memperhatikan ketika saya bercerita. Ia tidak pernah mengomeli saya kalau saya melakukan kesalahan atau dosa. Saya menangkap bahwa Ia ingin saya bisa mencari tahu dan mengerti sendiri kesalahan saya di mana, daripada Ia yang memberitahu. Karena suatu peristiwa yang dialami sendiri akan lebih “nyantol” dan meresap daripada diberitahu (self experienced). Karena jika mengalami sendiri, orang tersebut aktif (active learning). Sesuatu yang dilakukan secara aktif akan lebih meresap. Kalau diajari atau diberitahu, orang itu pasif (passive learning) karena berperan sebagai penerima informasi dari pengajar.

Selain itu, Allah Roh Kudus juga sering “memprovokasi” saya pada pagi hari. Baru saja saya bangun tidur, masih menggeliat dan belum sepenuhnya sadar. Saya mendengar pengajaran-pengajaran-Nya di dalam batin saya sehingga saya terkesima. Yang diajarkan adalah nilai-nilai kehidupan tentang bagaimana saya harus memandang kehidupan ini. Uniknya lagi, ketika Ia mengajar, saya langsung “konek” dengan ayat tertentu di dalam Alkitab. Sebetulnya, saya jarang membaca Alkitab, tetapi karena “diprovokasi” saya menjadi antusias. Saya menemukan diri saya bergumam di dalam hati, “Rasanya saya pernah dengar ayat itu. Tapi, di mana?”

Oleh karena itu saya buru-buru mengambil HP saya (syukurlah ada teknologi yang memungkinkan kita untuk mencari ayat Alkitab dengan cepat sekarang ini) dan mencari padanan katanya. Misalnya, saya hanya teringat “orang yang menabur sambil mencucurkan airmata…” Karena ingin tahu lengkapnya, saya ketik keyword itu di google, dapat di Mazmur 126: 5-6 Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan airmata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya”.

Maka, saya akan merenungkan ayat tersebut beserta pengajaran-Nya pada pagi hari.

Saya tidak tahu mengapa bisa begitu (Roh Kudus mengajar saya tiap pagi). Lalu, saya teringat suatu ayat dalam Yes 50:4, “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi   Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.

Ketika diajar, saya sungguh antusias. Hati saya berkobar-kobar karena bagi saya, hal tersebut keren, yaitu untuk menerima kebijaksanaan dan memahami pikiran Allah yang sudi Ia bagikan kepada manusia. Ketika menulis hal ini, Roh Kudus mengingatkan dengan kisah perjumpaan dua murid di Emaus dengan Yesus, “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (Luk 24: 32).

Saya bisa merenungkan hal ini seharian. Ada semangat dan sukacita ketika merenungkannya.  Bahkan saya membawa permenungan ini ke tempat saya mengajar, tapi di dalam batin tentu saja.

Malamnya, setelah melakukan semua aktivitas, saya datang lagi kepada-Nya dan melaporkan hal-hal apa saja yang telah saya pelajari, yang telah saya dapat, dan apa yang bisa saya pahami dari pengajaran-Nya pada pagi hari, beserta review peristiwa-peristiwa pada hari atau pekan ini.

Setiap kali saya bercerita, saya dapat mengetahui Yesus senang akan hal itu. Apalagi ketika saya berhasil mengetahui atau mendapat clue dari suatu permasalahan, saya bisa “merasakan” bahwa Ia lega dan puas.

Kalau dapat saya rangkum bagaimana Allah Tritunggal mengajar saya:

  1. Pada pagi hari, Roh Kudus memberi suatu pengajaran kepada saya beserta secuil ayat.
  2. Saya yang penasaran mulai mencari ayat tersebut dan mencocokkan dengan pengajaran pandangan hidup yang diajarkan plus pengalaman saya pribadi.
  3. Merenungkannya atau menganalisanya.
  4. Mendapatkan titik terang atau “AHA!” moment.
  5. Menceritakan kembali (atau membuat laporan) mengenai hal-hal yang sudah saya pahami kepada Yesus pada malam hari.

 

Dalam doa malam, biasanya saya juga sering bertanya atau mengungkapkan bagian mana dalam kehidupan yang saya masih kurang dan perlu belajar lebih dalam.

Dari poin-poin di atas, Anda pasti dapat melihat kemiripan pola pengajaran Yesus dengan dosen pembimbing bukan? Karena sejatinya dosen yang baik tidak memberikan mentah-mentah saja tapi harus mendorong mahasiswa/i untuk melakukan pencarian/discovery.

Yang dilakukan dosen pembimbing hanya memberi petunjuk dan sinyal-sinyal. Setelahnya, mahasiswa/i tersebut dapat datang kembali melaporkan progress-nya. Kalau ada yang kurang dimengerti, bisa ditanyakan kembali kepada dosennya.

Bukankah itu mengagumkan?

Saya berprofesi sebagai dosen pembimbing. Tetapi, saya mengakui bahwa saya masih perlu dibimbing oleh Maha Dosen Pembimbing, yaitu Allah.

Apalagi semua konsultasi yang Ia berikan gratis dan bisa kapanpun. Kalau dosen duniawi, pasti ada keterbatasan waktu untuk bimbingan. Tetapi, Allah tidak. Karena Ia “mengatasi” waktu (beyond time).

Saya teringat Mat 11:28-29:  “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”

Yes Tuhan! saya mau belajar pada-Mu.

Bagaimana dengan Anda?